Skandal Babysitter dan Suamiku
(2)
..
"Bu, sebenarnya sudah lama Nadia mendekati Bapak. Bahkan sepertinya saat ini mereka sudah memiliki hubungan spesial," ungkap Mbok Nem membuatku seketika menjatuhkan ponsel yang masih ada digenggaman.
"Saya diancam Nadia supaya tidak mengatakan hal ini pada Anda, Bu. Tapi saya benar-benar tidak tega melihat orang sebaik Anda dibohongi oleh orang seperti Nadia. Dia musuh dalam selimut, Bu," lanjut Mbok Nem membuatku semakin terpaku.
Seperti mimpi, aku benar-benar tidak bisa membayangkan bahwa apa yang baru saja kudengar adalah suatu kebenaran. Aku berharap, apa yang kudengar baru saja ini adalah sebuah lelucon yang hanya dikarang oleh Mbok Nem, orang yang telah menemaniku dari kecil sampai menikah pun aku meminta dia untuk ikut denganku.
"Mbok bohong, kan?"
Masih tak percaya, aku menanyakan sekali lagi perihal apa yang baru saja dia katakan. Jika memang apa yang dikatakannya bohong, maka aku justru akan memberikannya sebuah hadiah karena kabar yang dia bawa ini benar-benar membuat kepalaku pening tiba-tiba.
"Tidak, Bu. Saya serius. Nadia menginginkan posisi Anda, dia sangat tergila-gila pada harta Bapak. Bahkan dia juga tak segan menjerat Bapak dengan sikapnya yang murahan. Ayuk saksinya."
Perempuan muda di sampingnya mengangguk, dia keponakan Mbok Nem yang ikut bekerja di sini. Seluruh sendiku seakan lemas, sedikitpun aku tidak mengira bahwa Nadia berbuat serendah itu.
"Lelaki mana yang tahan godaan, Bu? Jika setiap hari Nadia selalu menyodorkan sikap manja dan rayuan mautnya. Saya dan Ayuk hanya bisa mengelus dada ketika mereka bermesraan di dalam kamar Arkan."
Detak jantungku berpacu sangat cepat. Aku percaya sepenuhnya pada perkataan Mbok Nem karena dia telah melebihi ibuku sendiri.
"Pada akhirnya Bapak luluh, Bu. Setiap jam istirahat beliau selalu menyempatkan pulang ke rumah dan bermesraan dengan Nadia. Tentunya setelah Nadia mengancam kami agar diam, karena jika tidak maka dia tidak segan memecat kami."
Dahiku mengernyit. "Lho ... Emangnya dia siapa? Main pecat aja? Lagian ya ... Semua yang aku miliki itu tidak seluruhnya milik Mas Darma, melainkan aku sendiri juga memiliki pondasi kekayaan sewaktu menikah dengannya," terangku dengan geram.
Kedua asisten rumah tanggaku itu hanya menundukkan kapala. Mereka pasti tahu kalau aku sedang marah besar.
"Apa jangan-jangan kepergian mereka hari ini ada kaitannya? Sial!"
Lagi-lagi mereka hanya bisa menundukkan kepala. Namun, detak jantungku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Bagaimanapun juga aku harus segera mencari tahu sendiri keberadaannya.
Gegas kuhubungi ibu agar segera datang kemari. Aku harus pergi mencari dan memastikan kebenaran yang baru saja diungkap oleh orang-orang terpercayaku ini.
"Baik. Saya titip Arkan, sebentar lagi Ibu sampai. Tolong ... Jika kalian menemukan kejanggalan apapun, segera laporkan kepadaku," tuturku sembari memasukkan baju dengan asal ke dalam koper kecil.
Kedua asisten rumah tanggaku itu mengangguk, lalu aku segera bergegas untuk mencari keberadaan suami dan babysitterku itu. Ini semua benar-benar tidak bisa ditunda lagi. Jika memang mereka ada main di belakang maka bisa kupastikan bahwa setelah ini hidupnya tidak akan tenang.
..
Setelah bersusah payah mencari keberadaan Mas Darma akhirnya aku pun terpaksa terbang untuk memastikan bahwa dia tengah bersama Nadia. Tak masalah dia mengencani babysitter-nya, tapi asalkan masih single, bukan pria beristri seperti sekarang ini.
Untung saja ada penerbangan yang sesuai dengan yang kuinginkan, hingga akhirnya beberapa saat setelah itu aku sampai di Bali dan hanya tinggal menunggu kabar dimana keberadaan mereka.
