Ethan duduk disisi ranjang Elian, memperhatikan wajah tuannya yang masih pucat. Cahaya lilin redup memantulkan bayangannya di dinding kamar, menciptakan suasana tenang, meski hati Ethan jauh dari kata damai.
Ketika Elian membuka matanya dan memintanya tetap tinggal, Ethan merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri tuannya. Tatapan mukanya tidak lagi seperti anak muda yang hanya mancari perlindungan. Ada kekuatan, dan tekad yang bersatu dalam pandangan itu, sesuatu yang Ethan belum pernah lihat sebelumny. Malam itu begitu sunyi, hanya ditemani suara api lilin yang berderak kecil. Ingatan masa lalunya kembali membayang, perasaan syukur yang mendalam. Dia masih remaja ketika keluarganya diambang kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai petani kecil di desa terpencil, terlilit hutang besar akibat gagal panen bertubi-tubi. Para rentenir datang seperti kawanan serigala yang lapar, menuntut pembayaran yang tak mungkin dipenuhi. Ia melihat ibunya menangis tanpa henti, memeluk adik-adiknya yang kelaparan. Ethan ingat hari itu dengan jelas, ia masih berusia 10 tahun, mengenakan pakaian lusuh, berdiri di luar gerbang besar keluarga Silvercrest dengan ragu. Ia memegang surat kecil yang ditulis oleh ibunya, berisi sebuah permohonan yang ditujukkan kepada siapa saja yang bersedia membantunya. “Kepala keluarga Silvercrest ingin bertemu!” ujar seorang pelayan setelah membaca surat itu. Ethan hampir tidak percaya. Apa mungkin seorang bangsawan ternama mau meluangkan waktu untuk mendengarkan permohonan keluarga kecil seperti mereka? Namun, ia mengikuti pelayan itu dengan penuh harapan. Saat Ethan akhirnya memasuki ruangan besar keluarga Silvercrest, Ethan mendapati seorang pria tinggi dengan aura tegas tengah duduk di kursi besar, didepannya sebuah meja dengan tumpukan kertas dokumen. Dia adalah Lucien Silvercrest, pemimpin keluarga, ia menoleh menatap Ethan lantas kembali menatap dokumen diatas mejanya. Tangannya sibuk membolak-balikkan dokumen itu. Di pangkuannya duduk seorang anak laki-laki berusia sekitar 6 tahun. Tubuhnya kecil dan terlihat rapuh, dengan rambut hitam yang rapi dan mata merah yang memancarkan rasa ingin tahu. “Siapa dia?” tanya Elian sambil menoleh kearah ayahnya. Lucien hanya melirik Elian, lantas mengusap rambut hitamnya. “Apa yang membawamu kesini?” tanya Lucien dengan suara dalam dan berwibawa. Ethan merasa gugup di bawah tatapan pria besar itu, tetapi ia menjelaskan keadaan keluarganya. Ia berbicara dengan jujur, dengan suara yang bergetar menahan rasa takut. Lucien mendengarkan tanpa ekspresi, sementara Elian menatap Ethan dengan penuh perhatian, kedua tangannya memegang erat lengan ayahnya. “Keluarga kita bukan lembaga amal,” kata Lucien setelah Ethan selesai berbicara. “Banyak orang yang mengalami kesulitan serupa. Mengapa kami harus membantu keluargamu?” Tangan Ethan menggenggam kain lusuhnya dengan erat, jantungnya berdebar kencang saat Lucien melontarkan pertanyaan itu. Ethan menunduk tidak mampu menjawab. Namun, sebelum keheningan berlangsung lama, Elian menoleh memiringkan kepalanya, menatap ayahnya. “Ayah…” panggil Elian dengan suara kecilnya, “Kita harus membantunya!” katanya pelan namun pasti, matanya menatap Ayahnya penuh harap. “Elian…” balas Lucien tegas “Ini bukan urusanmu.” Elian mengubah posisi duduknya menghadap ayahnya, “Ayah, dia butuh bantuan. Ibunya menangis, Adik-adiknya kelaparan. Bukankah ayah selalu bilang kita harus selalu berbuat baik?” Lucien mendesah panjang. “Elian, kebaikan juga memerlukan kehati-hatian. Kita tidak bisa menolong semua orang.” “Tapi, dia butuh bantuan!” Elian merengek, sambil menunjuk Ethan yang diam terkejut memperhatikan tingkahnya. “Bukankah kita punya banyak uang?” Lucien memijat dahinya, merasa pusing melihat tingkah anak bungsunya. “Elian sayang, kita tidak bisa selalu membantu orang.” Elian mengerucutkan bibirnya, menatap ayahnya dengan mata besar yang mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam lengan Lucien lebih erat, seperti memohon. Lucien