Share

BAB 128

Author: Rayna Velyse
last update Last Updated: 2025-04-11 20:52:48

Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela yang lupa ditutup semalam. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajah Elian yang masih terbaring, membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya perlahan membuka matanya.

Ia menggeliat pelan, menarik selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya, lalu menatap langit-langit kamar tamu istana yang asing namun nyaman. Matanya terasa berat meski ia tahu, tidurnya semalam tak benar-benar nyenyak. Pikiran tentang Azrael terus menghantui benaknya, membuat setiap menit terlelap terasa seperti hanya jeda, bukan istirahat. Bahkan dalam mimpinya, suara Azrael seolah berbisik di telinganya penuh siasat, penuh ancaman. Rasanya seperti dikejar bayangan yang tak pernah lelah.

Ia menghela napas pelan, meraba rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit duduk. Sejenak ia hanya diam, mendengarkan suara burung di kejauhan dan embusan angin yang menerpa tirai. Udara pagi membawa aroma kayu dan bunga yang tumbuh di taman istana. Na
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Sisa Takdir   BAB 129

    Langit di selatan mulai menggelap ketika kabar itu sampai ke kediaman Silvercrest. Lucien berdiri di balkon lantai atas, memandangi hamparan taman yang mulai diselimuti bayangan senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga musim semi. Di tangannya, sepucuk surat masih terlipat rapi, ditulis oleh tangan yang sangat ia kenali Ronan. “Kutukan berhasil kami patahkan. Formula sihirnya sudah stabil, dan beberapa korban telah sadar kembali. Kami akan pulang dalam dua atau tiga hari.” Lucien menggenggam surat itu lebih erat, matanya tak berpaling dari ufuk. Ada rasa lega, ada rasa bangga. Tapi juga ada rasa takut. Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar. Damien, anak keduanya, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun penuh beban. Ia baru kembali dari kunjungannya ke Ronan dengan Elian dan kini membawa kabar itu lebih dulu. “Kak Ronan akan kembali beberapa hari lagi,” ucap Damien tanpa basa-basi. “Pangeran pertama berhasil m

    Last Updated : 2025-04-12
  • Sisa Takdir   BAB 130

    Keheningan yang menggantung di dalam kereta kuda itu seperti kabut pekat yang tak kunjung surut. Roda kereta terus berputar, melewati jalan berbatu dan hutan yang masih diselimuti kabut pagi. Matahari bersinar menampakkan diri di balik pepohonan, mengguratkan cahaya pucat di tanah basah. Di dalamnya, Elian duduk dengan tubuh tegak namun kaku, matanya menatap kosong pada jendela kaca yang sedikit berembun. Ethan duduk di seberangnya, diam. Tak ada suara selain derap kuda yang berlari perlahan dan dentingan besi yang bergesekan ringan. Mereka sama-sama terdiam, enggan memulai percakapan. Akhirnya, Ethan membuka mulut lebih dulu. "Apakah Anda tidak takut, Tuan ?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Pertanyaan itu, sesederhana apa pun terdengar, membuat bahu Elian menegang secara refleks. Pandangannya tetap terpaku pada jendela, tapi tangannya kini menggenggam lututnya dengan kuat, jari-jarinya gemetar halus. ‘Takut?’ Kata

    Last Updated : 2025-04-13
  • Sisa Takdir   BAB 131

    Langit senja menyambut kedatangan Elian dengan nuansa keemasan yang redup, seolah ikut menyimpan rindu yang lama tertahan. Saat kaki Elian menapaki pelataran depan kediaman Silvercrest, udara terasa lebih berat dari biasanya bukan karena kabut atau angin, melainkan karena kenangan yang tak terhindarkan. Rumah itu masih berdiri kokoh, tak berubah, tapi juga tak lagi sama. Pintu besar terbuka sebelum Elian sempat mengetuk. Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Elian menghentikan langkahnya. “Kak Damien,” ucapnya pelan. Kakaknya menyambutnya dengan senyum kecil yang hangat namun canggung, seperti seseorang yang ingin memeluk, tapi tidak tahu apakah itu akan menyakiti atau menenangkan. “Kau akhirnya pulang,” kata Damien. “Bagaimana perjalananmu?” Elian mengangguk kecil. “Cukup tenang… tidak ada gangguan.” Dan seperti yang sudah bisa diduga, pertanyaan berikutnya menyusul cepat. “Bagaimana keadaan pangeran ketiga?

