Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela besar di kamar Elian, memantulkan rona keemasan di lantai marmer yang dingin. Udara terasa segar, namun suasana di dalam kamar terasa sunyi dan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Ethan dengan hati-hati mengganti perban di punggung Elian, tangannya bergerak terampil meski ada semburat kekhawatiran di matanya.
"Apakah masih terasa sakit, Tuan Muda?" tanya Ethan dengan suara lembutnya. Elian, yang duduk membelakangi Ethan, menggeleng pelan. Rambut hitamnya yang jatuh sedikit menutupi wajah pucatnya. "Aku baik-baik saja, Ethan." jawabnya singkat, meskipun ekspresinya jelas mencerminkan rasa sakit. Ethan menyelesaikan tugasnya dengan sigap, merapikan perban dan memastikan semuanya terpasang sempurna. Namun, ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua. Tok... tok... tok... "Masuk," ujar Elian tanpa menoleh. Pintu kamar tPintu kamar Elian tertutup pelan di belakang Azrael dan Caine. Langkah kaki mereka menggema pelan di sepanjang koridor panjang yang dingin. Azrael berjalan santai dengan tangan di belakang punggungnya, sementara Caine mengikuti setengah langkah di belakang, menjaga jarak yang sopan namun tidak terlalu dekat. Suasana di antara mereka terasa sunyi, namun ketegangan samar menggantung di udara. Setelah beberapa saat berjalan tanpa suara, Azrael akhirnya berbicara, memecah keheningan. "Bagaimana menurutmu Elian?" tanyanya tiba-tiba. Suaranya lembut, hampir kasual, tetapi dengan nada yang menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan. Ia tidak menoleh, hanya terus memandang lurus ke depan. Caine melirik sekilas ke arah Azrael sebelum menjawab hati-hati, "Saya belum bisa memberi tanggapan, Tuan." Azrael meliriknya dengan sudut matanya, seulas senyum samar menghiasi wajahnya. "Hmm... Aku rasa dia sedikit berubah. Dia menjadi lebih... sulit dipahami." Cai
Ruangan kerja Lucien memancarkan kehangatan yang kontras dengan langit kelabu di luar jendela besar. Meja kayu besar di depannya dipenuhi dokumen dan beberapa buku yang tertata rapi. Dinding ruangan dihiasi lukisan keluarga Silvercrest, memberikan sentuhan elegan namun penuh kehangatan. Lucien duduk di balik meja kerjanya dengan postur yang santai, tetapi tatapan matanya tetap memancarkan wibawa seorang kepala keluarga. Ia tengah memeriksa dokumen penting ketika suara ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. Tok… Tok… Tok… “Masuk,” ucap Lucien, menutup dokumen di tangannya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Azrael yang melangkah masuk dengan tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menciptakan kesan ramah meski sorot matanya sulit diterjemahkan. Ia membawa aura misterius yang selalu menyertainya, sesuatu yang membuat orang lain merasa ingin tahu namun waspada. Mata Lucien mengamati adiknya sesaat lebih lam, mencari tanda-tanda di bal
Hari itu, awan kelabu menggantung rendah di langit, menyelimuti kediaman Silvercrest dengan bayangan samar. Hembusan angin dingin membawa aroma tanah basah, menambah kesan tenang. Di halaman utama yang luas, sebuah kereta kuda hitam berornamen perak berhenti dengan anggun. Keberadaan kereta itu menandai akhir dari kunjungan seseorang yang telah membawa kehadiran penuh teka-teki ke dalam keluarga Silvercrest. Azrael, dengan jubah gelap khasnya, berdiri di dekat kereta. Tubuhnya tegak, matanya tajam, namun wajahnya menampilkan senyuman yang sulit diartikan. Di sekitarnya, keluarga Silvercrest berkumpul untuk melepasnya dengan kehangatan yang tulus. Suasana ini terasa seperti momen kekeluargaan yang biasa, namun di balik senyuman dan sapaan sopan, tersembunyi lapisan emosi dan motif yang lebih dalam. Lucien maju selangkah, menatap adiknya dengan senyum kecil yang tulus. “Azrael, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk berkunjung kesini. Aku harap kau tidak merasa b