Tidak percuma aku memiliki banyak uang, karena dengan uang lah aku bisa mendapatkan apa yang aku mau dengan cepat, termasuk informasi mengenai kebusukan suamiku.
Kutekan nomor telepon Mas Darma, lalu mendekatkan benda pipih itu ke telinga.
"Hallo, Sayang ... Ada apa?"
Sayang katanya? Dasar bermuka dua!
Hari sudah semakin gelap, untung saja aku sudah mencari penginapan yang tak jauh dari bandara. Setelah ini aku hanya perlu menyusun rencana untuk mencari bukti-bukti tentang mereka.
"Mas, kamu di mana? Rumah sepi nggak ada kamu," tuturku mengarang, padahal sebenarnya aku sudah sangat malas padanya.
Sejenak dia terdiam, tapi kudengar samar kebisingan di balik telepon sana. Mungkin dia tengah ada di tengah keramaian bersama gund*knya itu.
"Ak-aku ada di Bali, Dek. Ternyata Aris mengajakku ke Bali. Ada proyek di sini," jawabnya setengah gugup.
"Hmm ... Jauh, ya. Aku nggak bisa nyusulin, dong."
"Eh, nggak usah nyusulin. Udah kamu di rumah aja sama Arkan. Paling aku juga cuma beberapa hari kok di sini, nggak sampai seminggu," terangnya lagi menenangkanku.
"Nggak sampai seminggu?" Samar, kudengar suara wanita di seberang sana.
Kedua sudut bibirku terangkat. Nah, kena kamu, Mas ...
"Dek, udah, ya. Rame banget, nih."
Klik!
Kubanting ponselku di atas ranjang penginapan. Baru kali ini Mas Darma bersikap seperti ini padaku.
Biasanya, meski sesibuk apapun dia pasti selalu menyempatkan untuk mengobrol denganku. Dan tentunya sikapnya tidak akan seperti ini, acuh.
Dadaku panas, tapi untuk menangis pun rasanya aku enggan. Untuk apa orang seperti Mas Darma ditangisi? Bukankah lebih baik aku segera mencari bukti-bukti lalu kembali ke rumah?
Hingga pukul sembilan malam, orang yang kuberi perintah untuk mencari keberadaan Mas Darma tak kunjung memberi kabar. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mencari angin segar di luar agar pikiranku lebih tenang.
Namun, pucuk dicinta ulam pun tiba. Ternyata orang yang kucari berada tak jauh dariku.
Kulihat sosok Mas Darma tengah berjalan bergandengan dengan Nadia di halaman penginapan sebelah tempatku berada. Dan tak jauh darinya, ada sosok Satya yang sedang mengintai mereka.
Aku lantas membalikkan badan agar Mas Darma dan perempuan laknat itu tak melihat keberadaanku. Senyum lebar mengembang di bibirku, karena tak perlu bersusah payah mencari ternyata apa yang aku cari telah hadir di hadapanku dengan sendirinya.
Langsung melabrak, atau membuat mereka jera secara perlahan? Keduanya sungguh mengasikkan untukku.
Dua tahun kemudian ...."Selamat Alia atas pernikahanmu," ucap Almira dengan memberiku pelukan hangat.Aku tersenyum, dan membalas pelukannya sedang pengantin lelaki yang ada di sampingku pun ikut tersenyum. Kami sedang menjadi raja dan ratu sehari hari ini, dan harapan kami semoga pernikahan ini akan langgeng hingga tua nanti.Ya, hari ini aku menikah. Menikah untuk kedua kalinya setelah pernikahanku yang pertama gagal karena suamiku lebih memilih babysitter anak kami sendiri. Pernikahan keduaku ini pun tak semudah yang dibayangkan, aku sudah melalui banyak sekali hal yang membuatku jatuh bangun hingga akhirnya aku memantapkan hati untuk menikah dengannya."Satya, selamat ya. Semoga kamu bisa menjadi suami yang baik untuk Alia dan menjadi ayah yang baik untuk Arkan." Lagi, Almira memberi selamat pada kami, terutama pada Satya.Pada akhirnya aku menikah dengan Satya, lelaki yang sudah menemaniku sejak beberapa tahun terakhir ini. Suka duka sudah kami lalui bersama hingga akhirnya kami
