Share

Skandal Cinta Hot Duda
Skandal Cinta Hot Duda
Author: Blueberry Marble

Gara-Gara Hujan

Peluh keluar dari pori pori kulit dua orang berlawanan jenis yang sedang sibuk di atas ranjang. Mereka tidak peduli dengan apa pun saat ini. Mereka membiarkan tubuh mereka bergerak mengikuti naluri, mencapai kepuasan yang mungkin saja tidak akan bisa terulang kembali esok hari.

Tricia berusaha mengimbangi permainan Peter. Ia mengatur napas dengan susah payah. Ia sama sekali tidak berniat untuk menyerah, walau untuk sekali saja dalam permainan mereka ini.

Waktu terus merangkak, menuju dini hari dan hujan belum berhenti. Siapa yang tahu jika malam ini, Tricia akan terjebak bersama Peter di dalam kamar? Tricia sama sekali tidak mengerti, apakah tindakannya saat ini akan ia sesali atau malah ia inginkan kembali.

Panas.

Itulah kesan yang Peter hadirkan di mata semua perempuan. Begitu pula di mata Tricia. Itulah yang membuat Tricia tidak mampu melangkah pergi ketika ia mendapati dirinya hanya berdua saja di dalam sebuah kamar, di rumah Peter.

‘Astaga. Bahkan ini di rumahnya. Entah apa yang terjadi dengan otakku ini. Aku menyerahkan diriku begitu saja,’ batin Tricia sambil menikmati wajah tampan yang berada di atasnya.

Semua gara gara hujan. Tidak, tapi gara gara Sean. Kalau saja malam itu, Tricia tidak mendapati Sean sedang asyik bercinta dengan sekretaris binal itu, tentu dia akan menyetir dengan konsentrasi. Tricia tidak akan menabrak pagar alami yang selalu dirawat Peter setiap hari. Pagar yang terbuat dari tanaman tersusun rapi itu hancur seketika saat mobil Tricia meluncur indah ke arahnya.

Tricia keluar dari mobil dan menyadari bahwa dirinya melakukan kesalahan. Tidak ada setetes alkohol pun membasahi bibir Tricia saat itu, tetapi ia tidak mampu membedakan mana garasi rumahnya dan halaman rumah tetangganya.

Peter keluar rumah dan melihat Tricia berdiri di tengah hujan lebat. Tubuh dan pakaian Tricia yang basah tentu saja membuatnya khawatir. Ia pun mengambil payung dan mengajak Tricia ke rumahnya. Namun, rasa khawatir itu berubah ketika suara petir menggelegar dan membuat Tricia memeluknya dengan erat.

Payung yang berada di tangan, terbang karena pemiliknya sibuk memegang pinggang wanita yang berada di dalam pelukannya.

“Injaklah kedua kakiku.”

Bisikkan itu masih terdengar jelas di telinga Tricia, sesaat sebelum laki laki itu menikmati bibirnya.

Peter dengan mudahnya mengangkat tubuh Tricia tanpa melepaskan pagutan mereka. Tricia melayang dalam arti sesungguhnya. Kedua kakinya yang menginjak kaki Peter mengikuti langkah laki laki itu menuju ke dalam rumah.

Peter membawa mereka ke sebuah kamar yang paling dekat dari pintu. Lalu, di sinilah mereka berada sekarang. Sibuk meraih kepuasan untuk diri mereka sendiri. Tanpa peduli alasan satu sama lain, kenapa mau melakukannya.

Tricia harus mengakui, ia tidak pernah bisa mengalihkan tatapan matanya dari penghuni baru yang mengisi rumah kosong di sebelah rumahnya itu. Laki laki itu terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Walau sikapnya tidak bersahabat kepada siapa pun. Peter selalu menjadi buah bibir wanita wanita, tanpa peduli dengan status dimiliki, baik itu janda, bersuami atau pun gadis.

Tubuh atletis dengan garis wajah simetris itu saat ini sedang menyatu dengan tubuhnya. Bergerak seirama detak jantung Tricia. Namun, Tricia tidak pernah bisa menyangka jika ada gerakan tiba tiba yang akan memberikannya kenikmatan yang tak pernah didapatkan sebelumnya. Tricia sama sekali tidak berkutik dibuatnya.

Tricia mencoba fokus pada setiap sentuhan di titik titik berbahaya yang Peter berikan.

