แชร์

BAB 153

ผู้เขียน: Rayna Velyse
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-06 21:53:45

"Aku… aku lelah…" ucap Elian, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam pelukan wanita itu. Bahunya bergetar pelan, napasnya berat, seolah ribuan beban mengendap di dadanya.

Semua tampak sunyi. Tidak ada angin, tidak ada suara, hanya Elian dan wanita itu, berdiri di tengah padang pasir tanpa ujung. Hamparan pasirnya dingin, menyelimuti telapak kaki mereka seperti abu waktu yang membatu. Langitnya kelabu, kosong, tak ada matahari, seolah cahaya pun enggan hadir. Udara mengandung rasa hampa, seperti dunia yang lupa bernapas. Di kejauhan, horizon memudar dalam kabut keabu-abuan yang tak pernah usai. Waktu seolah berhenti.

"Semua tidak berubah… aku harus bagaimana…?"

Kata-kata itu mengalir lirih dari bibirnya, seperti gumaman dari jiwa yang lelah hidup berkali-kali. Ia tidak tahu harus berharap pada siapa lagi. Tidak tahu apakah jalannya memang benar atau hanya ilusi dari rasa bersalah yang tak pernah usai.

Wanita itu tak menjawab segera. Ia
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Sisa Takdir   BAB 154

    Perlahan, kelopak matanya terbuka. Cahaya samar menembus masuk, menusuk penglihatannya yang kabur. Saat pandangannya mulai menyesuaikan, ia mendapati langit-langit kamar yang tak asing kayu tua berukir halus, warna cokelat kelam yang telah lama ia kenali. Tirai jendela dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya keperakan fajar merayap masuk, jatuh ke lantai batu yang dingin. Di sudut ruangan, meja kayu dipenuhi gulungan perban, cawan logam, dan sebotol cairan berwarna gelap. Aroma khas ruangan itu campuran kayu, rempah, dan sedikit bau obat segera memenuhi kesadarannya. Di kejauhan, suara burung-burung pagi terdengar samar, seperti dunia di luar sedang melanjutkan hidupnya tanpa menunggu siapa pun. Ia ada di kamar miliknya. Di kediaman Silvercrest. Tubuhnya serasa terbakar. Tepat saat kesadarannya kembali utuh, rasa nyeri datang seperti ombak, menghantam setiap sarafnya. Ia mengerang pelan, merasakan luka di bahunya, dada yang tertusuk nyeri, dan yan

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-05-07
  • Sisa Takdir   BAB 155

    Senja belum benar-benar tenggelam saat pintu kamar kembali terbuka. Cahaya oranye keemasan menyelinap dari jendela, menggambar siluet lembut di lantai marmer dan tirai yang bergoyang pelan. Langkah-langkah yang masuk kini tak lagi ragu, tak asing bagi telinga Elian. Suara gesekan sepatu dengan lantai, begitu pelan namun mantap, terdengar jelas di antara hening yang menebal seperti kabut. Napasnya bahkan bisa mengenali suara itu tanpa perlu melihat. Ada sesuatu dari cara pintu didorong dengan perlahan, dari langkah tenang namun mantap yang begitu dikenal seperti irama dari sebuah lagu lama yang mengisi masa lalu. “Elian.” Nama itu meluncur dari bibir Ethan, lembut, seperti bisikan. Suaranya mengandung kekhawatiran, tapi tak sedikit pun mengguncang ketenangannya. Elian membuka mata dan menatap pemuda itu. Ethan mengenakan pakaian sederhana berwarna abu gelap, lengan digulung hingga siku. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin luar, dan di tangannya ada s

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-05-08
  • Sisa Takdir   BAB 156

