Share

Part 2

Aku segera masuk. Takut kalau tiba-tiba Syira terbangun. Ternyata bungsuku yang belum genap berusia dua bulan itu masih tertidur pulas. 

Aku pun melanjutkan aktivitas beberes rumah yang tadi masih terbengkalai. Kemudian menyiapkan perlengkapan untuk mandi Syira. Setelah semua beres aku kembali ke kamar. Syira masih pulas tidurnya. Tentu saja, semalam dia sering terbangun.

Kupandangi wajah mungil Syira. Persis wajah papanya. Hidung, mata, bibir, serta garis wajah seakan dia adalah papanya versi mini. Sayang, walaupun ia terlahir sebagai fotocopian papanya tetapi dia tidak akan mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sempurna dari orang tua laki-lakinya itu.

Aku tersenyum pilu memandang wajah tanpa dosa itu. Sedih? Pasti! Apakah aku menangis? Tidak akan lagi! Air mataku sudah kering. Kalau pun masih ada, hanya ibarat sumur dangkal kala musim kemarau. Menyisakan kerak-kerak air di dasarnya.

Aku sudah pernah ada pada titik terendah. Di mana hari-hariku selalu ditemani oleh air mata, menyesali takdir, dan menyalahkan diri sendiri.

Desas-desus hubungan terlarang Hendi dan Nadia sudah pernah kudengar. Awalnya aku tetap berprasangka baik, bahwa hubungan itu hanyalah sebatas pertemanan karena  memang kami sudah saling mengenal sejak masa sekolah dulu.

Karena kabar burung itu tidak juga hilang, aku pun meminta penjelasan dari suami. Jawabannya persis seperti harapan naifku, mereka hanya sebatas melanjutkan pertemanan yang sudah terjalin sejak dahulu. Walaupun demikian, aku tak begitu saja menerima jawaban dari Hendi. Aku pun mengajak Nadia untuk bertemu. Aku ingin berbicara dengannya dari hati ke hati.

Jawaban Nadia pun tidak jauh berbeda.

"Hendi kalau diajak ngobrol, seru orangnya. Topik apa aja dia nyambung." Begitu Nadia memberi penjelasan kala itu.

Naif memang, aku pun mengaminkan hal itu dulu. Tidak mungkin Nadia akan menjadi orang ketiga di antara kami. Apalagi suami Nadia sebelumnya adalah orang penting di pemda. Mustahil kalau dia akan turun level dengan menjalin hubungan dengan orang biasa. Apalagi gaya hidup keluarga Nadia yang glamor. Tidak selevel dengan kami yang menjalani kehidupan secara sederhana.

Namun sangat mengejutkan, bagai petir di siang bolong. Tanpa angin atau pun hujan, Hendi berkata padaku bahwa dia akan menikahi Nadia. Aku benar-benar shock. Tak ingin percaya tetapi Hendi mengucapkannya dengan serius. Untuk percaya aku pun takut. Takut menerima kenyataan.

Saat itu aku tidak mampu berkata apa-apa. Menangis dan menangis hanya itu satu-satunya yang bisa kulakukan.

Seminggu setelah itu, Hendi kembali mengemukakan hal yang sama. Kali ini aku sudah agak bisa mengontrol emosi. Aku tanya alasannya. Jawabannya sederhana.

"Aku nyaman bersama Nadia. Dan kami tak ingin jatuh ke lembah dosa."

Aku berdecak. Kali ini aku mencoba untuk berdebat dengan Hendi.

Tidak ada alasan yang kuat untuk dia ingin menikah lagi. Aku masih bisa melaksanakan kewajibanku sebagai istri. Aku pun tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama atau pun yang merusak nama baik keluarga. Aku menolak dan menentang keinginannya itu. Akan tetapi, dia tetap bersikeras.

Lagi, kutemui Nadia. Aku minta padanya untuk tidak melanjutkan rencana mereka itu. Namun, dia menanggapi dengan dingin dan santai.

"Kami sudah sama-sama nyaman dan saling cinta. Kalau kamu keberatan, aku nggak masalah. Kamu bisa kan ngajuin gugatan," jawabnya tanpa ada rasa bersalah.

"Nad, kamu itu cantik, punya pergaulan yang luas, dari keluarga terpandang. Kamu bisa mendapatkan suami dari kalangan apa saja. Bisa saja pejabat, pengusaha atau pun orang-orang terkenal. Kenapa harus Hendi, Nad? Suami aku, lelaki yang sudah keluarga, udah punya anak?"

Sengaja aku memujinya, walaupun hanya di bibir. Berharap pendiriannya bisa tergoyahkan.

Dia hanya tersenyum tipis lalu berkata, "Takdir sudah menjodohkan kami, tidak ada yang bisa membantah takdir."

Aku benar-benar tidak habis pikir. Bisa-bisanya dia sok agamis dan beretorika berlindung di balik takdir.

Tekad Hendi sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keluarganya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana dengan aku? Siapkah aku berbagi suami? Sangat tidak siap dan tidak pernah terpikir olehku sama sekali. Namun kejadian ini benar-benar mengajarkanku bahwa jalan tidak akan pernah selalu lurus dan mulus. Tidak semua hal harus berjalan seperti keinginan. 

Setelah berpikir matang-matang dan aku mengambil sikap. Aku memilih mundur. Walaupun orang tuaku agak keberatan dengan keputusan itu, pada akhirnya mereka tetap menyerahkan sepenuhnya padaku.

Hendi tidak bereaksi apa-apa atas sikapku itu. Dia meninggalkan rumah begitu saja. Entah dia ke mana dia pergi.

Rara yang selama ini sangat lengket dengan papanya, mendadak sakit. Dia selalu mengigau memanggil papanya. Karena kelelahan dan banyak pikiran aku pun jatuh sakit. 

Dokter menyatakan kalau aku tengah hamil sepuluh minggu. Aku tidak tahu harus bahagia atau bagaimana atas kehamilan kali ini, mengingat kondisi rumah tanggaku yang sedang di ujung tanduk.

Atas pertimbangan kedekatan Rara dengan papanya, kehamilanku, akhirnya aku batal mengajukan perceraian. Mau tidak mau aku harus menandatangani surat pernyataan mengizinkan suamiku menikah lagi. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Sakit yang sudah tidak bisa digambarkan.

Paling tidak, dengan bertahan anak-anak masih akan bertemu papanya dan mendapat nafkah serta perhatian walaupun sudah takkan seperti sebelumnya. Jika nekad berpisah, aku sangsi Hendi masih akan bertanggung jawab pada anak-anak. Biarlah begini dulu sampai kondisi memungkinkan untuk aku bisa hidup mandiri tanpa tergantung pada Hendi lagi.

Terdengar getaran yang berasal dari HP yang kutaruh dilipatan popok Syira. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Aku curiga, jangan-jangan ada yang heboh lagi di dunia maya.

Segera kuambil benda pipih itu dan menyalakannya. Beberapa notifikasi tertera di layar. Aku jadi deg-degan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status