Beranda / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 47 HAMPARAN BUNGA

Share

BAB 47 HAMPARAN BUNGA

Penulis: Rayna Velyse
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-19 19:42:23

Elian duduk termenung di atas ranjangnya, memandangi langit-langit kamar yang kosong. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Suara Ethan dan Caine yang sedang sibuk membereskan barang bawaan di ruangan sebelah terdengar samar-samar, tapi itu hanya membuatnya semakin bosan. Ia melirik ke arah pintu, pikirannya mulai dipenuhi keinginan untuk keluar dan menjelajahi tempat baru ini.

“Aku tidak bisa hanya duduk diam di sini,” gumam Elian. Dengan langkah mantap, ia mengenakan jubah panjang hitam yang sederhana namun elegan, memastikan bahwa penampilannya tidak akan terlalu menarik perhatian. Tanpa memberi tahu Ethan maupun Caine, ia keluar dari kamar asrama dan mulai menyusuri lorong-lorong akademi.

Akademi tempat ia berada adalah salah satu institusi pendidikan terbesar di wilayah itu. Bangunan-bangunannya megah, dengan aula dan koridor yang dihiasi ukiran indah. Akademi ini dibagi menjadi beberapa bagian, masing-masing dengan fokus yang berbeda. Terdapat Akademi Kedokt
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Sisa Takdir   BAB 48 JEJAK INGATAN

    Elian mengamati wajahnya lebih dekat. Ingatan samar-samar mulai muncul di pikirannya, sebuah bayangan dari masa lalunya yang ia coba lupakan. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Gadis itu tampak bingung, lalu menggeleng perlahan. "Saya tidak yakin, Tuan. Saya baru pertama kali melihat Anda." Elian tidak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat, meskipun hatinya yakin bahwa ia pernah bertemu dengannya di suatu tempat. “Siapa namamu?” Gadis itu menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab, “Nama saya Lyanna… Lyanna Veridienne.” Nama itu menyalakan kilatan ingatan di benak Elian. Kini ia tahu mengapa gadis itu terasa begitu familiar. Lyanna adalah seorang wanita yang, dalam kehidupannya yang lalu, dikenal sebagai dokter luar biasa. Keahliannya dalam pengobatan begitu diakui hingga ia menjadi salah satu orang yang dihormati di akademi. Namun, perjalanan Lyanna penuh tragedi. Ia bergabung dengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Sisa Takdir   BAB 49 MAKAN MALAM

    Elian duduk di kursi kayu berukir dalam kamar asramanya yang redup. Lampu kecil di meja hanya memberi penerangan samar, mempertegas bayangan di wajahnya. Sebuah buku terbuka di atas meja, tetapi pikirannya mengembara. Lyanna Veridienne, nama itu terus terulang di benaknya. Ada sesuatu pada gadis itu. Di seberang ruangan, Caine berdiri tegap, menunggu perintah. Elian akhirnya menghela napas pelan sebelum membuka suara. “Caine, aku ingin kau menyelidiki sesuatu untukku,” ucapnya dengan nada tenang namun penuh kewibawaan. Caine langsung mencondongkan tubuhnya sedikit, menunjukkan kesiapannya. “Tentu, Tuan muda. Apa yang perlu saya lakukan?” “Cari tahu tentang keluarga Lyanna Veridienne,” kata Elian, menatap Caine dengan serius. “Aku ingin tahu siapa mereka, terutama adiknya. Fokuskan perhatianmu pada penyakit yang dideritanya.” Caine sedikit mengernyit, tapi ia tidak bertanya. Ia hanya mengangguk, memastikan perintah itu akan dijalankan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Sisa Takdir   BAB 50 KANTIN AKADEMI

    Suasana di kantin akademi masih ramai dengan gelak tawa dan percakapan para siswa. Namun, di sudut ruangan, suasana antara Elian, Lyanna, Damien, dan Lyra terasa berbeda. Lyra mencoba menyusup ke dalam pembicaraan dengan pertanyaan yang tampaknya acak tetapi diarahkan pada Elian. “Jadi, Elian, berapa usiamu sebenarnya?” Elian memiringkan kepalanya sedikit, menatap Lyra dengan sorot mata datar. Jemarinya mengetuk meja pelan, seperti mencari cara untuk mengakhiri pembicaraan itu. Elian mengangkat alis tanpa banyak reaksi. Tatapannya dingin, seperti tak ingin repot-repot menjawab. Namun, ia akhirnya membuka suara dengan nada datar, “Delapan belas.” Lyra tersenyum kecil, mencoba memancing percakapan lebih jauh. Sebenarnya, Lyra tidak hanya terpesona oleh wajah tampan Elian atau sikap dinginnya. Ada sesuatu dalam aura pemuda itu sesuatu yang membuatnya merasa tertantang dan penasaran. Dia yakin, jika bisa mendekati Elian, ia akan mendapatkan lebih dari sekad