Di sela entakan yang Peter lakukan, Tricia kembali berhasil sampai ke awang awang. Untuk ke sekian kalinya, Tricia kembali gemetar. Ini adalah yang terbesar dan berkali kali selama beberapa menit.

“Kau baik baik saja?” bisik Peter, ia berhenti sejenak. Memberikan waktu kepada Tricia untuk menuntaskan reaksi tubuh dari perbuatannya.

Tricia tak sanggup menjawab. Kepalanya masih menengadah. Peter memeluk wanita itu, menahan agar tidak meluncur ke lantai. Memastikan tak ada udara yang terhalang dalam lenguhan kepuasan yang terdengar merdu di telinganya.

“Y—yah. Aku baik baik saja,” jawab Tricia dengan bersusah payah.

Peter masih terdiam, hanya membiarkan tubuh mereka menempel tanpa melakukan gerakan. Ia tidak ingin melanjutkan jika belum yakin Tricia berhasil menguasai diri.

“Apakah aku masih bisa melanjutkannya?” bisik Peter, bibirnya menempel di telinga Tricia.

Tricia mengatur napasnya kembali. Berkali kali, ia berusaha agar tetap sadar.

“Y—ya. Tentu saja.”

Peter mengusap kening Tricia. Menyingkirkan rambut rambut basah karena keringat yang berada di sana.

“Bersiaplah lagi, Red.”

Tricia memejamkan mata. Ia bisa mendengar dengan jelas panggilan apa yang Peter berikan padanya.

Red. Tricia tidak tahu berapa kali Peter menyebut nama itu. Dalam setiap erangan, nama itu selalu keluar dari mulut Peter. Nama yang tidak pernah Tricia kenal. Namun, sialnya Tricia sama sekali tidak bisa mengajukan rasa keberatan. Ia hanya mampu dibuat pasrah ketika digiring oleh Peter dalam menikmati semua aktivitas mereka malam ini.

“Kau nikmat, Red. Teramat nikmat,” bisik Peter lagi.

Tricia hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Tak ada yang bisa ia lakukan menghadapi sentuhan yang Peter berikan kepadanya.

“Jangan pernah ditahan. Keluarkan saja suaramu itu, Red.”

Sial. Tricia kembali merutuk saat Peter berhasil membuatnya kembali mengeluarkan suara yang tidak ia inginkan.

“Ternyata kau pendiam sekali saat di ranjang, Red. Berbeda jauh dengan keseharianmu dan suara yang kau keluarkan itu membuatmu semakin seksi.”

Game over.

Tricia menyerah. Lagi lagi, Peter berhasil membuatnya kalah. Ia tak sanggup lagi mengimbangi gerakan laki laki itu. Tubuhnya sudah tidak memiliki tenaga untuk sekedar bergetar. Ia hanya membiarkan Peter tersenyum ketika melihatnya terkulai.

“Jangan pingsan. Aku akan menyudahinya sekarang,” bisik Peter.

“Di mana pun. Keluarkan saja. Terserah padamu,” ucap Tricia, kembali memberi keyakinan kepada Peter bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan saat Peter mengeluarkan hasrat kepada tubuhnya.

Peter mengakhiri serangannya dengan kepuasan yang teramat sangat di dalam tubuh Tricia. Setelah itu, ia merebahkan diri di samping wanita itu. Napas mereka terdengar satu sama lain.

Peter mengambil selimut yang terjatuh di lantai. Ia menutupi tubuh mereka yang polos saat ini.

“Bolehkah aku memelukmu?” tanya Peter.

Tricia menoleh. Setelah apa yang Peter lakukan pada tubuhnya semalaman, sekarang laki laki itu meminta izin hanya untuk sebuah pelukan? Namun, lagi lagi Tricia tidak dapat menjawab. Ia hanya mengangguk lemah.

“Maaf, jika ada tindakanku yang menyakitimu malam ini.”

Tricia tidak menjawab. Ia memilih menyambut pelukan Peter. Membiarkan tubuh mereka saling menyalurkan kembali rasa hangat.

“Jika boleh, aku akan mengantarmu ke kantor,” bisik Peter. “Aku pikir, kau akan merasakan nyeri sepanjang hari.”

Tricia menghela napas. Ia sangat setuju dengan kata kata Peter yang terakhir itu. Namun, ia tidak mau memikirkannya. Bahkan jika bisa, ia tidak mau waktu kembali berjalan. Biar saja waktu berhenti di sini, saat dirinya berada dalam pelukan seorang laki laki dewasa, tetangga sebelah rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status