SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA
"Proyek Bang Hendi yang di Lampung sedang bermasalah. Dengar-dengar, proyek itu cuma upaya cuci uang dari teman Pak Santo, yang sepupunya Mami Nadia itu. Pengerjaannya sudah dihentikan sejak bulan lalu. Sedang disegel untuk mempermudah penyidikan katanya sih."Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturan Obi. Walau sebenarnya aku kaget juga. Padahal proyek itu bernilai fantastis. Bisa dibilang itulah proyek terbesar yang didapat Hendi selama dia menekuni dunia kontraktor."Katanya, pemiliknya itu seorang wakil rakyat di provinsi. Dia sedang tersandung masalah penyalahgunaan dana hibah atau apalah gitu, nggak paham juga. Mana Bang Hendi udah terlanjur DP-in rumah buat menetap di sana. Lagi pusing banget kayaknya," lanjut Obi menjelaskan."Kan ada keluarga Nadia. Pasti cepat kelarlah masalahnya," jawabku sekadar menimpali."Boro-boro ngebantu, keluarganya pun lagi banyak masalah. Sekarang lagi hangat-hSINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAWajah Hendi juga menampakkan keterkejutan atas pertemuan tidak disengaja ini."Papa mau nengok Rara?" tanya Khalif dengan polosnya."Rara? Rara kenapa?" tanya Hendi kebingungan."Rara lagi sakit. Ayo, Pa, kita ke kamar Rara! Ada di lantai tiga." Khalif langsung menarik tangan Hendi.Kalau Hendi ada di sini, berarti benar yang kulihat tadi adalah Nadia. Aku pun bergegas mengikuti Khalif yang telah berjalan terlebih dahulu."Rara sakit apa?" tanya Hendi padaku ketika kami sudah berada di dalam lift.Rasanya malas untuk menjawab. Untungnya HP-ku berdering sehingga tidak perlu menjawab pertanyaan Hendi."Kamar Rara sebelah sini, Pa." Khalif kembali menjadi pemandu untuk papanya. Sesampai di depan pintu, samar terdengar suara celotehan Syira. Khalif langsung membuka pintu. Di tempat tidurnya, Rara berbaring sambil memeluk boneka beruang yang berukuran lebih besar dari tu
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHari ini Rara sudah diperbolehkan pulang. Hendi katanya mau mengantarkan kami pulang. Namun, sudah hampir setengah jam setelah menyelesaikan administrasi, dia belum juga menampakkan batang hidungnya.Obi yang belum aku beritahu perihal itu, datang tergesa-gesa."Rara udah nunggu lama, ya? Maaf ya tadi Om Obi ketiduran," ucapnya pada Rara dengan wajah menunjukkan rasa bersalah."Rara mau pulang sama Papa, Om," jawab Rara dengan polosnya.Obi melirik padaku seolah meminta kebenaran. Aku jadi tidak enak hati pada Obi. Bisa-bisanya aku lupa bilang sama Obi."Bi, maaf banget. Aku benaran lupa bilang ke kamu," ungkapku penuh penyesalan. "Nyantai aja, Kak. Nggak usah merasa bersalah gitu. Udah mau ke sini Bang Hendinya?" tanya Obi. Tidak ada terlihat raut kekesalan di wajahnya."Sepertinya begitu," jawabku tidak yakin."Ya, udah, kita tunggu aja." Obi pun menyibukkan diri
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPagi tadi Hendi mengirim pesan. Dia mengajakku untuk bertemu. Ada yang ingin dibicarakan, begitu katanya.Jujur, aku lebih nyaman jika tidak lagi berurusan dengan dia. Bukan apa-apa, hanya ingin menghindari masalah. Mengingat Nadia dan saudara-saudaranya yang sangat hobi mengangkat hal-hal sepele menjadi besar dan ujung-ujungnya memojokkan aku. Padahal aku tidak pernah mengusik hidup mereka. Dengan hidupku sendiri saja aku sudah keteteran. Boro-boro ikut campur urusan orang lain.Aku memilih untuk mengabaikan. Selain yang berkaitan dengan anak-anak, tidak ada yang perlu dibicarakan. Dan sekarang ini semua hal tentang anak-anak tidak ada permasalahan apapun. Bisa kukendalikan sejauh ini walaupun nafkah dari Hendi sudah tidak pernah lagi disinggung-singgungnya.Yang penting aku sudah mengingatkan, bahkan berkali-kali. Dia memang sedang tidak sanggup atau sengaja tidak menunaikannya, biarlah menjadi tanggungjawab