"Sudah kubilang, jangan mengumbar cerita masalalu kita kepada oranglain. Aku tidak suka. Lagipula untuk apa kamu menceritakan kisah kita pada Alia? Kita sudah menjadi masalalu, dan aku berhak bahagia juga," tandas Irvan ketus.Aku yang berdiri tak jauh dari mereka bisa mendengar percakapannya dengan sangat jelas. Sengaja, aku ingin mendengar percakapan mereka yang mungkin tak akan diceritakan padaku. Almira adalah sabahat yang baik, Irvan pun demikian. Tak kupungkiri aku pun tidak bisa memihak pada salah satu diantara mereka.Keduanya kuanggap sangat baik meski pada kenyataannya Irvan menyatakan perasaannya padaku. Kupikir ini adalah jalan yang dipilih Tuhan untukku, sebagai pengganti Mas Darma tentunya. Namun jika sekarang kuketahui kenyataan yang seperti ini, apa aku tega untuk bersama Irvan? Sedang tangis Almira saja masih terngiang jelas di kepalaku.Lagipula aku tidak suka dengan sikap Irvan yang seakan menutupi apa yang tengah terjadi di antara kami. Dia sudah membohongi Almira
"Duduklah dulu, mari kita nikmati malam ini dengan sangat santai. Jangan terburu-buru, lagipula kamu juga baru sampai, kan?" tuturku ketika melihatnya sedikit tergesa-gesa dengan perasaannya.Irvan terlihat menggaruk kepalanya, lalu duduk di hadapanku yang terhalang oleh sebuah meja bundar dan penuh dengan lilin serta bunga. Tak kupungkiri, ini terlihat sangat manis dan romantis. Hanya saja lagi-lagi aku seperti tak bisa menikmatinya karena seluruh pikiranku masih tertuju pada Almira. Mungkin aku tak akan tenang sampai aku menanyakan hal itu kepadanya.Semoga saja semua yang kupikirkan mengenai Irvan tak benar, dan semua itu hanya pikiran burukku semata. Bukankah di dunia ini ada banyak orang yang berwajah mirip?"Terimakasih kamu sudah mau datang, Alia," ujar Irvan ketika ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas kursinya.Aku tersenyum tipis dengan menganggukkan kepala. "Iya, sama-sama. Lagipula aku tak mungkin tidak datang, karena memang ada sesuatu hal juga yang ingin kusampaikan pada
Tak terasa aku sudah menghabiskan waktu selama dua jam bersama Almira. Memang, jika sudah bertemu seperti ini membuat lupa waktu. Perbincangan demi perbincangan hangat kami benar-benar membuat lupa waktu.Almira adalah pribadi yang menyenangkan, dia tidak sombong dan sangat asik ketika diajak berbincang seperti ini. Hanya saja kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, terlebih semenjak aku berusaha menyibukkan diri setelah perpisahanku dengan Mas Darma."Alia, makasih ya. Aku seneng banget bisa ngobrol banyak sama kamu," tutur Almira ketika kami hendak berpisah."Nggak usah berterimakasih, aku juga seneng banget bisa ketemu kamu. Setidaknya pertemuan kita kali ini membuatku bisa tertawa lepas," ucapku menimpali.Kami sama-sama tersenyum, lalu bangkit dan hendak meninggalkan meja yang telah kami duduki sejak dua jam yang lalu. Namun perhatianku teralihkan oleh dompet Almira yang terbuka karena jatuh dari tasnya."Al, dompetmu jatuh," ucapku dengan lantas menunduk hendak menga
Sepanjang perjalanan aku sama sekali tidak bisa fokus, karena masih memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Satya. Ya, perbuatan Satya yang mengakuiku sebagai kekasihnya di depan mantan pacarnya membuatku sangat tidak nyaman.Selain aku tidak suka kebohongan, aku juga tidak nyaman dengan sandiwara yang dia mainkan. Bagaimana bisa, dia membawakan sandiwara itu seperti dengan menggunakan hati? Jika tak sengaja aku menggunakan hati juga, apa yang akan dia lakukan?Astaga ... Apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin semua itu terjadi karena persahabatanku dengannya sudah terjalin sangat lama. Mana mungkin Satya memiliki perasaan itu padaku, dan juga denganku, aku juga tidak mungkin memiliki rasa itu.Saat ini saja aku tengah gundah dengan perasaan yang baru saja diutarakan oleh Irvan, bagaimana mungkin aku justru menambah beban di dalam hatiku? Rasanya hidupku baru saja tenang selepas dari Mas Darma, lalu apa sekarang aku akan memperkeruhnya lagi dengan perasaan yang mungkin tak nyata in
