หน้าหลัก / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 7 CAHAYA YANG MEMANDU

แชร์

BAB 7 CAHAYA YANG MEMANDU

ผู้เขียน: Rayna Velyse
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-12-12 20:51:16

Elian membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi kamarnya yang masih sunyi. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada kehangatan yang membalutnya, seolah ada seseorang yang menjaga disisinya sepanjang malam.

Dia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Ethan di tempat biasanya. Hanya ada kursi kosong dan selimut yang terlipat rapi di dekatnya. Elian menghelan napas, mencoba duduk dengan perlahan. Tubunya masih belum sepenuhnya pulih.

Pintu kamar terbuka pelan, Ethan muncul membawa nampan berisi sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Ketika melihat Elian sudah bangun, Ethan tersenyum lega.

“Selamat pagi, Tuan muda. Anda sudah bangun.” Katanya sambil meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur. “Maafkan saya karena meninggalkan Anda. Saya hanya pergi untuk mengambil sarapan.”

Elian mengangguk kecil, matanya melembut. “Aku baik-baik saja, terimakasih, Ethan. Kau tidak perlu khawatir.”

Ethan membantu Elian duduk dengan lebih nyaman, lalu menyajikan makanan untuknya. “Anda harus makan walau hanya sedikit Tuan, agar tenaga anda cepat pulih.” Ujarnya lembut.

Elian menatap makanan di depanya, rasanya masih mual untuknya makan. Ia menoleh menatap Ethan, merasakan ketulusan yang selalu terpancar dari pelayannya itu. “Kau sudah melakukan banyak hal untukku, Ethan. Maaf aku selalu merepotkanmu. Aku sangat menghargainya.”

Ethan tersenyum kecil, “Saya senang dapat membantu anda tuan.” Elian tersenyum, memakan sesuap sup dan roti panggangnya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa melayani Elian bukan hanya tugas, tetapi panggilan yang ia lakukan sepenuh hati.

Ditempat lain jauh dari kehangatan kamar Elian, Azrael duduk di ruang kerjanya yang gelap. Jendela besar dibelakangnya masih tertutup tirai, seakan tidak mengizinkan cahaya untuk menembus ruangannya. Dia memegang sebuah surat di tangannya, senyumnya tipis tetapi matanya penuh dengan kelicikan.

“Elian, bocah itu masih hidup.” Guman Azrael, nadanya dingin tetapi ada keheranan dalam suaranya. “Bagaimana mungkin bocah kurus kering itu bertahan dengan tubuh selemah itu dan kondisi yang semakin memburuk?”

Seorang pria bertopeng berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. “Apa langkah selanjutnya yang akan anda lakukan, Tuan Azrael?” tanyanya dengan penuh nada hormat.

Azrael melipat surat itu lalu membakarnya. “Dia bukan ancaman.” Ujarnya dengan nada meremehkan. “Elian bocah itu adalah orang yang mudah dimanfaatkan. Dia terlalu polos, terlalu lemah. Justru, dia akan menjadi pion yang sangat berguna untuk kita.”

Pria bertopeng itu mengangguk. “Saya akan memastikan semuanya berjalan sesuai dengan rencana.”

Azrael tertawa pelan, suara yang penuh dengan keangkuhan. “Bagus, Pastikan Elian tidak mempercayai keluarganya. Kelemahanya adalah tubuhnya yang lemah. Tapi sebelum itu sepertinya aku harus menjenguk keponakanku yang baru sembuh dari sakitnya.” Ujarnya sambil tertawa pelan.

Wajah Elian masih tampak pucat, tapi ada sedikit warna yang mulai kembali di pipinya. Setelah Elian menghabiskan sarapannya. Dia mengangkat secangkir teh dan menyeruputnya perlahan, menikmati kehangatan yang menjalar di tubuhnya.

Setelah beberapa saat keheningan, Elian menatap Ethan dengan ragu. “Ethan, bisakah kau bawakan beberapa buku yang menarik dari perpustakan untukku? Aku bosan hanya berbaring saja di sini.”

Ethan mengernyitkan alisnya sedikit, lalu menggeleng perlahan. “Tuan muda, anda masih harus banyak beristirahat, anda baru saja sembuh. Tubuh anda belum sepenuhnya pulih, membaca buku terlalu lama akan membuat anda semakin lelah.”

