Share

BAB 165

Author: Rayna Velyse
last update Last Updated: 2025-05-21 20:27:36

Kabut tipis mulai merayap turun dari lereng bukit, menyelimuti jembatan seperti kerudung duka. Udara terasa lebih berat, seakan tanah sendiri masih meratap atas luka yang ditinggalkan oleh pertempuran semalam. Elian berdiri di tengah lingkaran formasi, Luceor tergenggam di tangan kanannya, dingin dan belum bernoda. Di sekelilingnya, para penyihir sibuk menjaga aliran sihir agar kubah Sanctum Eclipse tetap stabil.

Caelum berdiri tak jauh dari sana, tubuhnya masih dibungkus mantel tempur berdebu, namun sorot matanya telah kembali hidup. Ia belum bicara sejak Elian datang, tapi kediamannya lebih kuat dari seribu janji. Mereka adalah dua pilar rapuh yang dipaksa berdiri untuk menopang reruntuhan dunia.

Angin membawa suara langkah mendekat.

“Pagi yang tenang untuk dunia yang nyaris runtuh,” kata suara lembut namun tajam itu.

Elian menoleh. Lysanne datang dengan rambut peraknya yang dikepang longgar dan jubah ungu gelapnya melambai tertiup angin. Ia
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Sisa Takdir   BAB 169

    Hujan turun pelan-pelan dari langit yang semula kelabu, kini berubah menjadi abu-abu pucat yang menenangkan. Aroma tanah basah bercampur dengan debu dan darah. Titik-titik hujan jatuh ke wajah-wajah lelah yang terangkat ke langit sebagai tanda bahwa semuanya… telah usai. Pasukan Azrael tersisa hanya sedikit, dan yang ada kini mulai tumbang satu demi satu. Beberapa melarikan diri, namun tertelan kabut aether yang masih tersisa. Yang tersisa dari barisan pengkhianat, hanya ketakutan dan penyesalan. Di sisi utara, di bawah bendera yang hampir sobek, beberapa bangsawan yang sempat berdiri di pihak Azrael kini berlutut dengan wajah tertunduk. Tanpa senjata, tanpa sihir. Di hadapan Caelum sang pangeran ketiga yang kini berdiri tegak walau tubuhnya dipenuhi luka dan darah kering. "Pengkhianatan kalian akan diadili," ucap Caelum dengan suara parau. Hujan membasahi rambut peraknya yang menempel di wajah. Meski tulang rusuknya terasa seperti retak parah, ia tetap

  • Sisa Takdir   BAB 168

    Angin mati, udara terasa beku seolah waktu sendiri menolak bergerak. Langit kelabu membentang, berat dan penuh luka, seakan menahan tangisan. Tanah retak membentang di bawah kaki, retakan panjang yang menjerit dalam diam. Asap putih keperakan menggantung berat di udara, mengendap seperti tirai usang yang tak kunjung terbuka. Aroma tajam ozon bercampur bau darah membakar hidung, menusuk paru-paru hingga dada sesak. Debu sihir beterbangan perlahan, melayang seperti kepingan salju kotor yang tak mau hilang. Elian terhuyung lalu jatuh berlutut, lututnya menghantam tanah hangus yang retak dan berselimut abu. Debu tipis terangkat perlahan, menari-nari di udara pekat. Tangannya yang gemetar mencengkeram gagang Luceor, pedang suci yang kini nyaris padam, hanya menyisakan kilau biru yang redup, bagaikan bara kecil yang tersisa di ujung malam yang panjang dan dingin. Detak jantungnya masih berdentam keras di telinga, menenggelamkan dunia. Di hadapannya, tubuh Azr

