Sindiran Pedas Istri Kedua Syira sedang tidur, sangat pulas. Aku duduk menghadap ranjang memandang wajah polos anakku. Hanya aku dan Syira di ruangan ini. Obi pergi setelah Syira tertidur. Ia mengantar Reno pulang karena dia lebih memilih untuk rawat jalan. Aku tidak menyalahkannya atas kecelakaan ini. Dia pun tentu tidak ingin ini terjadi. Aku sudah agak lebih tenang sekarang setelah tadi berbincang dengan dokter. Syira juga sudah menjalani CT Scan dan rontgen. "Kita lihat reaksi tubuhnya malam ini. Apa ada mengalami deman atau muntah. Kita lakukan pemantauan sembari menunggu hasil pengecekan tadi," terang dokter. Aku memindahkan laptop dari pangkuan ke meja di samping tempat tidur. Tadi aku meminta orang kantor mengantarkan ke sini. Aku harus menyiapkan materi untuk mengajar besok dan mengirimkan filenya kepada Hakim. Seperti yang sudah-sudah, kalau aku ada halangan untuk mengajar, Hakim selalu menjadi ujung tombaknya. Di ujung telepon, Hakim meminta maaf karena tidak bisa mene
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Pagi ini aku datang ke rumah Obi. Mau menengok Bu Mai yang baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu. Kata Obi, kondisi ibunya menurun lagi tetapi tidak mau dibawa lagi ke rumah sakit. "Bu Mai mau makan apa? Mau dimasakin atau mau yang dibeli?" tanyaku setelah Obi mengungkapkan kalau ibunya tidak mau makan sama sekali. Bu Mai menggeleng lemah. "Bu Mai keingatnya makanan apa?" Kembali hanya gelengan yang menjadi responsnya. "Tiara bikinin susu kalau nggak sereal, gimana? Biar perut Bu Mai ada isinya habis itu minum obat," bujukku lagi. Tidak ada reaksi apa-apa dari Bu Mai. Aku pun tak menunggu persetujuan. Aku beranjak menuju meja yang tak jauh dari tempat tidur. Kuseduh sereal berbahan gandum yang sudah tersedia di sana. Kubantu Bu Mai untuk merubah posisi setengah berbaring, menyandarkan punggung pada beberapa bantal yang ditumpuk. Pelan-pelan kusendokkan sereal sedikit demi sedikit. "Kak Tiara mau ada keperluan lagi nggak hari ini?" tanya Ob
Sindiran pedas istri kedua (POV Obi) Perihal jatuh cinta, sungguh hal terumit dalam hidupku. Ketertarikan pada lawan jenis tidak begitu sering menyambangi. Dua atau tiga kali, begitulah seingatku. Itu pun ketika aku telah berada di bangku perkuliahan. Rasa itu juga tak terlalu menggebu-gebu sehingga hanya bertahan beberapa waktu. Belumlah kutemukan sosok wanita yang benar-benar bertahta di hati dan mampu mengalihkan duniaku. Bukan karena aku terlalu selektif atau pun karena tidak tertarik pada lawan jenis seperti gurauan kasar yang kerap terlontar dari beberapa teman yang kurang adab. Meskipun seorang lelaki, pertanyaan bahkan desakan untuk segera menikah sudah kerap kali ditujukan padaku semenjak umur seperempat abad telah kulalui. Aku anak tunggal dan hanya berdua saja dengan ibu semenjak usia balita. Tidak ada sosok ayah yang menjadi panutan sehingga kadang muncul rasa pesimis dalam diriku. Jika kelak aku menikah dan mempunyai anak, bisakan aku menjadi seorang ayah yang baik
Sindiran Pedas Istri Kedua "Kenapa harus Obi?" Kalimat pertama yang keluar dari mulut Hendi begitu dia berada di hadapanku, tanpa ada basa-basi. Aku cukup terkejut atas kedatangannya. Memang, dua jam yang lalu dia menanyakan keberadaanku. Aku kira dia hanya ingin memastikan anak-anak ada di mana karena dia ingin bertemu dengan mereka.Aku meletakkan telepon genggam yang tengah menjadi pusat perhatianku. Lalu beranjak dari meja kerja ke sofa tempat biasa menerima tamu. Hendi mengikuti pergerakanku. Ekspresi wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat. "Kamu ngapain ke sini? Tadi kan sudah aku bilang anak-anak ada di rumah," jawabku santai. "Aku mau bicara sama kamu," balas Hendi setelah mendengkus kesal. "Aku ngerasa nggak ada hal penting yang perlu dibicarakan. Anak-anak baik-baik saja. Semua hal yang berkaitan dengan anak-anak lancar-lancar aja." "Jangan berpura-pura tidak tahu, Tiara! Kamu sangat paham, kan, arah pertanyaan aku?" Hendi terlihat sangat kesal. Sebenarnya aku jauh
Sindiran Pedas Istri Kedua "Ada apa?" tanya Obi padaku begitu Hendi telah berada di luar. "Biasa, beda pendapat," jawabku. "Kalau yang nggak penting-penting amat, hindari aja. Dari pada merusak hubungan baik," timpal Obi lagi. Aku mengiyakan diiringi senyum tipis. Agar tidak menjadi pembahasan panjang, kucoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Bu Mai gimana keadaannya?" "Makin membaik." "Kata Mbak, kamu lagi nyari orang buat di rumah. Bukannya udah ada?" "Cari yang bisa nginap. Lusa aku mau ke Singapura. Kasian Ibu kalau sendirian." "Ada acara apa?" "Ada undangan dari Mas Adrian. Dia kan netap di sana. Mau ikut?" Obi mendelik padaku. Aku menggeleng pelan. "Nggaklah." "Cuma dua sampai tiga hari aja. Anak-anak udah jadi dibikinin pasport belum? " "Baru Khalif aja yang udah jadi." "Kalau semuanya udah punya, jadinya kan enak. Kapan aja dibutuhin udah siap." "Masih ada kerjaan apa udahan?" lanjut Obi lagi. "Cuma tinggal ngecek hasil rekapan yang lagi dikerjakan Nisa. Kenapa?
