Se connecterBeberapa saat sebelumnya, bertepatan dengan Elise memasuki kamar 119, di ruang sebelah, Jim membuka pintu kamar 120 dengan sangat bersemangat. Air liurnya mencuat membayangkan anggur kuno premium. Tapi ia segera dikejutkan dengan sapaan dari para wanita.
“Hai, tampan!”
Otak mesum Jim terangsang. Dalam batin ia memuji selera Tuan Smith yang sangat bagus. Terbukti tiga wanita yang dipilih untuk menjamunya sangat sexy dan menggairahkan.
Biarpun sebelumnya Jim sedikit kecewa karena rencana membuat video bercinta dengan Elise harus tertunda, lantaran keponakannya itu disewa secara eksklusif oleh Tuan Smith, ia tidak mengira akan mendapat ganti yang sangat sepadan. Lagipula, video mesum khusus untuk dikirimkan kepada Eric itu bisa dibuat kapan saja.
‘Sungguh, tidak ada ruginya!’ pikir Jim.
“Mari Sayang, kita bersenang-senang.” Salah seorang wanita mendekat dan menarik dasi Jim.
Jim mengangguk. Ia menurut seperti anak ayam yang mengekor pada induknya.
Di hadapannya kini terdapat sebuah meja yang memuat sekeranjang buah-buahan, seekor ayam panggang super berwarna coklat keemasan, dan tiga botol anggur.
“Duduklah, Sayang.”
Dua wanita lainnya menggeliat sambil membelai kursi merah. Mereka mengelus ukiran kayu yang menghiasi bagian atas sandaran kursi.
Jim refleks melonggarkan dasi. Dia menelan ludah, duduk di kursi empuk dengan senyum lebar.
“Kenapa hanya ada satu kursi? Ayo, duduklah di pangkuanku. Aku cukup kuat untuk menopang tiga wanita seksi. Hahaha!”
Para wanita tertawa manja. Satu di antaranya berkata, “Kami tidak perlu duduk agar bisa lebih leluasa memuaskanmu, Tampan!”
“Wow! Kalian membuatku gerah!” Jim melepas jasnya.
Saat Jim hendak mencium wanita bergaun silver, wanita bergaun merah mencegah, “Makanlah dulu, Sayang. Kamu harus bertenaga, bukan?”
Jim terbahak. “Baiklah,” ujarnya mencubit pelan dagu wanita bergaun merah.
Jim memotong paha ayam, menyantapnya dengan lahap. Sesekali ia menerima suapan anggur dari wanita bergaun kuning.
“Anggur, tuangkan anggur untukku.” Jim meminta sambil terus mengunyah.
Wanita bergaun silver mengambil sebotol anggur. Tapi, ia kesulitan membuka tutupnya.
“Berikan padaku.” Jim mengulurkan tangan, bermaksud membantu membukakan tutup botol anggur.
“Tidak perlu, Sayang. Aku tahu cara mudah untuk membukanya.”
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Lakukan sekarang, Cintaku!”
Crash!
“Argh!!” erangan keras Jim terdengar menyusul suara pecahan botol anggur.
Tepat sekali, wanita bergaun silver membuka botol anggur dengan cara ekstrem, yakni dengan menghantamkannya ke kepala Jim.
“Bagaimana Sayang, sekarang anggurnya sudah keluar, apa kamu mau meminumnya? Tapi ini tercampur dengan darahmu.”
Jim yang semula memejamkan mata sambil memegang kepala karena sakit yang luar biasa, kini membuka mata sambil mendesis. Ia segera menepis gelas yang diulurkan wanita bergaun silver, yang sengaja menampung tetes darah dari kepalanya.
“Gila kamu! Wanita sialan! Apa yang kamu lakukan?!” Ia mengumpat dengan sangat keras, tapi setelahnya memercingkan mata karena kesakitan.
“Sayang, kamu membuat kami takut,” rengek wanita lainnya.
Jim berdiri dengan susah payah masih sambil memegang kepalanya yang bocor. Ia berbalik dan mundur beberapa langkah, lalu membentak, “Berengsek! Siapa sebenarnya kalian?! Apa kalian sengaja ingin membunuhku?!” Ia menunjuk para wanita di hadapannya.