    Ramuan itu membawa ketenangan yang aneh. Hangat, manis, dan menenangkan, namun juga meninggalkan berat di kelopak mata Elian. Udara di sekitarnya pun terasa lebih sunyi, seolah suara dunia memudar bersama kesadarannya. Cahaya lampu minyak di pojok ruangan meredup, memantulkan bayangan lembut ke dinding kayu yang usang. Hangat ranjang bertemu dengan dingin udara malam menciptakan kontras yang memeluk tubuhnya perlahan. Setelah meneguknya, tubuhnya kembali tenggelam dalam keheningan ranjang, napasnya mulai perlahan dan teratur. Ia ingin membuka matanya, berbicara, atau sekadar bergerak. Tapi semuanya terasa seperti sedang melawan arus air yang sangat deras. Dunia di sekitarnya memudar menjadi kabut samar. Ia tahu Ethan ada di sana selalu di sana. Bahkan saat matanya tertutup dan pikirannya melayang, ia bisa merasakan kehadiran itu… terasa dalam bentuk kehangatan yang menjalari ujung jari, dalam sentuhan lembut yang menarik selimut hingga ke dadanya. Sesek

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-05-09
  • Sisa Takdir   BAB 1 JEJAK YANG TERHAPUS

    Hujan deras mengguyur kota tua dengan derasnya. Jalan bebatuan basah memantulkan cahaya lentera yang tergantung disepanjang jalan. Udara malam terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Di tengah hiruk pikuk pasar malam yang hampir tutup, seorang pemuda berdiri dibawah naungan bayangannya, nyaris tak terlihat. Dia adalah Elian, putra bungsu keluarga Silvercrest keluarga terhormat yang kini hanya menjadi dongeng di antara rakyat jelatah. Tubuhnya kurus, hampir terlihat rapuh, dengan wajah pucat yang kontras dengan gelapnya malam. Pakaiannya lusuh dan basah kuyup, menempel erat di tubuhnya yang tidak bertenaga. Namun, dibalik penampilannya yang lemah, ada tatapan tajam dari mata merahnya yang menyala, seperti api yang menolak untuk padam. Langkah-langkahnya pelan dan tidak stabil, ketika dia melewati pasar malam yang hampir sepi. Lentera-lentera yang tergantung bergoyang tertiup angin, memberikan gambaran sekilas bayangan kondisi tubuhnya yang jauh

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-08
  • Sisa Takdir   BAB 2 AKHIR YANG TERLUPAKAN

    Ruangan itu gelap dan pengap, seperti ruangan yang terkurung dalam waktu, semakin kedalam semakin tak setitik cahayapun. Tubuhnya bergetar berusaha untuk terus masuk kedalam, napas Elian memburu cepat. Dia bersandar pada dinding untuk menjaga keseimbangannya, berusaha keras untuk tetap terjaga melawan matanya yang kabur meminta untuk ditutup. Setiap langkah Elian menambahkan beban di tubuhnya yang semakin lemah, dan rasa sakit di dadanya yang semakin mengganggu. Langkahnya kecil meninggalkan jejak air yang menetes dari pakaian lusuhnya yang basah.“Elian…” suara berat memanggil dari sudut ruangan. Azrael, paman yang sangat Elian percaya dan yang seharusnya melindunginya, muncul dari sudut kegelapan. Wajahnya tersenyum licik memancarkan kemenangan yang tak terbantahkan.Elian mengangkat kepalanya, meskipun tubuhnya hampir tidak sanggup lagi untuk bertahan.“Elian, kau kembali?” kata Azrael dengan nada yang penuh dengan penghinaan. “Aku heran kau m

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-09
  • Sisa Takdir   BAB 3 KESEMPATAN KEDUA

    Keheningan menyelimuti kegelapan yang tak berujung. Elian merasakah tubuhnya mengambang, sangat ringan. Tidak ada lagi rasa sakit, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kain beludru hitam.“Ini belum selesai…”Suara itu menggema dalam kehampaan. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Elian membuka matanya perlahan, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan. “Ah benar aku sudah mati…” pikir Elian. “Elian…” suara itu mengejutkannya kembali, dia menoleh mencari sumber suara itu namun tak juga menemukannya. “Kau memiliki pilihan”Elian mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Suara itu muncul dalam pikirannya begitu saja “Apa kau ingin kembali?” lanjut suara itu. “Apa kau ingin memperbaiki kesalahanmu?”Kenangan akan keluarganya menghantam Elian seperti badai. Wajah ayahnya yang tegas, senyum lembut ibunya, dan tawa kedua kakaknya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang diciptakan oleh tangannya sendiri.“Siapa kau?” piki