    Last Updated : 2025-04-14
  • Sisa Takdir   BAB 132

    Sore itu datang pelan-pelan, menyusup melalui celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara di kamar Elian terasa tenang, hampir terlalu tenang, seolah seluruh dunia sedang menunggu sesuatu. Ketenangan yang terasa mencekam. Lelah menyelimutinya seperti kabut, bukan karena aktivitas fisik yang berat, tapi karena pergulatan batin yang terus menghantui sejak hari-hari terakhir ini. Setiap keputusan yang diambil, setiap langkah yang diambil, rasanya semakin membawa dirinya lebih jauh dari kedamaian yang pernah dirasakannya. Ia duduk di ranjang, punggung bersandar ke sandaran kayu yang terasa keras dan dingin, membiarkan kepalanya terjatuh pelan ke belakang. Pandangannya kosong, menatap langit-langit kamar yang tampak lebih redup dari biasanya, seolah seluruh ruangan ikut merasakan betapa hampa hatinya. Langit sore di luar seharusnya indah, berwarna oranye keemasan dengan awan yang menggumpal pelan, seperti lukisan yang bergerak. Tapi Elian terlalu letih untuk menikmatinya.

    Last Updated : 2025-04-15
  • Sisa Takdir   BAB 133

    Malam mulai merayap pelan, membawa serta udara dingin dan bayangan panjang di lorong-lorong kediaman Silvercrest. Lentera-lentera mulai dinyalakan, menyebarkan cahaya kekuningan yang temaram. Di antara pelayan yang lalu lalang, Ethan berjalan cepat, menyusuri koridor batu yang mulai sepi. Di tangannya ada nampan kecil berisi selembar catatan dari kepala keluarga Silvercrest. Hari ini Elian diharuskan hadir dalam makan malam keluarga. Dengan langkah ringan tapi hati-hati, Ethan sampai di depan pintu kamar tuannya. Ia mengetuk pelan, “Tuan muda, waktunya makan malam. Tuan Lucien ingin Anda hadir.” Ia sempat menunduk sebentar, mendengarkan. Biasanya, Elian menjawab walau hanya dengan dengusan pelan atau ucapan singkat dari balik pintu. Tapi kali ini… tidak ada. Dahi Ethan berkerut. Ia menempelkan telinga ke pintu, mencoba menangkap suara gerakan, desahan napas, apa pun. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan. Ia menunggu beberapa detik, lalu ke

    Last Updated : 2025-04-16
  • Sisa Takdir   BAB 134

    Byurrr. Air dingin menghantam kepala Elian dan langsung menyusup ke seluruh tubuhnya. Aliran itu begitu tiba-tiba, menusuk kulit dan tulangnya seperti sembilu, membuat tubuhnya menggigil hebat. Elian terbatuk keras, nyaris tersedak oleh air yang mengucur deras ke wajah dan lehernya. Matanya terbuka dengan paksa, pandangannya buram oleh sisa air. Detik pertama, yang ia rasakan hanya pusing, tubuh yang berat, dan nyeri di setiap persendiannya. Pandangannya mulai fokus perlahan. Yang pertama ia lihat adalah… kegelapan. Dinding-dinding batu yang lembap mengelilinginya, retak-retak dan berlumut. Di atasnya, lampu kristal kecil menggantung redup, melemparkan cahaya kekuningan yang gemetar, seolah ragu untuk menyinari tempat ini. Udara di sekelilingnya dingin dan berbau apek perpaduan antara darah kering, logam, dan jamur tua. Ruangan ini… asing. Sunyi. Tak ada jendela, hanya tembok batu dan lantai yang dipenuhi goresan samar bekas lingkaran sihir yang telah m

    Last Updated : 2025-04-17
  • Sisa Takdir   BAB 135

    Langkah kaki Ethan menggema cepat di lorong kediaman Silvercrest. Nafasnya pendek, tubuhnya tegang, dan matanya terus mencari satu sosok Caine. Elian menghilang. Ethan menolak mempercayai itu pada awalnya, tapi kenyataannya terlalu jelas. Tidak ada tanda perlawanan, tidak ada suara, tidak ada jejak kaki menuju keluar. Ini bukan pelarian. Ini penculikan yang rapi terencana. Ia sampai di depan kamar Caine dan mengetuk keras. “Caine! Cepat buka! Ini penting!” Butuh beberapa detik sebelum pintu dibuka. Caine muncul dengan mata sedikit sembab, rambut acak-acakan. “Ethan? Ada apa?” Suara Ethan gemetar. “Elian... dia menghilang.” Caine langsung membeku. Seolah tubuhnya tersambar petir. “Apa maksudmu menghilang?” “Kamarnya kosong. Jendela terbuka. Ada sihir, tapi sangat halus. Seseorang membawanya... dan dia tidak melawan. Sepertinya tidak sadarkan diri.” Tatapan Caine kosong, wajahnya seputih kertas. Lalu amara