Wanita bergaun merah mengeluarkan revolver dari balik gaunnya, mengangkat dan mengarahkan senjata itu ke arah Jim.
Jim tersentak. Sesuatu seperti mengganjal tenggorokan, membuat napasnya sesak. Tak jauh berbeda, jantungnya juga bereaksi atas situasi gawat darurat, berdetak kuat hingga membuat dadanya bergetar.
Ia belum ingin mati!
“Aku akan membunuhmu jika menolak untuk mentransfer semua saldo di rekeningmu.” Wanita bergaun merah memberikan tatapan tajam, tidak ada lagi ekspresi manis dan manja di wajahnya.
“Kamu mau merampokku?! Jangan harap!”
Bang!
Jantung Jim seperti mau copot. Ia memegangi dadanya yang turun naik, lalu menoleh ke arah bekas tembakan di tembok.
Tanpa mengambil jeda, para wanita itu kembali menekan Jim.
“Temanku tidak akan menyia-nyiakan peluru untuk kedua kalinya. Sangat mudah baginya untuk menembak tepat di jantungmu.”
Wanita bergaun kuning mendekat dan berbisik di telinga Jim. “Aku beritahu rahasianya. Dia mantan sniper!”
Jim melotot. Sebenarnya keadaannya saat ini sudah genting. Darah yang keluar dari kepalanya membuatnya pening. Tapi ia masih menerima intimidasi yang lebih gila.
“Oke! Oke! Ambil saja semua uangku, asal kalian melepaskanku.”
Bersedekah kepada pengemis meski hanya satu dolar pun Jim tak pernah rela. Tapi kali ini ia justru dipaksa menyerahkan semua uangnya.
Jim bersumpah akan membalas ini semua. Tapi untuk itu, ia harus tetap hidup! Maka, sekarang ia terpaksa memasukkan pin pada m-banking di ponselnya untuk melakukan transfer saldo.
Para wanita tertawa karena berhasil mengeruk semua uang Jim. Salah seorang dari mereka mendekatkan ponsel Jim ke wajah pria itu untuk menunjukkan saldo nol dolar yang cantik.
Gigi Jim gemeretak, tapi ia tidak berdaya. Semua benar-benar terjadi di luar kendali dan prediksi. Keuntungan yang sejak awal diincar, berubah menjadi bencana besar.
“Sebagai tanda terima kasih, aku akan menjahit dan membalut luka di kepalamu. Aku tidak ingin kamu pingsan, Sayang.” Wanita bergaun silver menunjukkan jarum yang akan digunakan untuk ‘merawat’ luka Jim.
“Apa yang akan kamu lakukan? Aku mohon, berikan aku suntikan bius dulu. Jangan menjahitku langsung. Ow!” Jim meringis kesakitan saat lukanya dibersihkan menggunakan alkohol dengan sangat kasar.
Lalu, kesakitan yang lebih besar menyusul ketika lukanya dijahit dalam keadaan tanpa anestesi.
“Argh! Argh! Aku mohon, hentikan. Argh!”
Dari depan pintu kamar nomor 120, pria penjaga mendesis ngilu mendengar raungan kesakitan dari Jim. Ia tahu pasti seberapa sadis teman-temannya saat menghajar target.
Beberapa saat kemudian, wanita bergaun merah keluar. Dengan santai ia berkata pada pria penjaga, “Ia pingsan. Bereskan semua, dan masukkan ia ke dalam karung. Aku akan menemui bos.”
Pria penjaga mengangguk, masuk ke kamar itu tanpa berkata apa-apa.
Sementara itu, wanita bergaun merah menarik napas panjang di depan pintu kamar 119. Ia mengetuk pintu dengan sedikit gugup. “Tuan, Evelyn ingin melapor.”
Eric membuka pintu, di belakangnya Elise berdiri dengan ekspresi cemas.
“Misi telah selesai, Tuan. Seluruh uangnya sudah kami ambil. Sekarang Kevin dan yang lainnya sedang bersih-bersih.”
“Bagus! Simpan seluruh uangnya untuk kalian, bagi rata.”
Evelyn Miller, yang berusia sembilan tahun lebih tua dari Eric, membungkuk hormat. “Terima kasih banyak, Tuan.”