Sindiran Pedas Istri Kedua "Sudah move on?" tanyaku pada Hakim ketika kami sedang berada di laboraturium komputer. "Udah, dong! Ngapain juga galau lama-lama," jawabnya enteng. Sebagai teman, tentu aku sangat prihatin atas apa yang tengah dialami Hakim. Belumlah lama dia bertunangan, tetapi sudah bubar. Namun, aku juga tidak berani banyak bertanya tentang sebab musababnya. Khawatir dia tidak berkenan untuk berbagi cerita. Konon katanya, Sandra yang memutuskan pertunangan mereka. Hakim juga tidak berusaha mempertahankan karena merasa perbedaan di antara mereka sangat mencolok. Begitulah yang terdengar olehku ketika teman-teman sedang merumpi. Kebetulan salah seorang teman di sekolah juga berteman baik dengan sepupu Hakim sehingga tingkat kevalidan cerita itu lumayan tinggi. Sandra sangat posesif, selalu curigaan, dan manja. Sedangkan Hakim adalah orang yang supel, gesit, dan banyak aktivitas. Sangat bertolak belakang memang. Memang seperti itulah kesan yang kuperoleh tatkala perte
Sindiran Pedas Istri Kedua Queen Jewellery, itulah tempat yang kutuju. Sesuai dengan inisial yang ada di kotak perhiasan tanpa nama pengirim yang menjadi sumber rasa penasaranku. Satu di antara jejeran ruko di pusat keramaian kota. Bisa dibilang di sinilah pusat perhiasan emas di kota ini. di kiri kanan jalan berjejer toko emas baik yang besar maupun sedang. Bahkan ada yang sudah puluhan tahun juga.Pernah beberapa kali aku mengunjungi toko ini. Terakhir, waktu memesan kalung untuk Rara dan Syira. Mereka menginginkan kalung kembaran. Memang, toko ini terkenal dengan model-model perhiasan yang sangat artistik serta pelayanan yang sangat ramah. Kualitas emasnya juga bagus. Tak heran jika pengunjungnya selalu ramai, sehingga harus lebih bersabar menunggu dilayani. Aku mendelik pergelangan tangan. Penunjuk waktu yang kupakai menampilkan angka empat menit menuju pukul empat sore. Aku dan pemilik toko membuat kesepakatan untuk bertemu pukul empat tepat. Untung perkiraan perjalananku tida
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Part 47 Aku berdiri di dekat pagar balkon. Menikmati malam yang disertai bulan yang malu-malu di balik awan. Anak-anak sudah tidur selepas Isya. Meskipun besok adalah hari libur, tetapi sudah menjadi kebiasaan dari dahulu, paling lama hanya setengah jam setelah menunaikan salat mereka akan segera tidur. Di teras bawah ada Mbak Nana --pengasuh Syira-- sedang duduk selonjoran sambil menelepon. Dia memang rutin menelepon kedua orang tuanya setiap hari. Entah itu di saat anak-anak telah tidur siang atau pun tidur malam. Bapak dan Ibu sedang di rumah lama. Ada kerabat dari Bapak yang berkunjung. Rumah mendadak terasa sepi. Kembali aku memperhatikan dengan saksama gelang yang ada dalam genggamanku. Aku gagal mengembalikan benda itu kepada Hakim. Nanti akan kucoba lagi. Kalau terang-terangan tidak berhasil, aku juga akan mengikuti jejaknya. Memberikannya lewat perantara atau pun dengan cara memaksa. Sungkan untuk tetap memilikinya, terlebih setelah kutahu ada