“Aku merasa lebih baik sekarang.” Elian mencoba meyakinkan Ethan, meskipun tubuhnya terlihat lemah tidak mendukung pernyataanya. “Setidaknya, bawakan aku kertas kosong dan pena. Aku ingin menulis sesuatu.”

Ethan menatap tuannya dengan ragu, tetapi akhirnya mengalah. “Baiklah, Tuan muda. Tapi anda harus berjanji untuk tidak memaksakan diri.”

Elian tersenyum tipis, sedikit lega permintaannya tidak sepenuhnya ditolak. “Aku mengerti.”

“Ah… Buku apa yang anda inginkan, Tuan muda?” Tanyanya sebelum meninggalkan ruangan.

Elian berpikir sejenak, “Apa saja yang menarik. Selain itu… aku juga ingin kau membawakan peta wilayah.” Ujarnya sambil menyengir. Elian menatap Ethan dengan mata yang sedikit berbinar, meski tubuhnya lemah. “Aku ingin mempelajarinya.” Ucapnya, dengan nada yang mengisyaratkan keteguhan yang jarang terlihat.

Ethan hanya menggeleng kecil, “Baik, Tuan muda. Saya akan segera kembali dengan permintaan Anda.”

Elian mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya ke banta. Saat Ethan pergi untuk mengambilkan permintaannya, pemuda itu memejamkan matanya sejenak. Ada sesuatu yang berputar di dalam pikirannya, sebuah rencana kecil yang mulai terbentuk. Ia tahu bahwa ia tidak mungkin bergantung dengan orang lain terus menerus.

“Jika aku ingin mengambil kendali atas hidupku,” Guman Elian pada dirinya sendiri, “Aku tidak bisa terus-terusan bersantai, aku harus memulainya.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sisa Takdir   BAB 175

    “Elian.” Suara itu mengalun lembut, nyaris seperti nyanyian angin malam yang berbisik di antara dedaunan. Langit malam membentang pekat, dihiasi bintang-bintang redup yang bersembunyi di balik kabut tipis, seolah langit sendiri enggan mengganggu keheningan suci malam itu. Udara membawa aroma tanah basah dan bunga liar, seakan bumi pun menahan napas menanti sesuatu yang suci. Elian menoleh perlahan, dan jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya menangkap sosok itu. Itu wajah yang menghantuinya dalam doa dan mimpi. Sosok yang pernah menjulurkan tangan ketika ia terperosok paling dalam. Ia berdiri di bawah cahaya bulan, gaunnya putih berkilau, menyapu tanah seperti embun yang mengalir perlahan di rerumputan dini hari. Kabut tipis mengitari kakinya, membuatnya terlihat seolah tak menyentuh bumi. Cahaya bulan menari di sekitar tubuhnya, membentuk siluet samar seperti bayangan dewi dari legenda yang terlupakan. Setiap langkahnya tidak meninggalkan jeja

  • Sisa Takdir   BAB 174

    Malam telah larut. Jam berdetak pelan di dinding kamar, mengiringi suasana sunyi yang begitu pekat. Api di perapian tinggal bara merah yang sesekali berkeretak pelan. Cahaya remangnya menari lembut di dinding, menyatu dengan bayang-bayang tubuh yang tertidur lelah di sudut ruangan. Elian menggerang pelan. Matanya terbuka perlahan, beradaptasi dengan remang cahaya. Pandangannya sempat kabur, tapi nyeri yang tiba-tiba menghujam perutnya membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Bekas tusukan pedang Azrael masih meninggalkan jejak rasa perih yang dalam. Ia menahan napas, menggertakkan giginya perlahan, membiarkan rasa sakit itu lewat sebelum kembali bernapas lega. Ia menoleh ke kanan. Suara napas pelan menyambutnya. Ethan tertidur di kursi di samping ranjangnya, dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan, tangan tergantung lemas di sisi kursi. Rambutnya berantakan, dan ada bekas kelelahan di wajahnya. Sementara itu, Caine ter