Elise memegang lengan kakaknya. “Bagaimana jika semua ini diketahui orang lain? Erangan Paman Jim sangat keras, dan lagi ada suara tembakan. Bagaimana kalau tamu di kamar lainnya dengar? Dan, bagaimana jika Bibi Peyton tahu?” Elise memberondong pertanyaan dengan hati tak tenang.
Meskipun tadi Eric sudah menjelaskan banyak hal kepada Elise, termasuk tentang rencananya untuk memberikan pelajaran kepada sang paman, Elise tidak mengira kakaknya akan bertindak seberani ini. Ia tentu tidak ingin Eric terlibat masalah, apalagi sampai dipenjara.
“Jangan khawatir, Nona. Tidak ada tamu lain di lantai ini. Tuan White sudah menyewa semua kamar di lantai tiga.”
Elise terbelalak, menoleh dan memandang Eric dengan tatapan tak percaya.
Kemudian Kevin Anderson, pria penjaga, keluar dari kamar 120. Ia menarik sebuah koper besar berwarna abu-abu.
“Tuan, kita apakan pria ini?”
Mata Elise terbuka lebar. “A-apa ini Paman Jim?”
Eric mengangguk sambil tersenyum, membuat adiknya kembali terbelalak.
“Tuan, apa kami harus menguburnya atau membuangnya ke laut?”
Violet menggigit bibirnya, jelas masih bimbang, apakah mesti menemani Eric atau melanjutkan latihannya. Apa ia perlu menyarankan Eric untuk berhenti dan tidak memaksakan diri, atau malah mendukungnya hingga selesai. Tapi Grace menepuk pundaknya pelan, menyadarkannya kembali. “Jangan khawatir. Tuan Eric terlihat kuat, ia tahu batasnya. Dan lagi, waktu kita juga terbatas, Nona. Jika nanti Tuan Eric selesai, dan tahu bahwa anda sudah bisa bermain golf dengan baik, tentu itu akan menjadi kabar baik untuknya."Violet mengangguk, "Kamu benar. Aku harus lebih fokus juga pada latihan golf ini."Violet melanjutkan latihannya bersama Grace. Ia berusaha lebih sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan Eric yang telah mengusahakan dirinya agar bisa bermain golf.Ketika Violet mengayunkan stik golfnya lagi, kali ini ia hampir membuat bolanya masuk ke lubang tujuan. Dengan gemas ia bergumam, "Ah, sedikit lagi!" "Tidak apa-apa, Nona. Itu sangat bagus. Saya yakin, jika anda terus mencoba dan lebih fok
Eric menunjukkan barisan giginya. Ia juga tertawa kecil untuk menghilangkan kegugupannya sendiri. "Itu benar. Tapi, um, sebenarnya aku terbiasa membuat target pribadi. Ya, supaya aku tetap terpacu untuk melakukan lebih. Begitulah..." Eric kembali menutup jawabannya dengan senyum meringis, berharap Violet cukup puas dan tidak memberikan pertanyaan lainnya.Dan sesuai harapan, Violet menyunggingkan senyum, tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain, tetapi malah memberikan pujian. "Bagus sekali! Aku harus melakukanya juga untuk memacu diri sendiri. Kamu keren, Eric." Eric mengusap lehernya, dengan hati senang ia membalas, "Um, bukan apa-apa." Dan dalam batin ia menambahkan bahwa ia terpaksa 'menyiksa' diri sendiri karena itu adalah misi dengan risiko kegagalan yang super menakutkan.Lantas, agar Violet mendapat kesan baik, dan tidak merasa jenuh dengan kencan pertama mereka, sebuah ide cemerlang muncul di kepala Eric."Violet, apa kamu suka bermain golf?" "Golf?" Violet membuat Eric
