Home / Lainnya / Sisa Cahaya di Jalan Gelap / BAYANGAN HAKIKAT YANG SELAMA INI TERSEMBUNYI

Share

BAYANGAN HAKIKAT YANG SELAMA INI TERSEMBUNYI

Author: JI_MIL
last update Last Updated: 2025-09-22 22:08:28

Beberapa bulan setelah pernikahan, Ratri mulai merasakan ada yang berubah dari Galuh. Lelaki yang dulu begitu lembut kini sering menunjukkan sikap kasar hanya karena hal-hal sepele.

Pernah suatu kali, hanya karena makanan yang disajikan Ratri kurang asin, Galuh meninggikan suara hingga membuatnya terdiam. Pernah pula, ketika Ratri terlambat membuka pintu, Galuh mendorongnya dengan kasar.

Yang paling membekas di hati Ratri adalah ketika Galuh, dalam keadaan marah, sempat menamparnya. Rasa perih di pipi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang tercetak di dalam hati.

Ratri termenung di kamarnya malam itu. Hatinya remuk, pikirannya berkecamuk. “Apakah aku salah menikah dengan Galuh?” bisiknya dalam hati. Dulu ia percaya pernikahan adalah pintu cahaya, jalan keluar dari masa kelamnya. Namun kini, yang ia temukan justru dinding-dinding baru yang lebih menyakitkan.

“Ratri!” suara Galuh terdengar lantang dari kamar mandi.

Ratri yang sedang membereskan ruang tengah segera bergegas menghampirinya. Napasnya tercekat, langkahnya gemetar. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas.

“Lihat ini apa, sayang?” ujar Galuh sambil mengangkat handuk dan mengelus kepala Ratri dengan gerakan yang semula tampak lembut.

“Mas… aku… aku” suara Ratri bergetar. Ia ketakutan, menyadari kesalahannya. Handuk yang seharusnya masuk ke keranjang laundry ternyata tergeletak di lantai.

“Makannya yang benar kalau kerja!” suara Galuh meninggi. Tangan yang semula mengelus berubah menjadi keras. Ia mendorong kepala Ratri hingga membentur tembok.

Ratri terhuyung, menahan sakit yang merambat di pelipisnya. Matanya berkaca-kaca, namun ia memilih diam.

Galuh melempar handuk ke lantai, lalu meninggalkan kamar mandi tanpa menoleh lagi, sementara Ratri terduduk lemas dengan tubuh gemetar.

Ratri masih terduduk di lantai kamar mandi. Tangannya refleks meraba pelipis yang nyeri akibat benturan tadi. Air matanya jatuh tanpa bisa ia bendung, bercampur dengan dinginnya lantai keramik.

Dalam diam, hatinya berteriak. Mengapa begini? Mengapa lelaki yang dulu menatapku dengan penuh kasih, yang dulu berkata aku berharga, kini berubah jadi seseorang yang menakutkanku?

Ia menunduk, tubuhnya gemetar. Ingatan-ingatan masa lalu menyeruak kembali jalan gelap tempat ia bertahan hidup, hinaan orang-orang kampung, tangisan ibunya. Dulu ia percaya menikah dengan Galuh adalah titik balik, pintu menuju kehidupan baru yang penuh cahaya. Namun kini, cahaya itu perlahan padam, digantikan dengan bayangan yang lebih gelap dari sebelumnya.

Apakah aku salah? Salah mempercayainya? Salah mengira bahwa cinta bisa menghapus masa laluku?

Ratri memeluk lututnya erat-erat, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin ia memeluk dirinya, semakin dalam pula rasa sepi yang ia rasakan.

“Ya Allah…” bisiknya lirih. “Kalau ini jalan yang harus aku tempuh, kuatkan aku. Kalau aku salah memilih, tunjukkan aku cara keluar. Aku sudah lelah… aku ingin bahagia.”

Di luar kamar mandi, langkah kaki Galuh terdengar menjauh. Suara pintu yang dibanting menutup percakapan singkat itu, meninggalkan Ratri dalam kesunyian yang perih.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan, Ratri benar-benar merasa ia mungkin telah salah memilih.