  • Sisa Takdir   BAB 173

    Langit masih menyimpan sisa mendung ketika rombongan pasukan kerajaan kembali pulang. Langkah kaki kuda terdengar teratur di sepanjang jalan berbatu, mengiringi tubuh-tubuh letih yang kembali dari medan pertempuran. Tidak ada sorak kemenangan, tidak pula suara gempita. Hanya senyap yang menyertai kepulangan mereka, diselimuti duka atas nyawa-nyawa yang tertinggal di tanah asing. Di antara barisan panjang itu, kereta khusus berlapis pelindung berjalan dengan pelan di tengah rombongan. Di dalamnya, tubuh Elian terbaring lemah, masih belum sadar. Kulitnya pucat, nafasnya teratur namun lirih, dan dahi dingin karena demam yang belum juga surut. Ethan duduk di dalam, tepat di sampingnya. Tangan Elian tak pernah lepas dari genggamannya, seolah jika ia mengendur sedikit, Elian akan menghilang dari dunia ini. Wajah Ethan tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi matanya merah dan sembab. Ia belum tidur sejak pertempuran itu berakhir. Di depan kereta, Cain

  • Sisa Takdir   BAB 172

    Pagi datang lambat. Langit di luar tenda berubah dari hitam kelam menjadi abu-abu pucat, namun cahaya mentari belum cukup kuat menembus dinding kain. Angin sudah tidak melolong lagi, tapi udara tetap dingin, menusuk seperti belati halus. Embun mengembun di setiap sudut, membasahi tanah di bawah mereka. Ethan masih duduk dalam posisi yang sama. Ia belum tidur sedetik pun. Lengannya tetap memeluk Elian, menjaga suhu tubuh pemuda itu agar tidak terus merosot. Ia tahu tubuhnya sendiri mulai berteriak lelah, tapi dibanding rasa takut kehilangan Elian, nyeri itu tak berarti. Berkali-kali ia bertanya dalam diam, Apakah ia sudah cukup melindungi Elian? Atau hanya menjadi saksi bisu saat Elian kembali menderita? Ia bisa merasakan setiap detak lemah dari dada Elian, setiap hembusan napas yang nyaris menghilang, dan sesekali tubuh Elian menggigil meski sudah lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Tubuh Ethan sendiri terasa kaku, punggungnya nyeri, namun ia tak b

  • Sisa Takdir   BAB 171

    Tenda itu sunyi. Hanya suara napas Elian yang berat dan terputus-putus memenuhi ruang kecil itu. Api lentera berkedip pelan, memantulkan cahaya kuning pucat pada kulitnya yang semakin memutih. Dinding tenda tipis bergetar oleh angin malam yang melolong lirih di luar, menambah dingin menusuk yang meresap dari tanah lembap. Udara di dalam seperti tertahan padat, dingin, dan menggantungkan aroma logam samar dari darah yang mengering. Selimut wol tipis membungkus tubuhnya, namun tetap tak mampu menahan dingin yang menjalari tulangnya. Ujung-ujung jarinya membiru. Setiap detik yang berlalu, menggigilnya makin kuat. Elian membuka mata perlahan mata merahnya tampak kusam, sayu, dan nyaris kehilangan fokus. Ethan duduk di sebelahnya, tubuhnya membungkuk, satu tangan memegang tangan Elian yang dingin bagai es, sementara tangan satunya sibuk menyiapkan ramuan hangat yang diberikan Caine sebelumnya. “Elian… dengar aku.” Suara Ethan lembut namun tertekan. “Kau haru

  • Sisa Takdir   BAB 170

    “...Elian?” Suara Ethan lirih namun penuh tekanan emosi terdengar di antara deras hujan yang perlahan mulai reda. Elian membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya dingin seperti es. “Aku... baik-baik saja,” gumam Elian pelan, meski darah masih merembes dari luka di sisi perutnya. “Tidak, kau tidak baik-baik saja!” seru Caine, nyaris mengguncang tubuh Elian. “Luka tusuk ini dalam... terlalu dalam, dan darahmu tidak berhenti mengalir!” Elian mencoba tersenyum, tapi itu hanya membuatnya meringis. “Kalau aku bisa bicara... artinya aku belum mati, bukan?” “Bodoh...” desis Ethan. Ia merobek bagian bawah jubahnya tanpa ragu, lalu dengan cepat menekannya ke luka Elian yang masih mengucur darah. Ia tidak peduli tangan dan lututnya sudah berlumur merah. “Kau tidak boleh kehilangan lebih banyak darah...” ucapnya, nyaris seperti doa. “Tolong... bertahanlah...” Caine bergerak cepat, mengeluarkan ramuan d

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status