"Em ... Tapi tidak ada salahnya kan kamu membuka hati lagi? Mana mungkin kamu akan sendiri terus seperti ini?" tandas Satya dengan menatapku dalam.Aku hanya menghela nafas dalam, lalu mengalihkan pandangan. "Eh, lihat. Besok kalau ada waktu luang lagi ajak aku ke sana, ya," kataku dengan menunjuk sebuah restoran yang baru saja buka dan mengadakan diskon besar-besaran untuk makanan utamanya.Sejujurnya, aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan karena sebenarnya aku sendiri pun bisa pergi ke sana tanpa Satya. Pembicaraan Satya rasanya sangat menusukku, itulah sebabnya aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.Awalnya Satya terdiam, mungkin dia juga merasa jika sebetulnya aku hanya mengalihkan pembicaraan saja. Namun pada akhirnya dia lantas menyahut perkataanku. "Oh, restoran baru itu, ya? Baik lah, besok kita coba. Kebetulan makanan jepang adalah makanan kesukaanku," tuturnya dengan ikut melihat restoran di depan sana.Lewat ekor mataku, kulihat Satya menatap lekat restoran yang baru
Pertemuanku dengan Irvan benar-benar membuat pikiranku tak bisa kukendalikan. Benar, pikiranku jadi kacau. Bagaimana tidak? Secara terang-terangan dia melamarku setelah perpisahanku dengan Mas Darma baru terjadi.Kuhembuskan nafas dalam, lalu menutup kembali kaca mobil yang sempat kubuka sebelumnya. Hari ini aktivitasku tak terlalu padat, sehingga aku lebih bisa menikmati hari dengan santai.Rencananya setelah ini aku ingin menjalani hariku dengan sangat bahagia. Mengenai Mas Darma dan Nadia aku sudah benar-benar melupakannya dan mengikhlaskan semuanya. Aku yakin di balik ini akan ada balasan yang jauh lebih baik dari apapun.Semua kejadian yang baru saja menimpaku ini memang terasa sangat sakit. Dikhianati oleh orang-orang terdekat seakan aku jatuh ke lembah yang sangat dalam. Orang-orang yang seharusnya menjadi penopang di saat hatiku gundah dan sakit nyatanya hanya bisa menjadi boomerang bagiku. Dengan teganya mereka memporak-porandakan hatiku sedalam ini.Ah, betapa adilnya Tuhan
"Kamu sudah benar-benar mengikhlaskan Darma?" tanya Satya ditengah-tengah kesunyian yang terjadi diantara kami ketika tengah menikmati hidangan di restoran ini.Sejenak aku terdiam, memikirkan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya apakah benar bahwa aku telah mengikhlaskan Mas Darma atau belum. Namun, yang kurasakan kini hatiku memang telah benar-benar tak ada Mas Darma lagi."Iya, sudah.""Kamu tidak menyesal memberikan lelakimu kepada seorang BabySitter?"Aku tertawa setelah temanku itu mengatakan demikian. "Kenapa harus menyesal? Biarkan saja, mungkin memang itu yang dia inginkan, Satya."Satya ikut tertawa, lalu kami melanjutkan makan dengan topik pembicaraan yang lain. Bagiku Satya adalah teman yang sangat setia kepadaku karena dia mau tetap berada di sampingku ketika kondisiku benar-benar sedang terpuruk. Hanya Satya yang membantuku kala itu, ketika Mas Darma tengah terpergok bersama Nadia."Besok aku mau ke rumahmu, ada waktu?" tanya Satya ketika kami telah selesai makan."Ada
[Bukan aku yang menginginkanmu miskin, Mas. Tapi kamu sendiri dengan segala kelakuanmu itu.]Rasanya aku sangat puas ketika bisa melihat Mas Darma seperti ini. Setidaknya kini dia bisa menerima pembalasan atas apa yang sudah dilakukannya padaku.Dengan segenap hati aku membantunya dengan ikut bekerja, tapi ternyata apa yang kulakukan hanyalah sebuah kesalahan. Andai saja waktu dapat diputar, aku tidak ingin kejadian ini terjadi padaku.[Persetan dengan semua itu. Bagiku siapa yang bisa membahagiakanku itu lah yang pantas bersanding denganku]Jantungku berdetak sangat cepat ketika kubaca pesan balasan darinya. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu?[Baiklah ... Jalani hidupmu dengan BabySitter itu meski tanpa uang disakumu]Kulempar ponselku asal, lalu kembali merebahkan tubuhku di atas ranjang kamar. Satu-satunya hal yang mampu membuatku bersemangat hanya satu, Arkan.Saat ini aku hanya ingin melihat Mas Darma hancur dan bisa kembali kejalan yang benar. Atau setidaknya aku ingin meliha