Ratri berdiri di atas sajadahnya. Air mata jatuh membasahi pipi saat ia menundukkan kepala dalam sujud yang panjang. Setelah salam terakhir, ia terdiam sejenak, lalu menengadahkan kedua tangannya dengan hati yang hancur.

“Ya Allah… ampuni segala dosaku. Apakah aku salah menikah dengan Galuh? Apakah ini balasan untuk masa laluku yang kelam? Balasan karena aku pernah menjadi perempuan yang hina, yang jauh dari jalan-Mu?”

Suara Ratri bergetar, namun ia terus berdoa, membiarkan air matanya mengalir.

“Ya Allah, ujian ini sungguh berat… tapi aku tidak akan menyerah. Jika ini adalah jalan penebusan dosa untuk hamba-Mu yang kotor ini, aku akan menerimanya. Berikan aku kekuatan… jangan biarkan aku terjerumus lagi… tuntun aku menuju ridha-Mu.”

Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, tubuhnya terguncang menahan tangis. Di dalam hatinya, ada secercah keyakinan bahwa doa adalah satu-satunya tempat ia bisa bersandar, ketika dunia menolaknya, ketika suami yang ia percayai melukainya.

Malam itu, hujan turun deras, mengguyur atap rumah sederhana mereka. Ratri baru saja selesai merapikan meja makan. Ia selalu berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Galuh, meski hatinya tak lagi merasa aman.

“Mas, makanannya sudah siap,” ucap Ratri lirih dari dapur.

Galuh yang tengah duduk di ruang tamu hanya melirik sekilas, lalu bangkit dengan langkah berat. Ia menatap meja makan, mendengus kesal. “Kenapa sayurnya asin begini?” suaranya meninggi.

Ratri menunduk, kedua tangannya meremas ujung kain dasternya. “Maaf, Mas… mungkin aku tadi salah menakar garam.”

“Maaf? Maaf terus!” Galuh membanting sendok ke meja, membuat Ratri tersentak. Lelaki itu melangkah mendekat, sorot matanya penuh amarah.

“Mas, tolong… aku janji besok lebih hati-hati lagi,” suara Ratri bergetar, mencoba menahan tangis.

Namun amarah Galuh tak terbendung. Tangannya terangkat, menampar pipi Ratri hingga tubuh perempuan itu limbung. Suara benturan terdengar ketika pelipisnya menghantam sudut kursi. Seketika, darah merembes, menetes perlahan di lantai.

Ratri menahan perih, tubuhnya gemetar. Ia ingin bersuara, ingin membela diri, tapi suaranya tercekat.

Galuh menatapnya dari atas, napasnya memburu. Sejenak ada keraguan di wajahnya, namun amarah yang membara membuatnya berbalik, meninggalkan Ratri begitu saja. Pintu kamar dibanting keras, menyisakan hening yang hanya diisi suara hujan di luar rumah.

Ratri terjatuh berlutut, menekan pelipisnya dengan tangan. Darah terus mengalir, bercampur dengan air mata yang tak terbendung.

Ya Allah… sampai kapan aku harus begini? batinnya menjerit. Apakah ini takdirku? Apakah aku memang pantas diperlakukan seperti ini karena dosa-dosaku?

Tubuhnya terasa lemah, namun ia memaksa diri berdiri. Dengan langkah tertatih, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan luka. Cermin di hadapannya memantulkan wajah pucat dengan noda darah yang belum sepenuhnya terhapus. Ia hampir tak mengenali dirinya sendiri.

“Apakah ini wajah seorang istri yang seharusnya bahagia?” bisiknya lirih.

Air mata kembali jatuh, kali ini tak hanya karena sakit di pelipisnya, tapi juga luka yang jauh lebih dalam luka di hatinya.

Namun di balik keputusasaan itu, ada secercah keberanian yang perlahan muncul. Ratri menggenggam erat ujung wastafel, menatap matanya sendiri di cermin.

Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus kuat. Jika aku terus diam, aku akan hancur. Dan aku tidak boleh kalah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MANTAN SUAMI RATRI

    Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MOMEN HANGAT

    Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   SIAPA PRIA ITU?

    Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   RATRI TERTEKAN

    Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   TAMU TAK DI UNDANG

    Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU SESEORANG

    Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status