POV MatildaPedangku menebas udara musim dingin dan mengenai dada targetku."Aduh."Dengan lekukan siku, aku menyeka keringat yang mengumpul di dahiku. "Maaf."Lief memanfaatkan kesempatan itu untuk memukul bahuku dengan tebasannya sendiri. Pedang kayu itu menghantam lusinan manik kristal yang bersilangan di sekitar lengan gaunku."Meleset itu sama saja dengan kematian, Nona.""Menebas dada juga sama saja dengan kematian."Sekilas lesung pipit dan gigi putih muncul. "Tidak, kalau kau memakai zirah, kan tidak.""Kalau begitu, kusarankan kau memakainya lain kali."Kami berdua tahu bahwa memakai zirah berat saat masih berlatih dengan pedang kayu itu konyol. Lagipula, aku hanya bisa memasangkan lapisan logam di atas gaunku. Karena itu, aku sudah cukup kesulitan berlatih dengan rok-rok kusut yang melilit kakiku. Dimitri-lah yang—atas permintaanku—mengambil alih tugas meningkatkan kemampuan bersenjataku yang tak ada. Namun, sebagai pangeran dari kerajaan yang perkasa, waktu luang adalah kem
Senyum getir tersungging di sudut mulut Dimitri. "Dia di bawah sumpah."Mataku menyipit. "Di bawah sumpah?"Dimitri mendesah. Dia menatapku kemudian."Aku berharap bisa mengatakan ini padamu setelah aku mengenalmu lebih baik. Seperti yang kau tahu, ayah kita tidak sependapat selama sepuluh tahun terakhir, dan kita—""Aku tidak tahu," aku mengoreksinya.Dia berkedip, jelas terkejut."Aku tahu aliansi ini sedang berantakan, tapi aku tidak pernah diberi tahu detailnya," aku menjelaskan."Aku mengerti," katanya, seolah menarik kesimpulan sendiri. Leon pernah berkata Kaisar Nikolai berbeda, bahwa dia tidak seperti ayahandaku, dan mungkin itulah sebabnya aku merasakan keterkejutan pada Dimitri. Mungkin di sini aku tidak akan dibiarkan dalam kegelapan."Yah, kau dan aku harus segera bicara, tapi untuk saat ini anggap saja ayah kita punya cita-cita berbeda dalam hal kenegaraan," katanya. Cita-cita ayahku masih jauh dari kata memuaskan,
Mulut raja bergerak saat dia membisikkan sesuatu kepada putranya. Tetapi kata-kata peringatan apa pun yang diucapkannya tidak cukup untuk menghalangi sang pangeran. Tampak bertekad, Dimitri menuruni tangga dan menyeberangi ruangan untuk berhadapan dengan sang kapten."Bukti apa yang kau punya?" tanyanya sambil mengertakkan gigi.Sementara sang kapten terbata-bata mencari jawaban, aku memanfaatkan momen itu dan melangkah maju. Ada banyak hal yang bisa kukatakan. Di mana dia meninggal, atau di tangan siapa. Namun kata-kata mengerikan itu tetap tertahan di dalam diriku. Alih-alih, aku mengeluarkan busur Leon.Aku memberikannya kepada Dimitri dengan telapak tangan terbuka, berdoa agar dia tidak merebutnya. Jika dia merebutnya, aku takut aku akan hancur berkeping-keping.Dia tidak mengambilnya. Dia menelan ludah dan menatapnya dalam diam. Terkejut, aku menyaksikan matanya berkaca-kaca. Rasa sakit yang nyata terukir di garis-garis wajahnya, mulutnya terkatup ra
Kota ini megah. Bangunan-bangunan seragam berdinding putih dan beratap batu tulis biru-abu-abu memenuhi jalanan berbatu. Bersama-sama, mereka membentuk labirin terstruktur sempurna yang bergejolak dengan kehidupan. Mirip dengan Daleko Voda, dan semua kota serta desa lain yang kami lewati dua minggu terakhir ini, para penjaga berpatroli di area tersebut.Sebuah sungai besar yang bermuara ke sebuah danau memisahkan kastil dari bagian kota lainnya, menciptakan parit alami. Sebuah jembatan membentang di atasnya, dengan pintu gerbang di kedua ujungnya. Gerbang pertama membuka jalan setapak melintasi jembatan. Gerbang lainnya menembus dinding luar kastil. Sekali lagi, kami harus meminta izin untuk melanjutkan. Namun para penjaga di gerbang ini lebih berhati-hati."Maju," panggil salah satu dari mereka, memberi isyarat kepadaku setelah berbicara dengan penjaga yang memimpin rombongan kami.Aku menarik tali kekang dengan lembut dan berjalan santai menuju gerbang. Penjag
Aku adalah bayangan yang dingin dan layu. Hatiku, benjolan berat di dadaku, layu dan membusuk. Mati rasa, basah kuyup tenggelam dalam penyangkalan. Aku membangun tembok, barikade yang kokoh.Empat penjaga dari pos terdepan memimpin jalan menuju Kastil Kievan. Setelah berhasil mengorek informasi dariku, mereka segera memutuskan untuk membawaku ke Kaisar Nikolai. Ada perubahan dalam sikap mereka setelah mengetahui identitasku, tampak gugup bertanggung jawab atas keselamatan seorang putri, atau seperti yang kudengar salah satu dari mereka berbisik, calon ratu mereka.Aku menyimpan semua yang tersisa. Aku menunggangi Shab, dengan busur Leon menempel pas di punggungku. Dan Marguerite, salah satu kuda yang kutemukan di hutan, mengikuti langkah tanpa penunggang. Melihatnya di kandang pos terdepan sedikit menghibur dukaku. Berbagi atap dengan sekelompok orang asing, dia menjadi tempat yang nyaman untuk menangis. Aku berpegangan erat pada tali kekangnya, meskipun aku tahu itu t
Kelopak mataku yang sayu berkibar ke langit-langit yang miring. Panel-panel kayu berdebu menyusut ke arahku, disatukan oleh empat batang kayu berukir. Dinding-dinding batu yang menghitam berjajar di ruangan, diterangi cahaya lilin yang menari-nari dan perapian kecil. Di sebelah kananku terdapat bak mandi. Handuk terlipat terkulai lemas di tepinya. Aku menunggu kelebat ingatan muncul, mengingat di mana aku berada, tetapi dalam linglungku yang setengah terpejam, yang kurasakan hanyalah nyeri mendera di sekujur tubuhku.Aku tertidur dan terbangun. Kenangan-kenangan itu menyatu tanpa urutan. Aku samar-samar menyadari bahwa aku sedang tidur, meskipun aku tak pernah sepenuhnya terjaga. Suatu kali, aku melihat seorang wanita menyeka lenganku dengan kain basah. Ada juga seorang pria berpakaian penjaga. Dia mondar-mandir di sekitar tempat tidurku dengan pedang di ikat pinggangnya. Namun, sebagian besar waktu, aku melihat sekilas ruangan kosong yang membuatku tetap hangat dan terisolas