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • Sisa Takdir   BAB 51 BAYANGAN HARAPAN

    Malam di asrama terasa sunyi, hanya sesekali suara angin malam menggoyang daun jendela yang tertutup rapat. Elian berbaring di ranjang sempit yang harus ia bagi dengan Damien. Matanya memandang langit-langit kamar asrama tanpa tujuan, pikirannya terombang-ambing di antara kebingungan dan harapan. Sementara itu, Damien duduk di meja kecil di sudut kamar, membaca tumpukan dokumen yang sepertinya tiada habisnya. “Elian,” Damien memulai tanpa menoleh dari dokumen yang ia baca, “kau tidak bisa tidur lagi, ya?” Elian hanya menghela napas panjang sebagai jawaban. Ia menggeser posisinya sedikit agar lebih nyaman, meskipun ranjang itu terasa terlalu sempit untuk dua orang. Damien berhenti membaca sejenak, menatap Elian dengan ujung matanya. “Kau kelihatan lelah. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Elian terdiam, berpikir apakah ia harus melibatkan Damien dalam kekhawatirannya. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, “Damien, kau tahu tentang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-23
  • Sisa Takdir   BAB 52 CAHAYA RETAKAN

    Langit-langit kamar masih sama seperti tadi malam tenang, tak bergerak, tapi penuh dengan pikiran yang membebani Elian. Ia berbaring telentang, matanya terpaku pada bayangan samar yang terbentuk dari cahaya lilin yang mulai meredup. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Dengan gerakan cepat, ia berbalik tengkurap, membenamkan wajahnya dalam bantal, dan menghela napas panjang yang terdengar seperti keluhan. “Haaaaa...” Suaranya serak, penuh frustasi. Di sudut kamar, Damien sedang duduk di kursi, matanya fokus pada dokumen yang menumpuk di depannya. Ia hanya menoleh sekilas pada Elian, tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepalanya. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa sepatah kata. Elian, yang kini kehilangan tenaga untuk merenung lebih jauh, membiarkan matanya terpejam. Pikiran yang berputar perlahan menghilang, digantikan oleh kegelapan yang menenangkan. Tidur mulai menyapanya, membawa dia menuju mimpi yang aneh namun terasa begitu nyata.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-24
  • Sisa Takdir   BAB 53 TERIAKAN

    Elian duduk di bangku kayu di sudut kedai kecil, memperhatikan Damien yang dengan teliti mengoleskan salep di punggung tangan kirinya. Rasa gatal yang tadi begitu menyiksa perlahan mereda, meski keanehan yang ia rasakan belum sepenuhnya hilang. Damien menyelesaikan pekerjaannya dengan hati-hati, kemudian duduk kembali di kursi di seberang Elian. “Sudah lebih baik?” tanya Damien sambil menutup kembali salep itu. Elian mengangguk, meskipun pikirannya masih penuh pertanyaan tentang kilatan cahaya yang ia lihat di retakan luka tadi. Sebelum ia sempat mengutarakan isi pikirannya, sesuatu di luar menarik perhatiannya. Ia melihat sosok yang dikenalnya berlari dengan tergesa-gesa, melewati kerumunan di jalanan kota. “Bukankah itu Lyanna?” tanya Elian, menunjuk ke arah sosok gadis yang hampir menghilang di tikungan. Damien menoleh, pandangannya mengikuti arah yang ditunjukkan Elian. Ia mengangguk. “Ya, itu dia. Apa yang membuatnya terburu-buru seperti

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Sisa Takdir   BAB 54 RAHASIA

    Adrian menatap Damien dengan alis terangkat. "Sindrom Artereus? Tidak mungkin. Anak ini sehat-sehat saja. Dia hanya kelelahan dan mengalami sedikit demam." Kata-kata Adrian membuat ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang canggung. Damien menoleh ke arah Elian dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia tampak panik, meskipun berusaha menyembunyikannya. Dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang aneh terjadi, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Kemudian, dia memandang ke arah Elian yang duduk diam di sofa, wajahnya masih pucat. "Sebenarnya, di ruangan ini yang terlihat seperti pasien adalah kau, Elian," katanya dengan nada mencela namun penuh perhatian. Elian tersenyum tipis, tawa pelannya terdengar seperti upaya untuk mengusir kekhawatiran. "Aku baik-baik saja," katanya, meskipun gelombang mual semakin tak tertahankan. Ia berusaha keras menjaga sikapnya tetap tenang, tidak ingin ada yang menyadari kelemahannya. Adrian mengangguk

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Sisa Takdir   BAB 55 PENYIHIR MURNI

