หน้าหลัก / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 2 AKHIR YANG TERLUPAKAN

แชร์

BAB 2 AKHIR YANG TERLUPAKAN

ผู้เขียน: Rayna Velyse
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-12-09 12:14:30

Ruangan itu gelap dan pengap, seperti ruangan yang terkurung dalam waktu, semakin kedalam semakin tak setitik cahayapun. Tubuhnya bergetar berusaha untuk terus masuk kedalam, napas Elian memburu cepat. Dia bersandar pada dinding untuk menjaga keseimbangannya, berusaha keras untuk tetap terjaga melawan matanya yang kabur meminta untuk ditutup.

Setiap langkah Elian menambahkan beban di tubuhnya yang semakin lemah, dan rasa sakit di dadanya yang semakin mengganggu. Langkahnya kecil meninggalkan jejak air yang menetes dari pakaian lusuhnya yang basah.

“Elian…” suara berat memanggil dari sudut ruangan. Azrael, paman yang sangat Elian percaya dan yang seharusnya melindunginya, muncul dari sudut kegelapan. Wajahnya tersenyum licik memancarkan kemenangan yang tak terbantahkan.

Elian mengangkat kepalanya, meskipun tubuhnya hampir tidak sanggup lagi untuk bertahan.

“Elian, kau kembali?” kata Azrael dengan nada yang penuh dengan penghinaan. “Aku heran kau masih bisa berdiri dengan tubuh seperti itu. Aku kira seharusnya kau sudah mati sejak lama.” Senyumnya licik, menahan tawa.

Elian menegakkan tubuhnya, meski rasa sakit semakin menusuk dadanya. “Azrael..” Suara Elian serak, hampir tak terdengar. “Apa yang kau inginkan dariku?”

Azrael tersenyum, melangkah mendekat perlahan. Senyumannya penuh dengan kebohongan. “Kau tahu apa yang ku inginkan Elian,” katanya dengan suara lembut namun licik. “Aku ingin menjadi pewaris keluarga Silvercrest yang sejati, bukan kau yang lemah itu.”

Elian merasa dunia seakan berputar di sekelilingnya. Suaranya tercekat di tenggorokannya, tubuhnya seakan tak mampu lagi untuk berdiri “Apa maksudmu?” tanya Elian dengan suara yang bergetar.

Azrael mendekat, matanya menyala penuh kebencian. “Kau sudah melakukannya Elian. Kau sudah membunuh keluargamu sendiri,” katanya berbisik di telinga Elian, seperti menyampaikan sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari, “Ayahmu, Ibumu, Kakak-kakakmu. Bukankah kamu yang membunuhnya?”

Elian terdiam, kata-kata Azrael seperti pisau yang menusuk tepat di jantungnya, kenangan yang dia coba lupakan, tiba-tiba muncul kembali. Ayahnya, seorang pria bijaksana yang mengajarkannya tentang kehormatan. Ibunya, seorang wanita yang penuh kasih saying dan kelembutan. Kakak-kakaknya, mereka yang lebih tua dan selalu menjaganya, mereka yang lebih kuat, seharusnya merekalah yang mewarisi tahta keluarga Silvercrest. Semua itu lenyap dalam sekejap mata, terhapus oleh tangan Elian sendiri.

“Kau menipuku,” Elian berbisik, matanya memerah menahan genangan air mata yang siap tumpah. “Kau bilang mereka adalah musuh. Kau bilang mereka berkhianat. Kau bilang mereka menginginkan hidupku berakhir. Kau bilang aku harus membunuh mereka untuk bertahan.”

Azrael tertawa keras dengan puas, “Kau terlalu lemah Elian. Itu yang membuatmu mudah dipermainkan. Aku hanya menunjukkan jalan yang benar. Mereka yang lemah harus dihancurkan. Kau telah membunuh mereka untuk mewarisi tahta ini. Semua darah itu ada di tanganmu.”

Tangan Elian bergetar, dan bayangan masa lalu muncul di benaknya. Azrael, dengan kata-katanya yang meyakinkan, telah berhasil membuatnya percaya bahwa keluarganya adalah ancaman baginya. Ia dipaksa memilih antara keluarga maupun tahta. Dan dalam kebingunga dan kemarahanya yang membara, Elian telah mengambil keputusan itu. Dia membunuh ayahnya, ibunya, kakak pertamanya yang seharusnya menjadi ahli waris, dan bahkan kakak keduanya yang selalu mendukungnya. Semua itu dia lakukan untuk bertahan hidup. Semua itu, hanya karena Azrael memanipulasinya.

Namun sekarang, saat ini Elian menyadarinya betapa salahnya dia. Semua yang dia lakukan hanya menguntungkan bagi Azrael, yang sangat berambisi merebut tahta keluarga Silvercrest. Azrael merancang semuanya, menjadikan Elian sebagai alat untuk membunuh keluarganya, untuk mendapatkan tahta yang Azrael sangat idam-idamkan, tahta yang seharunya menjadi hak mereka.

“Aku sudah memanipulasimu sejak lama,” Azrael berkata dengan sinis “Kau adalah pion dalam permainanku, Elian. Aku tahu bahwa dengan membunuh mereka, aku bisa mengambil semuanya. Dan sekarang, kau tak lebih dari sekedar kenangan yang terhapus. Tak ada yang tersisa selain dirimu yang lemah.”

Air mata mengalir di pipi Elian, meskipun rasa sakit itu semakin dalam. Tubuhnya hampir tak bisa berdiri lagi, tetapi hatinya jauh lebih hancur “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Elian bertanya, suaranya penuh dengan penyesalan. “Mereka sudah mati… aku telah membunuh mereka, tanpa tahu kebenarannya.”

Azrael menatapnya dengan penuh kebencian “Tidak ada yang bisa kau lakukan sekarang. Keluargamu sudah mati, dan tahta ini akan menjadi miliku. Kau tak lebih dari pemuda rapuh yang tak bisa menentukan nasibmu sendiri.”

Elian tahu, dia tidak bisa melakukan apa-apa dengan tubuh lemahnya, bahkan mengangkat pedang saja dia tidak sanggup. Elian menatap tajam kearah Azrael, mata merahnya menyala. Elian menggigit bibirnya, mengerahkan kekuatan tubuhnya yang tersisa untuk bangkit. “Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan apa yang kau inginkan.”

Azrael hanya tertawa keras, “Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Azrael seraya mendekat mengusap rambut hitam Elian yang menutupi wajahnya. “Kau harus mati Elian.” Ucapnya dengan tersenyum licik.

Jleb…

Belati menancap tepat di jantung Elian, darah segar mengucur tak berhenti. Elian terbatuk memuntahkan darah, pandangannya mulai kabur. “Apakah seperti ini akhirnya?” ucap Elian dalam pikirannya.

Akhirnya Elian jatuh ke tanah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Rasa sakit semakin merasukinya, tubuhnya semakin melemah. Azrael berdiri dengan senyum puas diwajahnya.

“Jadi, ini akhirnya berakhir” kata Azrael, suaranya penuh dengan kemenangan.

Elian masih berusaha untuk menatap Azrael meski matanya kini memaksa untuk menutup, dia mengutuk Azrael dalam pikirannya. Tiba-tiba sebuah suara muncul entah dari mana.

“Ini belum selesai Elian. Kau akan kembali”

Dengan kata-kata itu, segala rasa sakit dan kelelahan menghilang. Dalam kegelapan yang menyelimuti, Elian merasa tubuhnya seakan hilang. Dia telah mati.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sisa Takdir   BAB 175

    “Elian.” Suara itu mengalun lembut, nyaris seperti nyanyian angin malam yang berbisik di antara dedaunan. Langit malam membentang pekat, dihiasi bintang-bintang redup yang bersembunyi di balik kabut tipis, seolah langit sendiri enggan mengganggu keheningan suci malam itu. Udara membawa aroma tanah basah dan bunga liar, seakan bumi pun menahan napas menanti sesuatu yang suci. Elian menoleh perlahan, dan jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya menangkap sosok itu. Itu wajah yang menghantuinya dalam doa dan mimpi. Sosok yang pernah menjulurkan tangan ketika ia terperosok paling dalam. Ia berdiri di bawah cahaya bulan, gaunnya putih berkilau, menyapu tanah seperti embun yang mengalir perlahan di rerumputan dini hari. Kabut tipis mengitari kakinya, membuatnya terlihat seolah tak menyentuh bumi. Cahaya bulan menari di sekitar tubuhnya, membentuk siluet samar seperti bayangan dewi dari legenda yang terlupakan. Setiap langkahnya tidak meninggalkan jeja

  • Sisa Takdir   BAB 174

    Malam telah larut. Jam berdetak pelan di dinding kamar, mengiringi suasana sunyi yang begitu pekat. Api di perapian tinggal bara merah yang sesekali berkeretak pelan. Cahaya remangnya menari lembut di dinding, menyatu dengan bayang-bayang tubuh yang tertidur lelah di sudut ruangan. Elian menggerang pelan. Matanya terbuka perlahan, beradaptasi dengan remang cahaya. Pandangannya sempat kabur, tapi nyeri yang tiba-tiba menghujam perutnya membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Bekas tusukan pedang Azrael masih meninggalkan jejak rasa perih yang dalam. Ia menahan napas, menggertakkan giginya perlahan, membiarkan rasa sakit itu lewat sebelum kembali bernapas lega. Ia menoleh ke kanan. Suara napas pelan menyambutnya. Ethan tertidur di kursi di samping ranjangnya, dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan, tangan tergantung lemas di sisi kursi. Rambutnya berantakan, dan ada bekas kelelahan di wajahnya. Sementara itu, Caine ter