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAWaktu terus bergulir tanpa sedetik pun menjeda. Tak peduli seberapa besar atau kecil kesiapan kita untuk menjalaninya.Siap atau pun tidak sama sekali, suka atau tidak suka, nyatanya manusia hanyalah wayang yang harus mengikuti alur cerita dari Sang Pemilik skenario kehidupan.Dua tahun sudah sejak aku resmi berpisah dengan Hendi. Pahit manisnya menjalani peran sebagai orang tua tunggal silih berganti kunikmati. Jatuh, bangkit. Terjatuh lagi, bangkit lagi. Tentunya dengan topangan orang-orang terdekat yang senantiasa menguatkan.Pertemuan terakhirku dengan papanya anak-anak adalah ketika di kantor notaris. Tatkala harus menandatangani dokumen jual beli tanah yang masih atas nama kami berdua.Kabar dia dengan kehidupan barunya tidak lagi ingin kuketahui. Meskipun kabar-kabar angin sering juga singgah, hanya kudengar saja tanpa berminat mencari tahu kebenarannya.Pernah juga ramai diperbinc
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAAku akhirnya mengecek HP untuk menyibukkan diri. Namun, hanya bertahan sesaat. Aku merasa risih karena ada yang memperhatikan dari jarak dekat."Kenapa sih begitu banget ngelihatnya?" Akhirnya aku pun bertanya dengan nada sedikit sewot pada Obi."Aneh aja, tiba-tiba Kak Tiara sebegitu perhatiannya sama aku," jawabnya sambil mengulas senyum."Bukan begitu juga, sih. Aku kepikiran Bu Mai aja.""Ibu? Ibu ngomong apa lagi sama Kak Tiara?""Maksud aku, Bu Mai kan sudah memasuki usia senja dan kamu anak satu -satunya. Bu Mai pasti sangat menginginkan kamu cepat memiliki pasangan hidup, dong. Pengen gendong cucu. Sebagai mana umumnya orang tualah."Obi sudah menatap lurus ke depan. Ekspresinya terlihat serius sekarang."Kak Tiara sendiri gimana? Sudah punya ancang-ancang untuk memiliki pendamping lagi?""Kok malah nanya aku? Kalau aku sih udah jelas. Sudah pe
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUADua minggu yang lalu kami resmi menempati rumah baru yang kubeli dari hasil jerih payahku. Sebuah rumah bergaya modern minimalis di perumahan kelas menengah. Tak jauh dari pusat kota, dekat dengan sekolah dan ruko tempat usahaku.Aku bersyukur sekali atas hasil yang kuperoleh dari beberapa bidang usaha. Sebenarnya bisa saja aku fokus hanya pada dunia usaha tetapi kecintaanku pada dunia pendidikan membuatku tetap bertahan menjadi seorang pengajar. Lagi pula, sekarang aku sudah tidak terlalu kerepotan.Khalif sudah masuk ke pesantren sesuai keinginannya. Rara sekarang bersekolah di SDIT. Sedangkan Syira, dia lebih senang berada di ruko bersama pengasuhnya. Bergabung bersama beberapa orang karyawan yang kupercaya menjadi admin untuk online shop.Hari ini aku berencana untuk bersilaturrahmi ke salah seorang tetangga. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari kediamanku. Hanya rumah satu itu yang belum kusambangi
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHari ini adalah hari libur. Pengasuh Syira juga minta izin untuk libur. Rara ikut pulang ke rumah ibu kemarin. Hanya aku dan Syira di rumah. Aku berencana untuk membawa Syira bersamaku ke ruko. Kami menunggu jemputan dari kantor. Syira mengajakku untuk bermain di luar. Aku mengikuti ke mana Syira berjalan. Kadang dia pun berlari kecil mengikuti seekor kucing milik salah seorang tetangga."Hai Adek Cantik! Lagi main apa?" Terdengar sapaan laki-laki dari balik pagar. Disusul oleh suara pagar yang digeser. Ternyata kami sudah sampai di depan rumah Bayu. "Mpus lucu," jawab Syira sambil menunjuk seekor kucing yang sudah tiduran di samping pot bunga yang ada dekat gerbang rumah Bayu."Eh, ada tetangga baru. Libur, ya?" tanya Bu Juwita yang baru saja keluar lewat pintu depan. Wanita itu sudah berdandan cantik dan rapi. Sepertinya mereka akan pergi."Nggak, Bu. Lagi nunggu jemputan."
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUABayu sudah berada di undakan tangga teratas. Hanya dua langkah dari tempatku berdiri. Bisa-bisanya dia muncul secepat ini. Padahal aku sudah berencana keluar lebih awal untuk menghindarinya."Kok bisa ada di sini?" tanyaku sambil buru-buru melangkah turun. Tidak ada siapa-siapa di lantai atas kecuali kami."Tadi kan udah bilang, sore mau mampir. Kebetulan baru aja ketemu klien dekat sini.""O ...," jawabku singkat."Mau langsung jalan?" tanya Bayu tanpa alih-alih.Aku mendelik padanya dengan penuh keheranan. Sementara dia memasang wajah santai tanpa dosa. Aku melirik ke arah karyawan yang terlihat tengah menyibukkan diri. Kutahu mereka hanya berpura-pura tidak acuh. Padahal sebenarnya mereka tengah memendam keingintahuan yang sedang menggebu-gebu."Jalan ke ...?" Aku sengaja menggantung kalimat."Pulang ke rumah kita," ucapnya santai. Sesaat kemudian langsung meralat ucapannya, "M