menatapnya, dengan menahan tawa. “Tidak Elian!” jawabnya tegas. Elian menghelan napasnya lantas menoleh menatap Ethan. Tiba-tiba dia tersenyum, “Kalau begitu, aku bisa memberikan uang saku milikku saja.” Lucien terkejut mendengar ucapan itu. “Uang saku?” tanyanya, menatap anak itu dengan alis terangkat. Elian mengangguk dengan penuh semangat. “Aku punya cukup banyak uang, dan aku tidak perlu membeli apa-apa sekarang. Jadi, aku bisa memakainya untuk membantu dia.” Hening memenuhi ruangan, Elian menatap ayahnya dengan penuh semangat, sedangkan Lucien menghelan napasnya. “Baiklah” jawaban itu membuat Ethan mengangkat wajahnya. “Lunasi hutang keluargamu, dan belilah bahan makanan serta benih tanaman. Biaya ini akan diambil dari dana alokasi Cadangan, bukan uang saku Elian. Manfaatkanlah dengan baik.” Ujarnya dengan nada tegas, meski matanya melembut saat menatap putranya. Elian tersenyum lebar, memeluk leher ayahnya. “Terimakasih Ayah.” Lucien hanya menggelengkan kepalanya, bibirnya tersenyum tipis. Elian melompat dari pangkuan ayahnya, mengabil sekantung cemilan miliknya yang berisi roti-rotian. “Ini untukmu, berikan juga untuk adik-adikmu.” Ethan menatap Elian dengan lembut meraih sekantung cemilan itu. Elian berlari kembali ke pangkuan ayahnya. Air mata Ethan mengalir. Ia sangat bersyukur atas bantuan yang diberikan, tanpa sadar hatinya tersentuh oleh ketulusan seorang bocah kecil itu. “Terimakasih.” Ucap Ethan seraya membungkukan badannya, berpamit undur diri. Ethan tersenyum menatap Elian yang akhirnya tertidur. Wajah tuannya terlihat lebih tenang, ia berdiri dari tempat duduknya, merapikan selimut Elian agar menutupi tubuhnya. Ethan menatap lekat wajah Elian, seakan menatap adiknya sendiri, Ethan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. “Tuan muda, apapun yang akan kau hadapi, saya akan selalu berada di sisi anda. Bahkan jika dunia berbalik melawan anda, saya akan menjadi perisai dan tombak untuk anda. Anda menyelamatkan saya sekali, dan sekarang mohon izinkan saya membalasnya.” Ucap Ethan dalam hati. Dibawah bayang-bayang cahaya lilin yang redup, Ethan menatap wajah Elian yang tertidur. Ia tahu apapun yang akan terjadi di masa depan nanti, ia akan melindungi anak ini dengan segenap jiwa dan raganya.“Elian.” Suara itu mengalun lembut, nyaris seperti nyanyian angin malam yang berbisik di antara dedaunan. Langit malam membentang pekat, dihiasi bintang-bintang redup yang bersembunyi di balik kabut tipis, seolah langit sendiri enggan mengganggu keheningan suci malam itu. Udara membawa aroma tanah basah dan bunga liar, seakan bumi pun menahan napas menanti sesuatu yang suci. Elian menoleh perlahan, dan jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya menangkap sosok itu. Itu wajah yang menghantuinya dalam doa dan mimpi. Sosok yang pernah menjulurkan tangan ketika ia terperosok paling dalam. Ia berdiri di bawah cahaya bulan, gaunnya putih berkilau, menyapu tanah seperti embun yang mengalir perlahan di rerumputan dini hari. Kabut tipis mengitari kakinya, membuatnya terlihat seolah tak menyentuh bumi. Cahaya bulan menari di sekitar tubuhnya, membentuk siluet samar seperti bayangan dewi dari legenda yang terlupakan. Setiap langkahnya tidak meninggalkan jeja
Malam telah larut. Jam berdetak pelan di dinding kamar, mengiringi suasana sunyi yang begitu pekat. Api di perapian tinggal bara merah yang sesekali berkeretak pelan. Cahaya remangnya menari lembut di dinding, menyatu dengan bayang-bayang tubuh yang tertidur lelah di sudut ruangan. Elian menggerang pelan. Matanya terbuka perlahan, beradaptasi dengan remang cahaya. Pandangannya sempat kabur, tapi nyeri yang tiba-tiba menghujam perutnya membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Bekas tusukan pedang Azrael masih meninggalkan jejak rasa perih yang dalam. Ia menahan napas, menggertakkan giginya perlahan, membiarkan rasa sakit itu lewat sebelum kembali bernapas lega. Ia menoleh ke kanan. Suara napas pelan menyambutnya. Ethan tertidur di kursi di samping ranjangnya, dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan, tangan tergantung lemas di sisi kursi. Rambutnya berantakan, dan ada bekas kelelahan di wajahnya. Sementara itu, Caine ter