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-09
  • Sisa Takdir   BAB 4 BAYANGAN KEHILANGAN

    Elian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Baju putih yang ia kenakan kini menyatu dengan tubuhnya yang kurus. Kepalanya sangat berat, mimpi buruk yang baru saja ia alami membuatnya terbangun dengan perasaan mual yang menyelubungi tubuhnya. Ia duduk terdiam beberapa saat untuk menenangkan dirinya, namun bayangan ingatan masa lalu yang seperti mimpi buruk itu terus mengganggunya.Pintu kamarnya terbuka pelahan, Ethan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta secangkir teh herbal di tangannya. Elian menatap sosok yang masuk melewati pintu, ekspresinya terkejut. Ethan menatap Elian, saat ini ia melihat Elian yang tengah gelisah, ekspresinya langsung berubah.“Tuan muda, apa anda baik-baik saja?” Ethan bertanya dengan lembut, mengingatkan Elian pada sosok Ethan dimasa lalu. Dimana ia selalu setia disisi Elian, merawat Elian dengan sabar. Dalam sekejap, bayangan kehidupan lalu muncul kembali.Kilas Balik.

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-10
  • Sisa Takdir   BAB 5 KEHENINGAN YANG MENGUATKAN

    Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun.Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan.Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir.Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangu

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-10

บทล่าสุด

  • Sisa Takdir   BAB 156

    Ramuan itu membawa ketenangan yang aneh. Hangat, manis, dan menenangkan, namun juga meninggalkan berat di kelopak mata Elian. Udara di sekitarnya pun terasa lebih sunyi, seolah suara dunia memudar bersama kesadarannya. Cahaya lampu minyak di pojok ruangan meredup, memantulkan bayangan lembut ke dinding kayu yang usang. Hangat ranjang bertemu dengan dingin udara malam menciptakan kontras yang memeluk tubuhnya perlahan. Setelah meneguknya, tubuhnya kembali tenggelam dalam keheningan ranjang, napasnya mulai perlahan dan teratur. Ia ingin membuka matanya, berbicara, atau sekadar bergerak. Tapi semuanya terasa seperti sedang melawan arus air yang sangat deras. Dunia di sekitarnya memudar menjadi kabut samar. Ia tahu Ethan ada di sana selalu di sana. Bahkan saat matanya tertutup dan pikirannya melayang, ia bisa merasakan kehadiran itu… terasa dalam bentuk kehangatan yang menjalari ujung jari, dalam sentuhan lembut yang menarik selimut hingga ke dadanya. Sesek

  • Sisa Takdir   BAB 155

    Senja belum benar-benar tenggelam saat pintu kamar kembali terbuka. Cahaya oranye keemasan menyelinap dari jendela, menggambar siluet lembut di lantai marmer dan tirai yang bergoyang pelan. Langkah-langkah yang masuk kini tak lagi ragu, tak asing bagi telinga Elian. Suara gesekan sepatu dengan lantai, begitu pelan namun mantap, terdengar jelas di antara hening yang menebal seperti kabut. Napasnya bahkan bisa mengenali suara itu tanpa perlu melihat. Ada sesuatu dari cara pintu didorong dengan perlahan, dari langkah tenang namun mantap yang begitu dikenal seperti irama dari sebuah lagu lama yang mengisi masa lalu. “Elian.” Nama itu meluncur dari bibir Ethan, lembut, seperti bisikan. Suaranya mengandung kekhawatiran, tapi tak sedikit pun mengguncang ketenangannya. Elian membuka mata dan menatap pemuda itu. Ethan mengenakan pakaian sederhana berwarna abu gelap, lengan digulung hingga siku. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin luar, dan di tangannya ada s