Setibanya di kamar Eric, Violet terkesima oleh interiornya yang menawan. Ia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu sangat luas dan nyaman.“Um, Violet, mungkin aku akan menghitung sendiri saja.”Violet yang duduk di sofa segera bertanya, “Kenapa?”“Sebenarnya, aku sudah melakukan latihan fisik ini kemarin. Jadi, tidak masalah jika mesti menghitungnya sendiri.” Ia tidak ingin merepotkan kekasihnya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan saat kamu pull up?”Eric duduk di samping Violet. “Kamu bisa bersantai, membaca novel atau buku lainnya di sudut baca itu, atau mungkin mau menonton film, memutar musik. Atau, kalau kamu lelah, jangan sungkan untuk berbaring di ranjang. Anggap saja itu sebagai ranjangmu sendiri.”Pipi Violet seketika memerah. Pasalnya ucapan Eric itu multitafsir.“Ah, maksudku, ka-kamu tidur saja jika ingin. Jangan sungkan. Mau membaca sambil berbaring di sana juga tidak apa-apa. Sungguh, aku… tidak memiliki maksud lain.” Eric meringis lagi setelah menjelaskan.Er
Eric mengangguk-angguk pelan sambil mengupas sebuah jeruk. “Oh, soal itu,” ucapnya dengan suara pelan, tanpa ada perubahan ekspresi di wajahnya.Violet mengerutkan kening melihat Eric yang tampak santai. Ia lalu bertanya, “Kamu tidak kaget?”Eric mengulurkan jeruk yang telah terpisah dari kulitnya kepada Violet yang segera menerimanya. “Tidak, sejak awal mereka memang pantas dipenjara.”Mata Violet terbuka lebar. Ia menelan ludah saat menyadari sesuatu. “Jangan-jangan, kamu yang membuat mereka dipenjara?”Eric tersenyum, tanpa menjawab atau sekadar mengangguk. Akan tetapi, reaksinya itu justru membuat Violet semakin terbelalak karena mengartikannya sebagai suatu pembenaran. Sungguh, Violet tidak menyangka jika Eric akan bertindak demikian serius.“I-itu jelas bukan hal yang mudah. M-mereka bukan orang sembarangan. Tapi kamu…” Violet menyunggingkan senyum haru. Ia yakin Eric melakukannya demi melindunginya. “Katakan, bagaimana kamu melakukannya?”Eric meneguk air putih yang segar. “Seb
Suasana mendadak hening. Violet menunduk cepat, seakan berusaha menyembunyikan ekspresinya, sementara Eric sibuk mengeringkan tubuhnya dengan wajah canggung.Udara di sekitar terasa kaku. Violet mengangkat wajahnya, menatapnya cepat lalu menoleh lagi ke arah lain. Ada senyum tipis yang berusaha ia sembunyikan. “Maaf sudah membuatmu kaget.""Tidak, tidak. Itu bagus. Maksudku, aku senang kamu sudah di sini. Tapi keadaanku sedikit memalukan.""Sama sekali tidak. Kamu hanya terlihat berbeda. Maksudku, sehat, kuat. Ya, begitu..." Violet tersenyum kikuk.Suasana canggung itu terjeda ketika sebuah panggilan membuat ponsel Eric berdering. Rupanya itu dari Chelsea, salah satu anak buahnya yang bertugas menyiapkan hidangan. Chelsea memberitahu bahwa apa yang diminta oleh sang tuan telah siap. Ia juga mengatakan bahwa untuk makan malam nanti, seorang chef profesional yang berpengalaman bekerja di restoran bintang lima akan menjadi juru masaknya.Tentu saja laporan itu membuat hati Eric bungah.
Jantung Eric berdetak begitu cepat hingga seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Keringat dingin merembes di pelipis, mengalir turun tanpa henti. Begitu mendengar hukuman mematikan yang bisa menimpanya, pikirannya langsung kosong. Eric bahkan tidak bisa benar-benar membayangkan bagaimana rasanya jika otaknya dihancurkan.Bibir Eric gemetar ketika akhirnya ia memastikan, “Maksudmu, jika aku gagal, kamu akan membuatku terlindas truk? Atau kendaraan berat lainnya? Atau mungkin sebongkah batu besar akan menimpaku? Atau batu meteor akan jatuh mengenai kepalaku?” Ia mengatakan dengan detail segala kemungkinan yang muncul di kepalanya, yang bisa menyebabkan isi kepalanya hancur lebur.[Tidak diperlukan cara sesusah itu untuk menghancurkan otak Host.][System hanya perlu mengalirkan data miliaran bit per detik ke otak Tuan, sampai syaraf Anda terbakar.]System mengatakannya dengan begitu mudah, tanpa beban, tapi Eric yang mendengarnya sampai menelan ludah dengan susah payah. Suara “klik







