Ruangan itu gelap dan pengap, seperti ruangan yang terkurung dalam waktu, semakin kedalam semakin tak setitik cahayapun. Tubuhnya bergetar berusaha untuk terus masuk kedalam, napas Elian memburu cepat. Dia bersandar pada dinding untuk menjaga keseimbangannya, berusaha keras untuk tetap terjaga melawan matanya yang kabur meminta untuk ditutup.
Setiap langkah Elian menambahkan beban di tubuhnya yang semakin lemah, dan rasa sakit di dadanya yang semakin mengganggu. Langkahnya kecil meninggalkan jejak air yang menetes dari pakaian lusuhnya yang basah. “Elian…” suara berat memanggil dari sudut ruangan. Azrael, paman yang sangat Elian percaya dan yang seharusnya melindunginya, muncul dari sudut kegelapan. Wajahnya tersenyum licik memancarkan kemenangan yang tak terbantahkan. Elian mengangkat kepalanya, meskipun tubuhnya hampir tidak sanggup lagi untuk bertahan. “Elian, kau kembali?” kata Azrael dengan nada yang penuh dengan penghinaan. “Aku heran kau masih bisa berdiri dengan tubuh seperti itu. Aku kira seharusnya kau sudah mati sejak lama.” Senyumnya licik, menahan tawa. Elian menegakkan tubuhnya, meski rasa sakit semakin menusuk dadanya. “Azrael..” Suara Elian serak, hampir tak terdengar. “Apa yang kau inginkan dariku?” Azrael tersenyum, melangkah mendekat perlahan. Senyumannya penuh dengan kebohongan. “Kau tahu apa yang ku inginkan Elian,” katanya dengan suara lembut namun licik. “Aku ingin menjadi pewaris keluarga Silvercrest yang sejati, bukan kau yang lemah itu.” Elian merasa dunia seakan berputar di sekelilingnya. Suaranya tercekat di tenggorokannya, tubuhnya seakan tak mampu lagi untuk berdiri “Apa maksudmu?” tanya Elian dengan suara yang bergetar. Azrael mendekat, matanya menyala penuh kebencian. “Kau sudah melakukannya Elian. Kau sudah membunuh keluargamu sendiri,” katanya berbisik di telinga Elian, seperti menyampaikan sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari, “Ayahmu, Ibumu, Kakak-kakakmu. Bukankah kamu yang membunuhnya?” Elian terdiam, kata-kata Azrael seperti pisau yang menusuk tepat di jantungnya, kenangan yang dia coba lupakan, tiba-tiba muncul kembali. Ayahnya, seorang pria bijaksana yang mengajarkannya tentang kehormatan. Ibunya, seorang wanita yang penuh kasih saying dan kelembutan. Kakak-kakaknya, mereka yang lebih tua dan selalu menjaganya, mereka yang lebih kuat, seharusnya merekalah yang mewarisi tahta keluarga Silvercrest. Semua itu lenyap dalam sekejap mata, terhapus oleh tangan Elian sendiri. “Kau menipuku,” Elian berbisik, matanya memerah menahan genangan air mata yang siap tumpah. “Kau bilang mereka adalah musuh. Kau bilang mereka berkhianat. Kau bilang mereka menginginkan hidupku berakhir. Kau bilang aku harus membunuh mereka untuk bertahan.” Azrael tertawa keras dengan puas, “Kau terlalu lemah Elian. Itu yang membuatmu mudah dipermainkan. Aku hanya menunjukkan jalan yang benar. Mereka yang lemah harus dihancurkan. Kau telah membunuh mereka untuk mewarisi tahta ini. Semua darah itu ada di tanganmu.” Tangan Elian bergetar, dan bayangan masa lalu muncul di benaknya. Azrael, dengan kata-katanya yang meyakinkan, telah berhasil membuatnya percaya bahwa keluarganya adalah ancaman baginya. Ia dipaksa memilih antara keluarga maupun tahta. Dan dalam kebingunga dan kemarahanya yang membara, Elian telah mengambil keputusan itu. Dia membunuh ayahnya, ibunya, kakak pertamanya yang seharusnya menjadi ahli waris, dan bahkan kakak keduanya yang selalu mendukungnya. Semua itu dia lakukan untuk bertahan hidup. Semua itu, hanya karena Azrael memanipulasinya. Namun sekarang, saat ini Elian menyadarinya betapa salahnya dia. Semua yang dia lakukan hanya menguntungkan bagi Azrael, yang sangat berambisi merebut tahta keluarga Silvercrest. Azrael merancang semuanya, menjadikan Elian sebagai alat untuk membunuh keluarganya, untuk mendapatkan tahta yang Azrael sangat idam-idamkan, tahta yang seharunya menjadi hak mereka. “Aku sudah memanipulasimu sejak lama,” Azrael berkata dengan sinis “Kau adalah pion dalam permainanku, Elian. Aku tahu bahwa dengan membunuh mereka, aku bisa mengambil semuanya. Dan sekarang, kau tak lebih dari sekedar kenangan yang terhapus. Tak ada yang tersisa selain dirimu yang lemah.” Air mata mengalir di pipi Elian, meskipun rasa sakit itu semakin dalam. Tubuhnya hampir tak bisa berdiri lagi, tetapi hatinya jauh lebih hancur “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Elian bertanya, suaranya penuh dengan penyesalan. “Mereka sudah mati… aku telah membunuh mereka, tanpa tahu kebenarannya.” Azrael menatapnya dengan penuh kebencian “Tidak ada yang bisa kau lakukan sekarang. Keluargamu sudah mati, dan tahta ini akan menjadi miliku. Kau tak lebih dari pemuda rapuh yang tak bisa menentukan nasibmu sendiri.” Elian tahu, dia tidak bisa melakukan apa-apa dengan tubuh lemahnya, bahkan mengangkat pedang saja dia tidak sanggup. Elian menatap tajam kearah Azrael, mata merahnya menyala. Elian menggigit bibirnya, mengerahkan kekuatan tubuhnya yang tersisa untuk bangkit. “Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan apa yang kau inginkan.” Azrael hanya tertawa keras, “Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Azrael seraya mendekat mengusap rambut hitam Elian yang menutupi wajahnya. “Kau harus mati Elian.” Ucapnya dengan tersenyum licik. Jleb… Belati menancap tepat di jantung Elian, darah segar mengucur tak berhenti. Elian terbatuk memuntahkan darah, pandangannya mulai kabur. “Apakah seperti ini akhirnya?” ucap Elian dalam pikirannya. Akhirnya Elian jatuh ke tanah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Rasa sakit semakin merasukinya, tubuhnya semakin melemah. Azrael berdiri dengan senyum puas diwajahnya. “Jadi, ini akhirnya berakhir” kata Azrael, suaranya penuh dengan kemenangan. Elian masih berusaha untuk menatap Azrael meski matanya kini memaksa untuk menutup, dia mengutuk Azrael dalam pikirannya. Tiba-tiba sebuah suara muncul entah dari mana. “Ini belum selesai Elian. Kau akan kembali” Dengan kata-kata itu, segala rasa sakit dan kelelahan menghilang. Dalam kegelapan yang menyelimuti, Elian merasa tubuhnya seakan hilang. Dia telah mati.Keheningan menyelimuti kegelapan yang tak berujung. Elian merasakah tubuhnya mengambang, sangat ringan. Tidak ada lagi rasa sakit, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kain beludru hitam.“Ini belum selesai…”Suara itu menggema dalam kehampaan. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Elian membuka matanya perlahan, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan. “Ah benar aku sudah mati…” pikir Elian. “Elian…” suara itu mengejutkannya kembali, dia menoleh mencari sumber suara itu namun tak juga menemukannya. “Kau memiliki pilihan”Elian mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Suara itu muncul dalam pikirannya begitu saja “Apa kau ingin kembali?” lanjut suara itu. “Apa kau ingin memperbaiki kesalahanmu?”Kenangan akan keluarganya menghantam Elian seperti badai. Wajah ayahnya yang tegas, senyum lembut ibunya, dan tawa kedua kakaknya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang diciptakan oleh tangannya sendiri.“Siapa kau?” piki