Cahaya keemasan matahari sore menembus jendela besar di perpustakaan keluarga Silvercrest. Debu-debu halus melayang-layang di udara, seperti menari dalam diam. Elian duduk di kursi berlapis kain beludru biru tua di dekat jendela, tangannya memegang sebuah buku tua dengan sampul berwarna cokelat pudar. Angin sore yang lembut menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Langit di luar perlahan berubah warna, dari jingga keungu-unguan, menandakan senja yang hampir berakhir. Caine berdiri tegap di luar pintu perpustakaan, setia menjaga. Ethan, yang biasanya menemani Elian, sedang sibuk dengan urusan lain, meninggalkan suasana hening di ruangan yang penuh rak-rak tinggi berisi buku-buku berharga. Elian menghela napas panjang, matanya melayang ke langit yang mulai menggelap. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesunyian ini, meskipun hatinya terasa berat. Buku yang ada di tangannya tidak lagi menarik perhatiannya. Se
Cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela perpustakaan, memantulkan bayangan samar pada rak-rak buku yang menjulai tinggi. Aroma buku tua bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Elian duduk terbungkus selimut, tubuhnya sedikit gemetar, meski napasnya perlahan mulai teratur. Caine, yang setia di sisinya, memandang tuan mudanya dengan tatapan penuh perhatian. “Tuan Muda, apakah Anda merasa lebih baik?” tanya Caine dengan lembut, suaranya seperti angin yang membawa ketenangan. Elian mengangguk lemah, mencoba menguasai dirinya. “Aku hanya butuh waktu,” jawab Elian pelan, hampir seperti bisikan. Namun, matanya yang biasanya tenang masih menyiratkan bayangan ketakutan. Caine mengangguk memahami. Dengan hati-hati, ia menuntun Elian untuk kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya. “Duduklah di sini, Tuan Muda. Saya akan menyalakan sedikit cahaya agar ruangan ini tidak terlalu gelap.” Elian tidak berkata apa-apa, hanya memperhatikan
Pagi menyapa kediaman keluarga Silvercrest dengan sinar matahari yang hangat dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga dari taman keluarga. Elian membuka matanya perlahan, mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menggantung. Ia menarik napas panjang, merasakan energi pagi yang segar mengalir ke tubuhnya. Hari ini, ia sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Elian turun dari tempat tidur, melangkah ke arah lemari, dan memilih pakaian yang lebih sederhana – sebuah kemeja putih bersih dengan celana panjang cokelat muda yang nyaman. Tidak ada mantel atau ornamen mewah seperti biasanya. Ia menginginkan kebebasan, sesuatu yang jarang ia rasakan sebagai anggota keluarga Silvercrest. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin, ia tersenyum kecil, membayangkan bagaimana hari ini akan berbeda. Saat ia selesai berpakaian, pintu kamarnya diketuk. Ethan masuk dengan senyum khasnya, membawa nampan berisi sarapan ringan. “Tuan Muda, saya membawakan teh
Hari semakin siang, dan sinar matahari yang terik menambah intensitas suasana di arena latihan keluarga Silvercrest. Suara dentingan logam dan langkah kaki prajurit yang sebelumnya berlatih mulai mereda. Semua perhatian kini tertuju pada dua sosok yang berdiri berhadapan di tengah arena: Ronan dan Caine. Ketegangan terasa seperti udara panas yang menguar, membuat suasana semakin mendidih. Ronan, dengan tubuhnya yang kokoh dan mata yang penuh percaya diri, berdiri di tengah arena. Ia memutar pedang kayu di tangannya, memandang Caine dengan senyum menantang. “Caine, kau selalu punya mulut yang tajam. Sekarang buktikan dengan pedangmu,” ujarnya. Caine, yang lebih tenang dan penuh perhitungan, mengangkat pedangnya sambil tersenyum jahil. “Tentu, Tuan Ronan. Saya akan berusaha sebaik mungkin agar tidak membuat Anda kecewa.” “Kita lihat saja siapa yang lebih baik,” balas Ronan sambil mengambil posisi bertarung. Elian mencoba menyela, suaranya terden