    Malam itu terasa panjang dan melelahkan bagi Damien dan Ethan. Keduanya hampir tidak tidur semalaman, sibuk menjaga Elian yang terbaring tak berdaya. Demam Elian naik turun sepanjang malam, membuat mereka bergantian membasahi kain dengan air dingin untuk menurunkan suhunya. Meski tubuh mereka lelah, pikiran mereka tak henti-hentinya dipenuhi kekhawatiran. “Tuan, Anda juga butuh istirahat,” kata Ethan pelan sambil meletakkan kain basah di dahi Elian. “Saya bisa menjaganya.” Damien menggeleng, matanya tetap terpaku pada Elian yang sesekali menggeliat gelisah. “Tidak, Ethan. Aku tidak bisa. Aku tidak akan tenang kalau tidak mengawasinya sendiri.” Ethan menghela napas, tahu bahwa keras kepala Damien takkan mudah diubah. Damien duduk di kursi dekat ranjang Elian, kepalanya tertunduk, dan tangan kirinya mengusap wajahnya yang lelah. Dalam hatinya, ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tak mampu melindungi adiknya lebih baik. Ketika fajar mulai me

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27

Bab terbaru

  • Sisa Takdir   BAB 148

    Petir menggelegar di kejauhan. Cahaya putih kebiruan itu menerangi gua selama satu detik sebelum semuanya kembali tertelan hitam. Di luar, badai belum juga mereda. Air terus mengalir deras dari tebing, menabrak bebatuan dan menciptakan denting yang keras dan kacau. Namun di dalam gua, keheningan baru mulai terbentuk. Elian terlelap di pelukan Caine, napasnya mulai tenang meski masih sesekali terisak pelan dalam tidur. Tubuhnya tidak lagi gemetar seperti tadi, dan suhu tubuhnya mulai menghangat. Entah karena pelukan Caine atau karena rasa aman yang perlahan menyusup kembali ke dalam hatinya. Caine mengusap rambut Elian dengan lembut. Ia tak bergerak dari posisi itu selama berjam-jam. Bahunya kaku, punggungnya sakit karena duduk bersandar pada batu tanpa alas yang layak, tapi ia tak mengeluh. Rasa lelahnya tak sebanding dengan penderitaan yang baru saja dilalui Elian. Ia hanya bisa menjaga. Menjaga, hingga seseorang datang… atau hingga pagi tiba.

  • Sisa Takdir   BAB 147

    Langkah-langkah di luar gua perlahan menjauh, menyisakan suara gemuruh hujan yang kembali mendominasi. Caine mematung dalam diam, jantungnya masih berdetak cepat, menggema di telinga seperti genderang perang. Ia menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik... Namun tak ada suara lagi. Tak ada cahaya lentera. Tak ada teriakan. Hanya suara air yang menetes dari dinding gua, dan desir angin dingin yang membawa aroma basah dan tanah. Beberapa saat kemudian, seekor rusa kecil berlari melintas di depan gua, cipratan air dari tapaknya menyebar liar di tanah berlumpur. Hanya rusa. Hanya hewan kecil yang tersesat. Caine menghela napas panjang, perlahan. Napas yang menahan segalanya: rasa waspada, rasa takut, dan sedikit harapan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit kelabu di mulut gua yang mulai semakin menghitam. Badai itu belum usai. Hujan deras terus mengguyur, menciptakan aliran kecil di lantai gua. Air mulai merembes

  • Sisa Takdir   BAB 146

    Hujan di luar menggila. Gemuruh air memukul tanah dengan keras, dan langit, yang sejak tadi mendung, kini sepenuhnya kelam. Malam datang lebih cepat daripada biasanya, seolah badai membawa kegelapan bersamanya. Di dalam gua kecil itu, Caine dan Elian hanya bisa mengandalkan kehangatan tubuh masing-masing untuk melawan dingin yang menembus sampai ke tulang. Elian sudah mulai tenang. Nafasnya pelan dan teratur, meskipun sesekali terdengar sedikit berat. Ia kembali tertidur, wajahnya lebih damai dibandingkan sebelumnya. Caine perlahan menyentuh dahi tuannya, telapak tangannya berhati-hati menilai suhu tubuh yang lemah itu. Hangat. Tapi tidak panas. Tidak ada demam. Caine menghela napas lega, merasakan beban berat sedikit berkurang dari dadanya. Dalam kondisi seperti ini, satu masalah kecil saja seperti demam bisa berakibat fatal. Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Saat menurunkan tangannya, matanya menangkap warna merah yang samar di celana E

  • Sisa Takdir   BAB 145

    Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah

  • Sisa Takdir   BAB 144

    Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb

  • Sisa Takdir   BAB 143

    Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.

  • Sisa Takdir   BAB 142

    Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng

  • Sisa Takdir   BAB 141

    Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D

  • Sisa Takdir   BAB 140

    Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status