Share

AKU LELAH

Author: JI_MIL
last update Last Updated: 2025-09-23 22:07:46

Keesokan harinya, mentari baru saja menembus tirai kamar. Ratri bangun lebih pagi dari biasanya. Matanya bengkak, pelipisnya masih terasa perih, meski sudah ia balut dengan kain kecil. Dengan tubuh lemah, ia menuju dapur, menyalakan kompor, dan menyiapkan sarapan. Dalam hatinya, ia berharap pagi itu akan berjalan tenang, tanpa kemarahan, tanpa bentakan.

Namun harapan itu kembali kandas.

Galuh turun dari kamar dengan wajah masam. Pandangannya langsung tertuju pada meja makan. Ia menatap nasi goreng dan segelas teh hangat yang sudah Ratri siapkan.

“Kenapa cuma nasi goreng lagi? Kamu nggak bisa masak yang lain, hah?” bentaknya.

Ratri menunduk, suaranya lirih, “Maaf, Mas… bahan di dapur hanya ini. Aku belum sempat ke pasar.”

“Alasan! Selalu aja alasan!” Galuh membanting gelas teh hingga isinya tumpah, mengenai tangan Ratri yang sedang membersihkan meja. Perempuan itu meringis menahan panas.

“Mas, ini sakit…” ucapnya tertahan, matanya berkaca-kaca.

“Dasar bodoh!” Galuh mendorong bahu Ratri hingga tubuhnya menabrak lemari kayu. Suara berderak terdengar, beberapa piring pecah berjatuhan.

Ratri terdiam, tubuhnya gemetar, tidak berani melawan. Ia tahu setiap kata bantahan hanya akan memicu amarah yang lebih besar.

Namun Galuh belum puas. Ia mencengkeram lengan Ratri kuat-kuat, meninggalkan bekas merah di kulitnya. “Kalau kamu mau tinggal di rumah ini, kamu harus nurut sama aku! Jangan bikin aku marah lagi!”

Air mata Ratri akhirnya jatuh. Ia hanya bisa mengangguk, walau dalam hati ia hancur berkeping-keping.

Setelah Galuh pergi bekerja, Ratri terduduk lemas di lantai dapur. Tangannya memunguti pecahan piring satu per satu, meski jari-jarinya terluka. Air mata bercampur darah dan keringat.

“Ya Allah…” bisiknya parau, “…apakah ini jalan hidupku? Apakah aku hanya pantas jadi bulan-bulanan? Aku lelah, tapi aku tidak tahu harus ke mana.”

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis terisak. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung, justru menjadi neraka yang setiap hari membakar hatinya.

Namun, jauh di dalam relung hati, ada bisikan kecil yang membuatnya bertahan. Aku harus kuat… bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk ibu dan adik-adikku. Aku tidak boleh hancur.

Malam hari, hujan turun membasahi bumi. Menyiram bunga-bunga yang seharusnya mekar, namun kembali layu. Ratri mengendap-endap keluar rumah. Tangannya bergetar saat memutar kunci dengan sangat pelan. Ia berniat kabur, sebab hatinya tak lagi sanggup menanggung derita bersama Galuh.

Begitu pintu berhasil terbuka, langkah kecilnya mulai menyentuh tanah basah. Air hujan mengguyur tubuhnya, membasahi rambut panjangnya yang terurai. Jantungnya berdegup kencang, setiap langkah terasa seperti perjuangan untuk merebut kebebasan.

Namun takdir berkata lain. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba sebuah tangan kasar menarik lengannya dengan paksa. Tubuhnya terhuyung, jatuh menghantam aspal yang dingin.

“Arghh…!” Ratri meringis.

Galuh berdiri di atasnya, wajahnya basah oleh hujan dan penuh amarah. Tangannya menjambak rambut indah Ratri dengan sekuat tenaga. Perempuan itu berteriak kesakitan, kedua tangannya berusaha melepaskan diri.

“Mau ke mana, sayang?” suara Galuh terdengar dingin, menakutkan. “Kau tidak akan pernah bisa keluar dari sini.”

“Ampun… sakit, Mas!” teriak Ratri, air mata bercampur air hujan. Tubuhnya menggeliat, memegangi rambutnya yang ditarik begitu kuat.

Namun tak ada yang datang menolong. Malam itu sunyi, hanya rintik hujan yang menjadi saksi penderitaan seorang istri. Manusia lain telah terlelap dalam mimpinya, sementara Ratri terperangkap dalam mimpi buruk yang nyata.

Galuh menyeret Ratri masuk ke rumah dengan kasar. Pintu diketok, dan suara langkah mereka menggema di ruang tamu yang sepi. Di depan pintu kamar, ia tidak berhenti: dorongan, cubitan, puisikan kata-kata amarah yang tak henti. Ratri menekuk tubuhnya, menahan sakit yang merayap dari kulit hingga tulang.

Setelah puas atau mungkin karena letih Galuh akhirnya pergi ke kamarnya, menutup pintu dengan suara yang berat. Sunyi menyelimuti rumah itu kembali; hanya suara hujan yang masih mengetuk-ngetuk atap. Ratri terbaring lemah di lantai depan, napasnya tersengal, tubuhnya dingin basah oleh hujan dan keringat. Pijar lampu samar memantul di wajahnya yang pucat.

Dalam hening yang pekat, Ratri bergumam lirih, suaranya nyaris tak terdengar kecuali bagi hati yang begitu remuk:

“Ya Allah… ampunilah aku. Tolong ambillah nyawaku ini, ya Rabb, aku sudah tak tahan lagi menapaki jalan ini. Ya Allah, ampuni dosa-dosaku. Ampuni aku, Ya Allah.”

Air matanya mengalir tanpa daya. Ia menutup mata, berharap doa itu menjadi penawar atau setidaknya, penghibur di saat dunia terasa amat kejam.

Pagi hari, Galuh sudah terjaga. Ia melangkah ke ruang tengah dan mendapati Ratri masih terbaring lemah di lantai. Tanpa ragu, ia mengambil ember berisi air dan menyiram tubuh Ratri yang masih berusaha membuka mata.

Ratri terkejut, tubuhnya menggigil kedinginan.

“Buatkan aku makanan,” ujar Galuh dengan suara datar namun penuh perintah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MANTAN SUAMI RATRI

    Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MOMEN HANGAT

    Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   SIAPA PRIA ITU?

    Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   RATRI TERTEKAN

    Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   TAMU TAK DI UNDANG

    Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU SESEORANG

    Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status