    Last Updated : 2025-04-18
  • Sisa Takdir   BAB 136

    Hening. Elian duduk di kegelapan yang begitu pekat hingga matanya tak lagi bisa membedakan apakah ia sedang terpejam atau tidak. Satu-satunya yang bisa ia dengar adalah suara napasnya sendiri, tersengal, terputus-putus, seakan tubuhnya menolak udara. Ia mencoba menenangkan dirinya, menarik napas perlahan melalui hidung, lalu menghembuskannya dengan lirih. Tapi setiap kali ia mencoba, rasa sakit dari dada dan pergelangan tangannya membuat napas itu terganggu. Tangannya masih terikat erat dan kasar. Sesekali ia merasakan cairan hangat merembes di pergelangan, mungkin darah. Tapi ia bahkan tak peduli. Entah sudah berapa lama sejak Azrael terakhir datang. Beberapa jam? Sehari? Elian tak tahu. Di tempat ini, waktu tidak berjalan seperti biasanya. Tidak ada siang, tidak ada malam. Hanya keabadian dalam kesakitan. Haruskah ia menghela napas lega karena Azrael belum kembali? Tidak. Justru sebaliknya. Ketidakhadiran Azrael adalah ta

    Last Updated : 2025-04-19

Latest chapter

  • Sisa Takdir   BAB 147

    Langkah-langkah di luar gua perlahan menjauh, menyisakan suara gemuruh hujan yang kembali mendominasi. Caine mematung dalam diam, jantungnya masih berdetak cepat, menggema di telinga seperti genderang perang. Ia menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik... Namun tak ada suara lagi. Tak ada cahaya lentera. Tak ada teriakan. Hanya suara air yang menetes dari dinding gua, dan desir angin dingin yang membawa aroma basah dan tanah. Beberapa saat kemudian, seekor rusa kecil berlari melintas di depan gua, cipratan air dari tapaknya menyebar liar di tanah berlumpur. Hanya rusa. Hanya hewan kecil yang tersesat. Caine menghela napas panjang, perlahan. Napas yang menahan segalanya: rasa waspada, rasa takut, dan sedikit harapan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit kelabu di mulut gua yang mulai semakin menghitam. Badai itu belum usai. Hujan deras terus mengguyur, menciptakan aliran kecil di lantai gua. Air mulai merembes

  • Sisa Takdir   BAB 146

    Hujan di luar menggila. Gemuruh air memukul tanah dengan keras, dan langit, yang sejak tadi mendung, kini sepenuhnya kelam. Malam datang lebih cepat daripada biasanya, seolah badai membawa kegelapan bersamanya. Di dalam gua kecil itu, Caine dan Elian hanya bisa mengandalkan kehangatan tubuh masing-masing untuk melawan dingin yang menembus sampai ke tulang. Elian sudah mulai tenang. Nafasnya pelan dan teratur, meskipun sesekali terdengar sedikit berat. Ia kembali tertidur, wajahnya lebih damai dibandingkan sebelumnya. Caine perlahan menyentuh dahi tuannya, telapak tangannya berhati-hati menilai suhu tubuh yang lemah itu. Hangat. Tapi tidak panas. Tidak ada demam. Caine menghela napas lega, merasakan beban berat sedikit berkurang dari dadanya. Dalam kondisi seperti ini, satu masalah kecil saja seperti demam bisa berakibat fatal. Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Saat menurunkan tangannya, matanya menangkap warna merah yang samar di celana E

  • Sisa Takdir   BAB 145

    Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah

  • Sisa Takdir   BAB 144

    Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb

  • Sisa Takdir   BAB 143

    Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.

  • Sisa Takdir   BAB 142

    Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng

  • Sisa Takdir   BAB 141

    Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D

  • Sisa Takdir   BAB 140

    Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam

  • Sisa Takdir   BAB 139

    Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan lembap. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyembunyikan jejak mereka. Elian melangkah pelan di belakang Azrael, tubuhnya terbungkus jubah gelap yang terlalu besar. Setiap langkah membuat pahanya berdenyut, dan sesekali ia harus berhenti untuk mengatur napas yang semakin berat. Azrael menoleh sesekali, memastikan Elian masih mengikutinya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Sunyi. Hanya suara dedaunan yang terinjak dan napas tertahan Elian yang menjadi pengisi malam. Langkah Elian terhenti sejenak. Kepalanya sedikit pening, dan rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke tengkuk. Racun itu mulai bergerak lebih cepat. Ia bisa merasakannya. “Kau melambat,” suara Azrael terdengar seperti teguran dingin. Elian mendongak, menatap pria itu dengan mata lelah. “Aku… hanya butuh waktu sedikit.” Azrael menatapnya sejenak. “Kau harus kuat, Elian. Kita masih jauh dari tempat tuj

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status