Elian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Baju putih yang ia kenakan kini menyatu dengan tubuhnya yang kurus. Kepalanya sangat berat, mimpi buruk yang baru saja ia alami membuatnya terbangun dengan perasaan mual yang menyelubungi tubuhnya. Ia duduk terdiam beberapa saat untuk menenangkan dirinya, namun bayangan ingatan masa lalu yang seperti mimpi buruk itu terus mengganggunya.Pintu kamarnya terbuka pelahan, Ethan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta secangkir teh herbal di tangannya. Elian menatap sosok yang masuk melewati pintu, ekspresinya terkejut. Ethan menatap Elian, saat ini ia melihat Elian yang tengah gelisah, ekspresinya langsung berubah.“Tuan muda, apa anda baik-baik saja?” Ethan bertanya dengan lembut, mengingatkan Elian pada sosok Ethan dimasa lalu. Dimana ia selalu setia disisi Elian, merawat Elian dengan sabar. Dalam sekejap, bayangan kehidupan lalu muncul kembali.Kilas Balik.
Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun.Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan.Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir.Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangu
Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai. Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adikn
Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam. Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih. Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega. “Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.” Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.” Ethan membantu Elian duduk den
Setelah Ethan meninggalkan ruangan, Elian memejamkan matanya sejenak. Pikirannya mengalir begitu saja, memunculkan banyak alur rencana untuk kedepannya. Kekhawatiran akan masa depan menyeruak masuk kedalam pikirannya. Ia tahu bahwa waktunya untuk berdiam diri tidak akan berlangsung lama. Dalam diam, ia menggenggam erat selimut di pangkuannya, mencoba menenangkan debar jantung yang seakan menuntutnya untuk segera bertindak.Suara langkah kaki Ethan yang lembut membangunkan Elian dari derasnya aliran pikirannya. Pemuda itu telah kembali, membawa setumpuk buku dengan berbagai ukuran serta sebuah gulungan peta besar. Di tangannya yang lain, terdapat beberapa lembar kertas kosong dan juga pena. Dengan hati-hati, Ethan meletakkan semuaya di meja kecil di samping tempat tidur Elian.“Ini permintaan anda, Tuan muda.” Kata Ethan.Elian menatapnya dengan penuh rasa terimakasih, “Kau memang yang terbaik, Ethan. Terimakasih.”Ethan tersenyum kecil, tetapi ada kekh
Elian duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Udara malam terasa sunyi, hanya sesekali suara angin menggoyangkan ranting di luar jendelanya. Tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dalam keheningan, kilasan masa lalu kembali menghampirinya, memunculkan wajah seorang pemuda yang pernah menjadi salah satu orang yang ia hormati.Caine itu namanya, dia adalah seorang pemuda yang sangat luar biasa, umurnya mungkin 1 tahun lebih tua dari Elian. Dia seorang kesatria pedang yang sangat luar biasa. Kemampuannya dalam bertarung tidak tertandingi di usianya yang muda, bahkan disebut-sebut setara dengan prajurit terbaik kerajaan. Namun, kehidupan tidak selalu bersikap adil. Elian ingat bahwa Caine pernah memikul beban berat yang tidak diketahui siapapun, hutang keluarganya kepada seorang bangsawan kecil.Elian banyak berpikir andai dia yang lebih dulu mengetahui kesulitannya ia akan membantunya dengan lebih
Pagi ini udara terasa jauh lebih hangat, langit biru berhias cahaya mentari pagi yang indah berpadu dengan hembusan angin yang menenangkan. Elian duduk di tepi tempat tidurnya, tangan terlipat di atas selimut. Matanya menatap kosong ke depan, meski pikirannya penuh dengan berbagai hal. Tubuhnya masih lemah, dan meski sudah bisa sedikit bergerak, rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya sering kali membuatnya terdiam. Namun, di tengah rasa sakit itu ada dorongan kuat yang membuatnya ingin keluar dari ruangan kamarnya.Ia sudah cukup lama terkurung dalam kamar ini, hanya terbaring dan berpikir tentang masa lalu yang tak kunjung selesai. Semua yang terjadi, semua yang dia rasakan seolah-olah terus menghantuinya. Caine, keluarga Caine, dan peran Azrael yeng terus menerus menguasai hidupnya. Semua terasa begitu mebebaninya.Elian berusaha menggerakkan kakinya dengan hati-hati, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa berat. Elian berjalan pelan kearah pintu kamarnya, mem
