Se connecterDania berhasil membeli beberapa makanan—sup hangat, roti lembut, dan sedikit buah. Tangannya penuh dengan kantong belanja. Meski tubuhnya masih lelah, langkahnya dipercepat. Ia khawatir Ryan sudah tiba dan semakin marah jika mendapati ruangan berantakan atau Dania tidak ada di tempat.
Begitu memasuki lorong klinik, suara seseorang memanggilnya.
“Bu Dania…”
Dania berhenti. Menutup mata sepersekian detik sebelum berbalik—memaksa dirinya tersenyum meski hatinya ingin segera pergi. “Ya, Sus?”
Suster itu tampak gugup, kedua tangannya saling meremas. “Maaf saya mengganggu waktu Ibu…” Ia sedikit membungkuk. “Saya ingin bertanya… apakah ada lowongan untuk dokter di klinik ini, Bu?”
Dania terdiam sejenak. Ia sempat mengira itu panggilan penting—sesuatu terkait pasien atau mungkin terkait klinik. Ternyata hanya soal lowongan.
Ia menyembunyikan napas beratny
“Bu Dania…”Dania yang sedang duduk di rerumputan halaman belakang sambil menggelindingkan bola kecil ke arah Issa sontak menoleh. Senyum lembutnya masih tertinggal di wajah ketika ia mengangkat kepala.“Iya, Mbok,” sahutnya.Seorang ART berdiri beberapa langkah dari sana, membawa dua paper bag berwarna hitam dengan logo brand ternama tercetak jelas. Dengan sikap hati-hati, wanita itu menyerahkan kantong tersebut pada Dania.“Ini kiriman dari Bapak, Bu,” ucapnya sopan. “Tadi Pak Yanto yang mengantarkan.”Dania terdiam sejenak. Alisnya mengerut tipis. Apakah hari ini hari ulang tahunnya? Atau ada hal lain yang luput dari ingatannya? Kenapa Ryan begitu royal hari ini—uang, bunga, sekarang hadiah lagi.Ia menerima paper bag itu dan membukanya perlahan. Seketika matanya membulat. Sebuah dress berpotongan elegan terlipat rapi, ditemani sepasang sepatu dengan warna senada.“
Tara kembali memutar video. Kali ini adegan memperlihatkan Dania yang berjalan cepat, hampir setengah berlari, menjauh dari Dandy. Namun fokus Ryan tak lagi tertuju pada istrinya.Matanya mengunci satu titik.Seorang wanita.Posisinya memang cukup jauh dari Dania, berada di lorong berbeda, seolah hanya pelanggan biasa. Namun sudut tubuhnya terlalu mengarah. Ponsel di tangannya tak pernah benar-benar turun. Dan langkahnya—terlalu teratur untuk sekadar kebetulan.“Perbesar bagian ini, Tara!” perintah Ryan tajam sambil menunjuk sisi kanan layar.Tara refleks mengangguk, jarinya bergerak cepat memperbesar rekaman. Gambar sedikit pecah, tapi cukup jelas untuk memperlihatkan siluet wanita itu lebih detail.“Putar mundur,” lanjut Ryan tanpa mengalihkan pandangan. “Fokus ke dia saja. Dari detik berapa dia sudah ada di sana?”Tara menarik napas singkat, lalu memundurkan rekaman perlahan. Detik demi det
Pukul sebelas malam Ryan terbangun. Ruangan masih temaram, hanya lampu tidur yang menyala redup di sisi ranjang. Matanya langsung tertuju pada Dania yang terlelap dalam pelukannya. Napas wanita itu teratur, wajahnya tampak damai—terlalu damai untuk seseorang yang sore tadi ia buat gemetar oleh amarah dan ketakutan.Perlahan, jarinya bergerak menyingkirkan rambut yang jatuh menutupi wajah Dania. Ia menatap lebih lama, seakan ingin menghafal setiap garis yang ada, takut suatu hari nanti semua ini tak lagi berada dalam genggamannya. Dania selalu seperti ini saat tidur: tenang, rapuh, dan membuatnya lupa betapa kerasnya dunia ketika mereka terjaga.“Jangan pernah tinggalkan aku, Dania,” lirihnya, nyaris tak bersuara. Bibirnya mengecup kepala Dania cukup lama—sebuah gestur yang lebih menyerupai permohonan daripada janji.Dengan hati-hati, Ryan melepaskan pelukannya. Ia bangkit perlahan, memastikan Dania tak terjaga. Selimut ia rapikan kembali,