Elian merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya, membenamkan wajahnya ke bantal yang empuk. Rasa lelah menguasainya sepenuhnya, seolah seluruh energi telah terkuras dari tubuhnya. Pandangannya kosong, tatapannya kemudian beralih ke jendela besar di sisi kamar. Cahaya matahari yang terik menandakan bahwa waktu sudah beranjak siang. Ia mendesah berat, membiarkan pikirannya berkelana dalam hening. "Bagaimana aku harus membuat Caine melaporkan kegiatanku pada Azrael?" gumamnya lirih ke ruangan kosong di sekitarnya. Nada suaranya terdengar putus asa. "Aku sangat lelah," tambahnya pelan. Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. Ethan, pelayan setianya, masuk dengan langkah tenang sambil membawa baskom berisi air hangat dan kain bersih. Tatapannya penuh perhatian saat ia mendekati Elian. "Tuan Muda, Anda terlihat sangat lelah. Izinkan saya membantu Anda membersihkan diri," ujar Ethan sambil menaruh baskom di meja kecil di samping ranjang. Elian h
Petir menggelegar di kejauhan. Cahaya putih kebiruan itu menerangi gua selama satu detik sebelum semuanya kembali tertelan hitam. Di luar, badai belum juga mereda. Air terus mengalir deras dari tebing, menabrak bebatuan dan menciptakan denting yang keras dan kacau. Namun di dalam gua, keheningan baru mulai terbentuk. Elian terlelap di pelukan Caine, napasnya mulai tenang meski masih sesekali terisak pelan dalam tidur. Tubuhnya tidak lagi gemetar seperti tadi, dan suhu tubuhnya mulai menghangat. Entah karena pelukan Caine atau karena rasa aman yang perlahan menyusup kembali ke dalam hatinya. Caine mengusap rambut Elian dengan lembut. Ia tak bergerak dari posisi itu selama berjam-jam. Bahunya kaku, punggungnya sakit karena duduk bersandar pada batu tanpa alas yang layak, tapi ia tak mengeluh. Rasa lelahnya tak sebanding dengan penderitaan yang baru saja dilalui Elian. Ia hanya bisa menjaga. Menjaga, hingga seseorang datang… atau hingga pagi tiba.
Langkah-langkah di luar gua perlahan menjauh, menyisakan suara gemuruh hujan yang kembali mendominasi. Caine mematung dalam diam, jantungnya masih berdetak cepat, menggema di telinga seperti genderang perang. Ia menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik... Namun tak ada suara lagi. Tak ada cahaya lentera. Tak ada teriakan. Hanya suara air yang menetes dari dinding gua, dan desir angin dingin yang membawa aroma basah dan tanah. Beberapa saat kemudian, seekor rusa kecil berlari melintas di depan gua, cipratan air dari tapaknya menyebar liar di tanah berlumpur. Hanya rusa. Hanya hewan kecil yang tersesat. Caine menghela napas panjang, perlahan. Napas yang menahan segalanya: rasa waspada, rasa takut, dan sedikit harapan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit kelabu di mulut gua yang mulai semakin menghitam. Badai itu belum usai. Hujan deras terus mengguyur, menciptakan aliran kecil di lantai gua. Air mulai merembes
Hujan di luar menggila. Gemuruh air memukul tanah dengan keras, dan langit, yang sejak tadi mendung, kini sepenuhnya kelam. Malam datang lebih cepat daripada biasanya, seolah badai membawa kegelapan bersamanya. Di dalam gua kecil itu, Caine dan Elian hanya bisa mengandalkan kehangatan tubuh masing-masing untuk melawan dingin yang menembus sampai ke tulang. Elian sudah mulai tenang. Nafasnya pelan dan teratur, meskipun sesekali terdengar sedikit berat. Ia kembali tertidur, wajahnya lebih damai dibandingkan sebelumnya. Caine perlahan menyentuh dahi tuannya, telapak tangannya berhati-hati menilai suhu tubuh yang lemah itu. Hangat. Tapi tidak panas. Tidak ada demam. Caine menghela napas lega, merasakan beban berat sedikit berkurang dari dadanya. Dalam kondisi seperti ini, satu masalah kecil saja seperti demam bisa berakibat fatal. Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Saat menurunkan tangannya, matanya menangkap warna merah yang samar di celana E
Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah
Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb
Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.
Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng
Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D
Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam