"Kenapa kamu begitu, Amara?" tanyaku lagi. Amara menelan ludah dengan susah payah lalu mundur hingga menempel di wastafel. Wajahnya tegang, terlihat jelas ia sangat ketakutan. "Akan aku jelaskan, Rel." Amara menghela napas lalu melangkah dan duduk di kursi. Aku tatap wajah wanita yang kini duduk di hadapanku. Bibir tipis, alis tebal, hidung bangir dan rambut panjang, dia masih sama seperti dulu. Dia masih Yasminku. Namun kini namanya bukan Yasmin, melainkan Amara. Entah kenapa dia mengganti nama indah itu, aku sendiri tak tahu. Kini saatnya aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang beberapa hari menyiksa diri ini. "Kenapa?" tanyaku lagi. Yasmin menatap lurus ke depan. Tatapan mata penuh luka tergambar jelas di sana. Dia kembali menghela napas, seakan kata itu sulit untuk diucapkan. "Kamu tahu, Rel. Bayangan luka masa lalu selalu menghantuiku. Rasa bersalah terus berlari mengejarku. Setiap kali nama Yasmin disebut, luka itu selalu terbuka. Bahkan semakin membesar. Aku berlari
Sebelum baca, jangan lupa klik tombol berlangganan agar tahu jika ada bab baru. ***[Di hotel biasa jam delapan. Aku tunggu sayang. Muuuaaccchh]Sebuah pesan masuk dari Om Bagaskara. Senyum mengembang kala mengingat wajah tampan penuh kharisma. Meski usianya menginjak setengah abad. Namun ketampanannya belum juga memudar. Tubuhnya masih terjaga, tanpa perut buncit seperti kebanyakan lelaki seusianya.Bohong jika aku hanya mendambakan uang darinya. Aku bahkan mulai bermain hati dengan pria beranak dua itu. Ya, Om Bagaskara sudah memiliki anak dan istri. Dan akulah orang ketiga dalam hubungan mereka.Lucu bukan?Hidup memang unik, aku dipertemukan dengan lelaki beristri dan aku jatuh hati padanya. Apa aku gila? Ah, ku rasa tidak. Bukankah semua orang pantas bahagia? Termasuk pelakor sekali pun.Namaku Yasmin Nabila Putri. Aku seorang simpanan pengusaha properti terbesar di Nusantara. Sudah lebih dari satu tahun aku menjalin hubungan terlarang dengannya. Lukman Bagaskara, lelaki yang sel
Ceklik....Mataku membulat sempurna saat melihat ke atas ranjang berukuran king itu. Dua orang terlelap di bawah selimut berwarna putih. Aku masih terpaku bersandar di dinding hotel nan mewah. Rasanya tidak percaya dengan apa yang sedang ku lihat saat ini. Sakit,rasanya hatiku seperti diiris-iris sembilu. Oh bukan,lebih terasa dicacah-cacah hingga habis tak tersisa. Menyakitkan. Untuk apa Om Bagas memintaku kemari kalau hanya melihat pemandangan ini? Apa dia mau memamerkan hubungan intim dengan istrinya? Katanya sudah tak cinta tapi nyatanya masih diembat juga.Menyebalkan. Rasanya emosiku mendidih seketika. Ingin ku beri sianida istri sahnya itu. Biar mati seketika. Dan aku bisa hidup bahagia bersama Om Bagas. Bukankah itu ide yang bagus? "Jangan gegabah Yasmin!" Sisi hatiku memberontak, walau dominan ingin membunuhnya sekalian. Namun aku sadar, gegabah akan menghancurkan semua impianku. Aku harus segera pergi dari sini. Panas hati melihat pemandangan itu. Harusnya aku yang di
Aduh! Jangan sampai aku berurusan dengan polisi. Ayo berpikir Yasmin! Tidak mungkin kan mengganti kerugian sebanyak itu. Yang ada aku bisa gulung tikar. "Tolong kasihani saya, jangan bawa urusan ini ke kantor polisi. Saya akan tanggung jawab. Kita selesaikan baik-baik.""Nah gitu dong, Mbak!""Kenapa gak dari tadi sih!""Gitu saja pakai drama."Aku ingin berteriak, memaki orang-orang yang ada di sini. Namun lagi-lagi harus ku tahan. Aku tidak mau berurusan dengan kantor polisi. Tidak lucu jika seorang Yasmin harus berurusan dengan lembaga hukum. Apa kata teman-temanku nanti? "Tunggu sebentar, aku mau ambil dompet," ucapku datar seraya jalan menuju kursi kemudi"Jangan kabur lo!" ucap lelaki berambut panjang itu. "Ya kali gue kabur. Mana bisa lewat!" Segera ku ambil benda persegi panjang berwarna merah.Lagi-lagi warna merah. Kesukaan Om Bagas membuatku selalu membeli barang dengan warna itu. Jika ingat Om Bagas, membuat emosiku naik lagi. Harusnya aku bahagia dengan dia malam ini.
Aku mau Om Bagas menikahiku." Om Bagas mengalihkan pandangan. Tangan yang semula mengelus rambutku kini berpindah. Sudah ku tebak. Ini akan terjadi. Lelaki memang selalu seperti itu. Tidak di dunia nyata tidak pula di cerita novel. Mereka selalu ingin enaknya. Giliran dimintai tanggung jawab akan muncul beribu alasan. "Kenapa diam Om? Katanya mau memenuhi semua permintaanku. Tapi kenapa selalu tak ada jawaban saat aku meminta ini?" Aku duduk, merapikan rambut yang sudah acak-acakan. Wajah ku buat masam. Sudah persis isi dompet saat tanggal tua. "Yasmin sayang. Kamu tahu bukan jika ini tak mungkin. Ayolah, kamu boleh meminta apa pun tapi tidak untuk yang satu ini." Om Bagas menyentuh pundakku. Namun segera ku tepis kasar. Marah, tentu. Apa seperti ini perasaan para pelakor sedunia? Dicampakkan bagai sampah saat tak diinginkan. Aku juga manusia,punya hati dan perasaan. Aku layaknya wanita pada umumnya. Ingin menikah dan memiliki keturunan. Tak selamanya aku jadi simpanan. Aku ingin
Aku berjalan mengendap-endap lalu bersembunyi di deretan baju tidur yang berjajar. Perasaanku semakin tak enak kala mendengar derap langkah kaki mendekat ke arahku."Kenapa sih?" bisik Cindy seraya meyenggol tanganku. Ku tempelkan jari telunjuk di bibir. Ini bukan saat yang tepat untuk berbicara apa lagi cerita. Bisa ketahuan dan semua menjadi runyam. Ku intip wanita yang semalam ku temui. Dia masih berdiri tak jauh dari tempatku bersembunyi. Jangan sampai istri Om Bagas tahu. Bisa gawat! Kalau saja semalam aku tak ke hotel, mungkin semua tak akan seperti ini. Aku bisa berdiri di hadapannya dengan wajah sombong. Tapi sekarang? Aku hanya dapat bersembunyi.Kalau dibilang takut, iya jelas. Beberapa kali membaca berita saat istri pertama menghajar pelakor membuatku bergidik ngeri. Kalau hanya di tampar tak masalah, tapi jika sampai dilumuri sambal di bagian sensitif....Oh, tidak! Itu sangat mengerikan. Tak terbayang bagaimana rasanya. Aku pasti akan pingsan kepanasan. "Kenapa di sana
Suara notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Sebuah pesan dari nomor baru. [Tiga hari lagi. Gilang]Apa maksud pesan ini? Siapa yang pengirimnya? Jangan-jangan dia suruhan Sandra untuk mengusir ku dari sini. Ya, ampun! Jangan sampai itu terjadi. Aku tidak ingin kembali terlunta-lunta di jalan. Angan kembali menerawang masa silam. *flashback on"Keluar kamu dari sini! Rumah ini sudah menjadi milikku!" ucap lelaki dengan perut membuncit itu. "Ini rumahku, bukan rumahmu!" ucapku lantang. Namun seketika menciut saat melihat dua orang bodyguard menatapku nyalang. "Baca!" Lelaki tambun itu melempar secarik kertas tepat mengenai wajahku. Dengan dada bergemuruh ku baca setiap kata yang tertulis di sana. Kakiku terasa lemas hingga menopang tubuhku tidak kuat. "Ini tidak asli kan?" Aku masih mengelak meski sudah ku lihat tanda tangan papa di atas materai. Rasanya tak percaya jika papa dan mama meninggal lalu mewariskan hutang yang begitu besar padaku. Kenapa selama ini aku tak tahu
Aku menjalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata ini melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang. Ku tepis pikiran buruk yang sempat menghantui. Sedikit positif thinking, mungkin hanya sejalan denganku. Boleh jadi tujuan sama. Bukankah mall umum untuk siapa saja? Sandra. Seketika pikiran buruk menyelimuti hatiku. Bisa jadi dia suruhan Sandra untuk menculikku. Atau bahkan membunuhku.Bayangan tubuh dimutilasi lalu dibuang menari-nari di pelupuk mata. Istri yang sakit hati bisa berbuat hal di luar nalar. Tanpa berpikir panjang ku lajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi lalu membelokkan ke mall. Aku bernafas lega ketika mobil berwarna putih tak ada di belakangku. Aku segera melangkah meninggalkan basement mall. Sedikit bernafas lega kala melihat sekeliling yang ramai. Penjahat tidak akan berani di situasi seperti ini. Jika mereka nekat tinggal teriak dan mereka akan terkena a