  • Sisa Takdir   BAB 167

    Asap sihir masih mengepul di antara mereka, menggulung perlahan seperti ular perak yang enggan menghilang. Bau logam dan tanah terbakar memenuhi udara, menyusup ke paru-paru. Di antara kepulan itu, Luceor menyala pelan, denyutnya mengikuti irama napas Elian yang mulai berat, seolah pedang itu turut merasakan beban yang ia pikul. Azrael masih berdiri, walau sebagian jubahnya hangus dan darah hitam menetes dari bibirnya. Namun, bukan luka fisik yang membuat Elian waspada. Itu adalah tatapan mata pamannya mata yang tidak gentar, tidak gentar sedikit pun bahkan setelah dihantam sihir murni. "Bagus," Azrael melangkah pelan ke depan. Kabut mengikuti langkahnya seperti jubah hidup. "Akhirnya, aku bisa melihat kekuatan aslimu." "Dan aku melihat wajah iblis yang bersembunyi di balik nama keluarga kami," balas Elian. Suaranya tetap tenang meskipun jantungnya berdentam. Ethan bergerak mendekat, posisinya melindungi sisi kanan Elian. Caelum dan Caine menj

  • Sisa Takdir   BAB 166

    Langit pecah seolah menanggapi perintah Azrael. Kilatan petir menyambar dari ketinggian, menghantam permukaan kubah sihir yang berkilau perak dan obsidian. Suara dentumannya mengguncang tanah, membuat udara terasa seperti berdetak. Cahaya merah darah menyebar dari tongkat Azrael, menyusup ke dalam kabut seperti tinta yang menodai air bening. Elian berdiri tegak di tengah formasi, matanya tidak berkedip saat badai sihir itu mulai menghantam perlindungan terakhir mereka. “Pertahankan kubah!” seru Lysanne, suaranya menggema di antara kilatan energi. Tongkat penstabilnya bersinar terang, menyalurkan aether ke setiap simpul rune. Para penyihir menanggapi dengan teriakan, suara mereka menyatu dalam mantra yang penuh ketegangan. Caelum melompat ke depan, menghunus pedangnya yang tertanam dengan kristal elemental. “Dia mencoba melemahkan perimeter dulu.” “Tidak lama lagi akan jadi sebaliknya,” jawab Ronan dari sisi luar lingkaran, panah sihi

  • Sisa Takdir   BAB 165

    Kabut tipis mulai merayap turun dari lereng bukit, menyelimuti jembatan seperti kerudung duka. Udara terasa lebih berat, seakan tanah sendiri masih meratap atas luka yang ditinggalkan oleh pertempuran semalam. Elian berdiri di tengah lingkaran formasi, Luceor tergenggam di tangan kanannya, dingin dan belum bernoda. Di sekelilingnya, para penyihir sibuk menjaga aliran sihir agar kubah Sanctum Eclipse tetap stabil. Caelum berdiri tak jauh dari sana, tubuhnya masih dibungkus mantel tempur berdebu, namun sorot matanya telah kembali hidup. Ia belum bicara sejak Elian datang, tapi kediamannya lebih kuat dari seribu janji. Mereka adalah dua pilar rapuh yang dipaksa berdiri untuk menopang reruntuhan dunia. Angin membawa suara langkah mendekat. “Pagi yang tenang untuk dunia yang nyaris runtuh,” kata suara lembut namun tajam itu. Elian menoleh. Lysanne datang dengan rambut peraknya yang dikepang longgar dan jubah ungu gelapnya melambai tertiup angin. Ia

  • Sisa Takdir   BAB 164

    Sang fajar baru saja merintis celahnya ketika pintu halaman dalam Manor Silvercrest terhempas. Udara masih dibasahi abu sisa tubuh Nar’khel yang malam tadi runtuh namun derap langkah tegas menggema di koridor marmer. Elian Silvercrest, balutan perban masih melingkari sisi rusuk dan pahanya, menuruni anak tangga seperti lelaki yang tak lagi merasa sakit. Di punggungnya tergantung Luceor, pedang hitam yang belum pernah ia gunakan. Ujung mantel perangnya terseret angin, menyapu dedaunan gugur di jalan berbatu. Udara koridor sejuk, tapi setiap langkahnya memantul sebagai gema besi, seolah dinding dinding marmer ikut menahan napas. Sinar pagi menembus kaca patri, membelah debu halus menjadi pita cahaya keemasan yang berkilauan di sekitar pedang hitam di punggung Elian. Di teras bawah, Ethan menunggu mata sembab karena berjaga semalam suntuk. Embun dinihari masih menggantung di pagar mawar kelopaknya basah, menetes pelan ke balok batu. Aroma tanah lembap berc

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status