  • Sisa Takdir   BAB 173

    Langit masih menyimpan sisa mendung ketika rombongan pasukan kerajaan kembali pulang. Langkah kaki kuda terdengar teratur di sepanjang jalan berbatu, mengiringi tubuh-tubuh letih yang kembali dari medan pertempuran. Tidak ada sorak kemenangan, tidak pula suara gempita. Hanya senyap yang menyertai kepulangan mereka, diselimuti duka atas nyawa-nyawa yang tertinggal di tanah asing. Di antara barisan panjang itu, kereta khusus berlapis pelindung berjalan dengan pelan di tengah rombongan. Di dalamnya, tubuh Elian terbaring lemah, masih belum sadar. Kulitnya pucat, nafasnya teratur namun lirih, dan dahi dingin karena demam yang belum juga surut. Ethan duduk di dalam, tepat di sampingnya. Tangan Elian tak pernah lepas dari genggamannya, seolah jika ia mengendur sedikit, Elian akan menghilang dari dunia ini. Wajah Ethan tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi matanya merah dan sembab. Ia belum tidur sejak pertempuran itu berakhir. Di depan kereta, Cain

  • Sisa Takdir   BAB 172

    Pagi datang lambat. Langit di luar tenda berubah dari hitam kelam menjadi abu-abu pucat, namun cahaya mentari belum cukup kuat menembus dinding kain. Angin sudah tidak melolong lagi, tapi udara tetap dingin, menusuk seperti belati halus. Embun mengembun di setiap sudut, membasahi tanah di bawah mereka. Ethan masih duduk dalam posisi yang sama. Ia belum tidur sedetik pun. Lengannya tetap memeluk Elian, menjaga suhu tubuh pemuda itu agar tidak terus merosot. Ia tahu tubuhnya sendiri mulai berteriak lelah, tapi dibanding rasa takut kehilangan Elian, nyeri itu tak berarti. Berkali-kali ia bertanya dalam diam, Apakah ia sudah cukup melindungi Elian? Atau hanya menjadi saksi bisu saat Elian kembali menderita? Ia bisa merasakan setiap detak lemah dari dada Elian, setiap hembusan napas yang nyaris menghilang, dan sesekali tubuh Elian menggigil meski sudah lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Tubuh Ethan sendiri terasa kaku, punggungnya nyeri, namun ia tak b

  • Sisa Takdir   BAB 171

    Tenda itu sunyi. Hanya suara napas Elian yang berat dan terputus-putus memenuhi ruang kecil itu. Api lentera berkedip pelan, memantulkan cahaya kuning pucat pada kulitnya yang semakin memutih. Dinding tenda tipis bergetar oleh angin malam yang melolong lirih di luar, menambah dingin menusuk yang meresap dari tanah lembap. Udara di dalam seperti tertahan padat, dingin, dan menggantungkan aroma logam samar dari darah yang mengering. Selimut wol tipis membungkus tubuhnya, namun tetap tak mampu menahan dingin yang menjalari tulangnya. Ujung-ujung jarinya membiru. Setiap detik yang berlalu, menggigilnya makin kuat. Elian membuka mata perlahan mata merahnya tampak kusam, sayu, dan nyaris kehilangan fokus. Ethan duduk di sebelahnya, tubuhnya membungkuk, satu tangan memegang tangan Elian yang dingin bagai es, sementara tangan satunya sibuk menyiapkan ramuan hangat yang diberikan Caine sebelumnya. “Elian… dengar aku.” Suara Ethan lembut namun tertekan. “Kau haru

  • Sisa Takdir   BAB 170

    “...Elian?” Suara Ethan lirih namun penuh tekanan emosi terdengar di antara deras hujan yang perlahan mulai reda. Elian membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya dingin seperti es. “Aku... baik-baik saja,” gumam Elian pelan, meski darah masih merembes dari luka di sisi perutnya. “Tidak, kau tidak baik-baik saja!” seru Caine, nyaris mengguncang tubuh Elian. “Luka tusuk ini dalam... terlalu dalam, dan darahmu tidak berhenti mengalir!” Elian mencoba tersenyum, tapi itu hanya membuatnya meringis. “Kalau aku bisa bicara... artinya aku belum mati, bukan?” “Bodoh...” desis Ethan. Ia merobek bagian bawah jubahnya tanpa ragu, lalu dengan cepat menekannya ke luka Elian yang masih mengucur darah. Ia tidak peduli tangan dan lututnya sudah berlumur merah. “Kau tidak boleh kehilangan lebih banyak darah...” ucapnya, nyaris seperti doa. “Tolong... bertahanlah...” Caine bergerak cepat, mengeluarkan ramuan d

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status