Langkah-langkah di luar gua perlahan menjauh, menyisakan suara gemuruh hujan yang kembali mendominasi. Caine mematung dalam diam, jantungnya masih berdetak cepat, menggema di telinga seperti genderang perang. Ia menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik... Namun tak ada suara lagi. Tak ada cahaya lentera. Tak ada teriakan. Hanya suara air yang menetes dari dinding gua, dan desir angin dingin yang membawa aroma basah dan tanah. Beberapa saat kemudian, seekor rusa kecil berlari melintas di depan gua, cipratan air dari tapaknya menyebar liar di tanah berlumpur. Hanya rusa. Hanya hewan kecil yang tersesat. Caine menghela napas panjang, perlahan. Napas yang menahan segalanya: rasa waspada, rasa takut, dan sedikit harapan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit kelabu di mulut gua yang mulai semakin menghitam. Badai itu belum usai. Hujan deras terus mengguyur, menciptakan aliran kecil di lantai gua. Air mulai merembes
Hujan di luar menggila. Gemuruh air memukul tanah dengan keras, dan langit, yang sejak tadi mendung, kini sepenuhnya kelam. Malam datang lebih cepat daripada biasanya, seolah badai membawa kegelapan bersamanya. Di dalam gua kecil itu, Caine dan Elian hanya bisa mengandalkan kehangatan tubuh masing-masing untuk melawan dingin yang menembus sampai ke tulang. Elian sudah mulai tenang. Nafasnya pelan dan teratur, meskipun sesekali terdengar sedikit berat. Ia kembali tertidur, wajahnya lebih damai dibandingkan sebelumnya. Caine perlahan menyentuh dahi tuannya, telapak tangannya berhati-hati menilai suhu tubuh yang lemah itu. Hangat. Tapi tidak panas. Tidak ada demam. Caine menghela napas lega, merasakan beban berat sedikit berkurang dari dadanya. Dalam kondisi seperti ini, satu masalah kecil saja seperti demam bisa berakibat fatal. Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Saat menurunkan tangannya, matanya menangkap warna merah yang samar di celana E
Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah
Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb
Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.
Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng
Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D
Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam
Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan lembap. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyembunyikan jejak mereka. Elian melangkah pelan di belakang Azrael, tubuhnya terbungkus jubah gelap yang terlalu besar. Setiap langkah membuat pahanya berdenyut, dan sesekali ia harus berhenti untuk mengatur napas yang semakin berat. Azrael menoleh sesekali, memastikan Elian masih mengikutinya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Sunyi. Hanya suara dedaunan yang terinjak dan napas tertahan Elian yang menjadi pengisi malam. Langkah Elian terhenti sejenak. Kepalanya sedikit pening, dan rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke tengkuk. Racun itu mulai bergerak lebih cepat. Ia bisa merasakannya. “Kau melambat,” suara Azrael terdengar seperti teguran dingin. Elian mendongak, menatap pria itu dengan mata lelah. “Aku… hanya butuh waktu sedikit.” Azrael menatapnya sejenak. “Kau harus kuat, Elian. Kita masih jauh dari tempat tuj