“Bagaimana kalau kita bercerai?” lanjut Dania lirih. Kata itu terasa asing di lidahnya, tapi juga melegakan. “Terlalu berat mempertahankan rumah tangga tanpa kepercayaan.”Air matanya jatuh. Ia menyekanya cepat, meski tahu itu sia-sia.Ryan berbalik. Senyum miring terukir di bibirnya, dingin dan merendahkan. “Bercerai?” Ia terkekeh, lalu melangkah mendekat. “Kau mau balikan sama dia?”Dania menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak ingin dengan siapa pun,” suaranya melemah. “Aku hanya tidak sanggup tinggal di tempat di mana aku diperlakukan seperti orang asing.”“Hentikan kebodohanmu, Dania!” Bentakan itu memotong kalimatnya. Ryan menarik tali pinggangnya dan sekali cambukan menghantam lantai, menimbulkan suara keras yang menggema di kamar.Dania memejamkan mata. Tangannya bergetar hebat. Ingatannya melompat mundur—beberapa bulan lalu, rasa sakit yang sama, suara yang sama, dan ketakutan yang masih menempel di tubuhnya sampai hari ini.“Kau mau ku
Begitu mobil memasuki pekarangan rumah, langkah Ryan terhenti sejenak. Matanya menangkap sosok Dania yang sedang mengantar dua orang tamu hingga ke halaman—Mega dan Siska.Rahang Ryan mengeras. Tangan kanannya mengepal tanpa sadar. “Apa dia sudah sejauh ini?” ucapnya mendidih. “Berani membawa pria ke rumahku?”“Pak…” Tara melongo melihat perubahan ekspresi Ryan. “Itu ada Bu Siska juga. Tidak mungkin—”Belum sempat kalimat itu selesai, pintu mobil sudah terbuka.Ryan turun tanpa menunggu, langkahnya cepat dan berat. Setiap tapakan kakinya memantul seperti amarah yang ditahan terlalu lama.Dania yang baru saja tersenyum sopan pada Mega sontak terkejut ketika merasakan aura dingin menyergap dari samping. Sebelum sempat bereaksi, lengannya diremas kuat.“Ryan—” napas Dania tertahan. Rasa nyeri menjalar.Ryan berdiri di sisinya, bahunya tegang, sorot matan
Kantor WalikotaRyan memijit pelipisnya, merasakan denyut yang tak kunjung reda. Tangannya meraih dasi, mengulurnya dengan gerakan kasar seolah kain itu adalah sumber segala tekanan yang menghimpit dadanya. Napas berat lolos dari bibirnya—panjang, tertahan, lalu terlepas begitu saja.“Pak,” suara Tara memecah keheningan, nadanya penuh kehati-hatian. “Bagaimana kalau kita meminta bantuan Pak Abri?”Ryan mendongak cepat. Tatapannya tajam, menusuk, seakan ingin memastikan kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut asistennya—orang yang sudah bertahun-tahun berdiri di sisinya, mengenal setiap kebiasaan dan amarahnya.“Orang tua itu?” Ryan mendengus sinis. “Bisa apa dia?”Ia beranjak berdiri, membuang muka ke arah jendela besar yang menghadap kota. Lampu-lampu mulai menyala di kejauhan, berkilau seperti janji-janji politik yang terlalu sering dikhianati.“Sejak dia menjadi wakilku







