Share

Part 2

last update Last Updated: 2022-03-14 22:27:26

Aku segera masuk. Takut kalau tiba-tiba Syira terbangun. Ternyata bungsuku yang belum genap berusia dua bulan itu masih tertidur pulas. 

Aku pun melanjutkan aktivitas beberes rumah yang tadi masih terbengkalai. Kemudian menyiapkan perlengkapan untuk mandi Syira. Setelah semua beres aku kembali ke kamar. Syira masih pulas tidurnya. Tentu saja, semalam dia sering terbangun.

Kupandangi wajah mungil Syira. Persis wajah papanya. Hidung, mata, bibir, serta garis wajah seakan dia adalah papanya versi mini. Sayang, walaupun ia terlahir sebagai fotocopian papanya tetapi dia tidak akan mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sempurna dari orang tua laki-lakinya itu.

Aku tersenyum pilu memandang wajah tanpa dosa itu. Sedih? Pasti! Apakah aku menangis? Tidak akan lagi! Air mataku sudah kering. Kalau pun masih ada, hanya ibarat sumur dangkal kala musim kemarau. Menyisakan kerak-kerak air di dasarnya.

Aku sudah pernah ada pada titik terendah. Di mana hari-hariku selalu ditemani oleh air mata, menyesali takdir, dan menyalahkan diri sendiri.

Desas-desus hubungan terlarang Hendi dan Nadia sudah pernah kudengar. Awalnya aku tetap berprasangka baik, bahwa hubungan itu hanyalah sebatas pertemanan karena  memang kami sudah saling mengenal sejak masa sekolah dulu.

Karena kabar burung itu tidak juga hilang, aku pun meminta penjelasan dari suami. Jawabannya persis seperti harapan naifku, mereka hanya sebatas melanjutkan pertemanan yang sudah terjalin sejak dahulu. Walaupun demikian, aku tak begitu saja menerima jawaban dari Hendi. Aku pun mengajak Nadia untuk bertemu. Aku ingin berbicara dengannya dari hati ke hati.

Jawaban Nadia pun tidak jauh berbeda.

"Hendi kalau diajak ngobrol, seru orangnya. Topik apa aja dia nyambung." Begitu Nadia memberi penjelasan kala itu.

Naif memang, aku pun mengaminkan hal itu dulu. Tidak mungkin Nadia akan menjadi orang ketiga di antara kami. Apalagi suami Nadia sebelumnya adalah orang penting di pemda. Mustahil kalau dia akan turun level dengan menjalin hubungan dengan orang biasa. Apalagi gaya hidup keluarga Nadia yang glamor. Tidak selevel dengan kami yang menjalani kehidupan secara sederhana.

Namun sangat mengejutkan, bagai petir di siang bolong. Tanpa angin atau pun hujan, Hendi berkata padaku bahwa dia akan menikahi Nadia. Aku benar-benar shock. Tak ingin percaya tetapi Hendi mengucapkannya dengan serius. Untuk percaya aku pun takut. Takut menerima kenyataan.

Saat itu aku tidak mampu berkata apa-apa. Menangis dan menangis hanya itu satu-satunya yang bisa kulakukan.

Seminggu setelah itu, Hendi kembali mengemukakan hal yang sama. Kali ini aku sudah agak bisa mengontrol emosi. Aku tanya alasannya. Jawabannya sederhana.

"Aku nyaman bersama Nadia. Dan kami tak ingin jatuh ke lembah dosa."

Aku berdecak. Kali ini aku mencoba untuk berdebat dengan Hendi.

Tidak ada alasan yang kuat untuk dia ingin menikah lagi. Aku masih bisa melaksanakan kewajibanku sebagai istri. Aku pun tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama atau pun yang merusak nama baik keluarga. Aku menolak dan menentang keinginannya itu. Akan tetapi, dia tetap bersikeras.

Lagi, kutemui Nadia. Aku minta padanya untuk tidak melanjutkan rencana mereka itu. Namun, dia menanggapi dengan dingin dan santai.

"Kami sudah sama-sama nyaman dan saling cinta. Kalau kamu keberatan, aku nggak masalah. Kamu bisa kan ngajuin gugatan," jawabnya tanpa ada rasa bersalah.

"Nad, kamu itu cantik, punya pergaulan yang luas, dari keluarga terpandang. Kamu bisa mendapatkan suami dari kalangan apa saja. Bisa saja pejabat, pengusaha atau pun orang-orang terkenal. Kenapa harus Hendi, Nad? Suami aku, lelaki yang sudah keluarga, udah punya anak?"

Sengaja aku memujinya, walaupun hanya di bibir. Berharap pendiriannya bisa tergoyahkan.

Dia hanya tersenyum tipis lalu berkata, "Takdir sudah menjodohkan kami, tidak ada yang bisa membantah takdir."

Aku benar-benar tidak habis pikir. Bisa-bisanya dia sok agamis dan beretorika berlindung di balik takdir.

Tekad Hendi sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keluarganya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana dengan aku? Siapkah aku berbagi suami? Sangat tidak siap dan tidak pernah terpikir olehku sama sekali. Namun kejadian ini benar-benar mengajarkanku bahwa jalan tidak akan pernah selalu lurus dan mulus. Tidak semua hal harus berjalan seperti keinginan. 

Setelah berpikir matang-matang dan aku mengambil sikap. Aku memilih mundur. Walaupun orang tuaku agak keberatan dengan keputusan itu, pada akhirnya mereka tetap menyerahkan sepenuhnya padaku.

Hendi tidak bereaksi apa-apa atas sikapku itu. Dia meninggalkan rumah begitu saja. Entah dia ke mana dia pergi.

Rara yang selama ini sangat lengket dengan papanya, mendadak sakit. Dia selalu mengigau memanggil papanya. Karena kelelahan dan banyak pikiran aku pun jatuh sakit. 

Dokter menyatakan kalau aku tengah hamil sepuluh minggu. Aku tidak tahu harus bahagia atau bagaimana atas kehamilan kali ini, mengingat kondisi rumah tanggaku yang sedang di ujung tanduk.

Atas pertimbangan kedekatan Rara dengan papanya, kehamilanku, akhirnya aku batal mengajukan perceraian. Mau tidak mau aku harus menandatangani surat pernyataan mengizinkan suamiku menikah lagi. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Sakit yang sudah tidak bisa digambarkan.

Paling tidak, dengan bertahan anak-anak masih akan bertemu papanya dan mendapat nafkah serta perhatian walaupun sudah takkan seperti sebelumnya. Jika nekad berpisah, aku sangsi Hendi masih akan bertanggung jawab pada anak-anak. Biarlah begini dulu sampai kondisi memungkinkan untuk aku bisa hidup mandiri tanpa tergantung pada Hendi lagi.

Terdengar getaran yang berasal dari HP yang kutaruh dilipatan popok Syira. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Aku curiga, jangan-jangan ada yang heboh lagi di dunia maya.

Segera kuambil benda pipih itu dan menyalakannya. Beberapa notifikasi tertera di layar. Aku jadi deg-degan.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah kedekatan suami dg temannya kau masih aja beranak kerjaan mu. wajarlah suami bejatmu berpaling. sebagaibistri kelebihanmu hanya jadi pabrik anak.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 100

    Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 99

    Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 98

    Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 97

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 96

    Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 95

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status