  • Sisa Takdir   BAB 154

    Perlahan, kelopak matanya terbuka. Cahaya samar menembus masuk, menusuk penglihatannya yang kabur. Saat pandangannya mulai menyesuaikan, ia mendapati langit-langit kamar yang tak asing kayu tua berukir halus, warna cokelat kelam yang telah lama ia kenali. Tirai jendela dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya keperakan fajar merayap masuk, jatuh ke lantai batu yang dingin. Di sudut ruangan, meja kayu dipenuhi gulungan perban, cawan logam, dan sebotol cairan berwarna gelap. Aroma khas ruangan itu campuran kayu, rempah, dan sedikit bau obat segera memenuhi kesadarannya. Di kejauhan, suara burung-burung pagi terdengar samar, seperti dunia di luar sedang melanjutkan hidupnya tanpa menunggu siapa pun. Ia ada di kamar miliknya. Di kediaman Silvercrest. Tubuhnya serasa terbakar. Tepat saat kesadarannya kembali utuh, rasa nyeri datang seperti ombak, menghantam setiap sarafnya. Ia mengerang pelan, merasakan luka di bahunya, dada yang tertusuk nyeri, dan yan

  • Sisa Takdir   BAB 153

    "Aku… aku lelah…" ucap Elian, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam pelukan wanita itu. Bahunya bergetar pelan, napasnya berat, seolah ribuan beban mengendap di dadanya. Semua tampak sunyi. Tidak ada angin, tidak ada suara, hanya Elian dan wanita itu, berdiri di tengah padang pasir tanpa ujung. Hamparan pasirnya dingin, menyelimuti telapak kaki mereka seperti abu waktu yang membatu. Langitnya kelabu, kosong, tak ada matahari, seolah cahaya pun enggan hadir. Udara mengandung rasa hampa, seperti dunia yang lupa bernapas. Di kejauhan, horizon memudar dalam kabut keabu-abuan yang tak pernah usai. Waktu seolah berhenti. "Semua tidak berubah… aku harus bagaimana…?" Kata-kata itu mengalir lirih dari bibirnya, seperti gumaman dari jiwa yang lelah hidup berkali-kali. Ia tidak tahu harus berharap pada siapa lagi. Tidak tahu apakah jalannya memang benar atau hanya ilusi dari rasa bersalah yang tak pernah usai. Wanita itu tak menjawab segera. Ia

  • Sisa Takdir   BAB 152

    Langit masih ditutupi awan kelam yang menggantung berat, seakan langit itu sendiri takut menurunkan hujan. Udara terasa pengap, menggantung dengan bau logam dan tanah basah, seolah dunia menahan napas. Tanah di bawah kaki para prajurit lembap dan retak, menyimpan jejak-jejak sepatu berat dan bekas roda kereta perang yang sunyi. Di barisan depan pasukan Silvercrest, denting senjata mulai terdengar bukan dari pertempuran, tapi dari persiapan. Para prajurit memeriksa pedang yang telah diasah hingga berkilau pucat di bawah cahaya suram. Bunyi gesekan logam terdengar seperti bisikan maut. Mereka mengencangkan pelindung dada yang dingin dan kasar, lalu menggambar simbol perlindungan di pelindung kepala mereka dengan tangan gemetar seolah berharap simbol itu bisa menjadi doa terakhir. Mereka tidak hanya bersiap untuk melawan manusia... tapi sesuatu yang lebih buruk. Kaelian berdiri di atas bukit kecil, matanya menyapu seluruh dataran. Di sampingnya, Lucien memegang gulu

  • Sisa Takdir   BAB 151

    Kabut dingin menggulung perlahan di perbatasan utara, tempat di mana tanah mulai membeku dan angin berhembus tajam membawa bau tanah, besi, dan sesuatu yang lebih kelam mana. Tapi bukan mana biasa. Mana itu terasa berat, menekan dada siapa pun yang menginjakkan kaki di sana, seolah bumi sendiri menolak kehadiran manusia. Dua pasukan besar telah berkumpul. Di satu sisi, barisan kokoh dan terlatih dari kerajaan berdiri tegap dalam formasi sempurna. Panji kerajaan berkibar megah, melambangkan otoritas dan kekuatan yang tidak bisa diganggu gugat. Di sisi lain, pasukan keluarga Silvercrest, dengan baju zirah berukir lambang singa bersayap, berdiri dengan tekad dan kebanggaan. Dua kekuatan, dua warisan besar, kini bersatu untuk satu tujuan menghentikan Azrael dan Leandor. Tenda-tenda didirikan di antara hutan pinus dan batu-batu tajam. Tenda besar komando berdiri di tengah-tengah dua pasukan, menjadi tempat koordinasi sekaligus simbol aliansi. Lucien Silvercr