Langit masih menyimpan sisa mendung ketika rombongan pasukan kerajaan kembali pulang. Langkah kaki kuda terdengar teratur di sepanjang jalan berbatu, mengiringi tubuh-tubuh letih yang kembali dari medan pertempuran. Tidak ada sorak kemenangan, tidak pula suara gempita. Hanya senyap yang menyertai kepulangan mereka, diselimuti duka atas nyawa-nyawa yang tertinggal di tanah asing. Di antara barisan panjang itu, kereta khusus berlapis pelindung berjalan dengan pelan di tengah rombongan. Di dalamnya, tubuh Elian terbaring lemah, masih belum sadar. Kulitnya pucat, nafasnya teratur namun lirih, dan dahi dingin karena demam yang belum juga surut. Ethan duduk di dalam, tepat di sampingnya. Tangan Elian tak pernah lepas dari genggamannya, seolah jika ia mengendur sedikit, Elian akan menghilang dari dunia ini. Wajah Ethan tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi matanya merah dan sembab. Ia belum tidur sejak pertempuran itu berakhir. Di depan kereta, Cain
Pagi datang lambat. Langit di luar tenda berubah dari hitam kelam menjadi abu-abu pucat, namun cahaya mentari belum cukup kuat menembus dinding kain. Angin sudah tidak melolong lagi, tapi udara tetap dingin, menusuk seperti belati halus. Embun mengembun di setiap sudut, membasahi tanah di bawah mereka. Ethan masih duduk dalam posisi yang sama. Ia belum tidur sedetik pun. Lengannya tetap memeluk Elian, menjaga suhu tubuh pemuda itu agar tidak terus merosot. Ia tahu tubuhnya sendiri mulai berteriak lelah, tapi dibanding rasa takut kehilangan Elian, nyeri itu tak berarti. Berkali-kali ia bertanya dalam diam, Apakah ia sudah cukup melindungi Elian? Atau hanya menjadi saksi bisu saat Elian kembali menderita? Ia bisa merasakan setiap detak lemah dari dada Elian, setiap hembusan napas yang nyaris menghilang, dan sesekali tubuh Elian menggigil meski sudah lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Tubuh Ethan sendiri terasa kaku, punggungnya nyeri, namun ia tak b
Tenda itu sunyi. Hanya suara napas Elian yang berat dan terputus-putus memenuhi ruang kecil itu. Api lentera berkedip pelan, memantulkan cahaya kuning pucat pada kulitnya yang semakin memutih. Dinding tenda tipis bergetar oleh angin malam yang melolong lirih di luar, menambah dingin menusuk yang meresap dari tanah lembap. Udara di dalam seperti tertahan padat, dingin, dan menggantungkan aroma logam samar dari darah yang mengering. Selimut wol tipis membungkus tubuhnya, namun tetap tak mampu menahan dingin yang menjalari tulangnya. Ujung-ujung jarinya membiru. Setiap detik yang berlalu, menggigilnya makin kuat. Elian membuka mata perlahan mata merahnya tampak kusam, sayu, dan nyaris kehilangan fokus. Ethan duduk di sebelahnya, tubuhnya membungkuk, satu tangan memegang tangan Elian yang dingin bagai es, sementara tangan satunya sibuk menyiapkan ramuan hangat yang diberikan Caine sebelumnya. “Elian… dengar aku.” Suara Ethan lembut namun tertekan. “Kau haru
“...Elian?” Suara Ethan lirih namun penuh tekanan emosi terdengar di antara deras hujan yang perlahan mulai reda. Elian membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya dingin seperti es. “Aku... baik-baik saja,” gumam Elian pelan, meski darah masih merembes dari luka di sisi perutnya. “Tidak, kau tidak baik-baik saja!” seru Caine, nyaris mengguncang tubuh Elian. “Luka tusuk ini dalam... terlalu dalam, dan darahmu tidak berhenti mengalir!” Elian mencoba tersenyum, tapi itu hanya membuatnya meringis. “Kalau aku bisa bicara... artinya aku belum mati, bukan?” “Bodoh...” desis Ethan. Ia merobek bagian bawah jubahnya tanpa ragu, lalu dengan cepat menekannya ke luka Elian yang masih mengucur darah. Ia tidak peduli tangan dan lututnya sudah berlumur merah. “Kau tidak boleh kehilangan lebih banyak darah...” ucapnya, nyaris seperti doa. “Tolong... bertahanlah...” Caine bergerak cepat, mengeluarkan ramuan d