  • Sisa Takdir   BAB 150

    Langit di atas istana kerajaan perlahan berubah kelabu. Angin dingin berembus membawa aroma logam dan debu pertanda bahwa sesuatu yang besar tengah bergolak. Di dalam aula utama, suasana penuh ketegangan dan kesibukan. Suara langkah kaki, denting armor, dan teriakan komandan memenuhi udara. Caelum berdiri tegak di hadapan Raja, sementara Kaelian berada di sampingnya, membawa gulungan perintah dari keluarga Silvercrest. “Ayah,” Caelum menunduk hormat, “Kami datang karena surat dari keluarga Silvercrest. Ini bukan lagi masalah keluarga semata. Ini pemberontakan terhadap kerajaan.” Kaelian membuka gulungan itu, lalu menyerahkannya kepada Raja. Mata sang raja menelusuri tiap kalimat dalam diam, sebelum akhirnya menarik napas panjang. Ekspresinya sulit ditebak, namun sorot matanya telah berubah dingin dan penuh keputusan. “Aku sudah tahu,” ujar Raja, suaranya berat. “Putraku... Leandor, telah bermain dalam kegelapan terlalu lama. Aku hanya berharap

  • Sisa Takdir   BAB 149

    Cahaya lentera menggantung temaram di langit-langit kamar Elian, menyinari tubuh mungil yang kini terbaring lemah di atas ranjang. Nafasnya masih berat, tapi stabil. Beberapa pelayan berdiri di sekitar tempat tidur, wajah mereka menegang, sementara seorang tabib menyiapkan ramuan dan kain perban di atas meja kecil. “Segera ganti pakaiannya. Kita harus membersihkan lukanya,” ucap tabib tegas. Dengan hati-hati, mereka melepaskan pakaian Elian yang kotor dan sobek. Beberapa bagian menempel pada kulit karena darah kering. Elian hanya mengerang pelan, kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Ketika mereka melepas celana panjangnya, seketika ruangan sunyi. Mata semua orang tertuju pada bagian pahanya kulitnya merah merona, bukan karena ruam biasa, tapi karena luka bakar yang begitu jelas. Beberapa bagian melepuh ringan, seolah dagingnya pernah menyentuh batu panas. Pelayan perempuan di sisi kanan refleks menutup mulutnya, menahan isak. Tabib mengerutkan

  • Sisa Takdir   BAB 148

    Petir menggelegar di kejauhan. Cahaya putih kebiruan itu menerangi gua selama satu detik sebelum semuanya kembali tertelan hitam. Di luar, badai belum juga mereda. Air terus mengalir deras dari tebing, menabrak bebatuan dan menciptakan denting yang keras dan kacau. Namun di dalam gua, keheningan baru mulai terbentuk. Elian terlelap di pelukan Caine, napasnya mulai tenang meski masih sesekali terisak pelan dalam tidur. Tubuhnya tidak lagi gemetar seperti tadi, dan suhu tubuhnya mulai menghangat. Entah karena pelukan Caine atau karena rasa aman yang perlahan menyusup kembali ke dalam hatinya. Caine mengusap rambut Elian dengan lembut. Ia tak bergerak dari posisi itu selama berjam-jam. Bahunya kaku, punggungnya sakit karena duduk bersandar pada batu tanpa alas yang layak, tapi ia tak mengeluh. Rasa lelahnya tak sebanding dengan penderitaan yang baru saja dilalui Elian. Ia hanya bisa menjaga. Menjaga, hingga seseorang datang… atau hingga pagi tiba.

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status