Peter, duda beranak satu baru saja pindah ke sebelah rumah Tricia, di sebuah pedesaan yang cukup jauh dari tengah kota. Meninggalkan bisnis keluarganya. Peter harus menjauh untuk menjaga putri kecilnya dari Livy, wanita yang pernah mengkhianatinya. Ia pun berjanji tidak akan jatuh cinta lagi. Namun, semua berubah ketika ia mengenal Tricia. Peter tidak menyangka jika Tricia mampu membangkitkan kembali geloranya sebagai laki laki. Di saat itu, Livy kembali memaksa hadir dalam kehidupan Peter. Dengan latar belakang percintaan yang sama sama pernah merasa dikhianati, Peter memberanikan diri untuk mendekati dan membuka dirinya kembali untuk memberikan ibu kepada putrinya.
View MorePeluh keluar dari pori pori kulit dua orang berlawanan jenis yang sedang sibuk di atas ranjang. Mereka tidak peduli dengan apa pun saat ini. Mereka membiarkan tubuh mereka bergerak mengikuti naluri, mencapai kepuasan yang mungkin saja tidak akan bisa terulang kembali esok hari.
Tricia berusaha mengimbangi permainan Peter. Ia mengatur napas dengan susah payah. Ia sama sekali tidak berniat untuk menyerah, walau untuk sekali saja dalam permainan mereka ini.
Waktu terus merangkak, menuju dini hari dan hujan belum berhenti. Siapa yang tahu jika malam ini, Tricia akan terjebak bersama Peter di dalam kamar? Tricia sama sekali tidak mengerti, apakah tindakannya saat ini akan ia sesali atau malah ia inginkan kembali.
Panas.
Itulah kesan yang Peter hadirkan di mata semua perempuan. Begitu pula di mata Tricia. Itulah yang membuat Tricia tidak mampu melangkah pergi ketika ia mendapati dirinya hanya berdua saja di dalam sebuah kamar, di rumah Peter.
‘Astaga. Bahkan ini di rumahnya. Entah apa yang terjadi dengan otakku ini. Aku menyerahkan diriku begitu saja,’ batin Tricia sambil menikmati wajah tampan yang berada di atasnya.
Semua gara gara hujan. Tidak, tapi gara gara Sean. Kalau saja malam itu, Tricia tidak mendapati Sean sedang asyik bercinta dengan sekretaris binal itu, tentu dia akan menyetir dengan konsentrasi. Tricia tidak akan menabrak pagar alami yang selalu dirawat Peter setiap hari. Pagar yang terbuat dari tanaman tersusun rapi itu hancur seketika saat mobil Tricia meluncur indah ke arahnya.
Tricia keluar dari mobil dan menyadari bahwa dirinya melakukan kesalahan. Tidak ada setetes alkohol pun membasahi bibir Tricia saat itu, tetapi ia tidak mampu membedakan mana garasi rumahnya dan halaman rumah tetangganya.
Peter keluar rumah dan melihat Tricia berdiri di tengah hujan lebat. Tubuh dan pakaian Tricia yang basah tentu saja membuatnya khawatir. Ia pun mengambil payung dan mengajak Tricia ke rumahnya. Namun, rasa khawatir itu berubah ketika suara petir menggelegar dan membuat Tricia memeluknya dengan erat.
Payung yang berada di tangan, terbang karena pemiliknya sibuk memegang pinggang wanita yang berada di dalam pelukannya.
“Injaklah kedua kakiku.”
Bisikkan itu masih terdengar jelas di telinga Tricia, sesaat sebelum laki laki itu menikmati bibirnya.
Peter dengan mudahnya mengangkat tubuh Tricia tanpa melepaskan pagutan mereka. Tricia melayang dalam arti sesungguhnya. Kedua kakinya yang menginjak kaki Peter mengikuti langkah laki laki itu menuju ke dalam rumah.
Peter membawa mereka ke sebuah kamar yang paling dekat dari pintu. Lalu, di sinilah mereka berada sekarang. Sibuk meraih kepuasan untuk diri mereka sendiri. Tanpa peduli alasan satu sama lain, kenapa mau melakukannya.
Tricia harus mengakui, ia tidak pernah bisa mengalihkan tatapan matanya dari penghuni baru yang mengisi rumah kosong di sebelah rumahnya itu. Laki laki itu terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Walau sikapnya tidak bersahabat kepada siapa pun. Peter selalu menjadi buah bibir wanita wanita, tanpa peduli dengan status dimiliki, baik itu janda, bersuami atau pun gadis.
Tubuh atletis dengan garis wajah simetris itu saat ini sedang menyatu dengan tubuhnya. Bergerak seirama detak jantung Tricia. Namun, Tricia tidak pernah bisa menyangka jika ada gerakan tiba tiba yang akan memberikannya kenikmatan yang tak pernah didapatkan sebelumnya. Tricia sama sekali tidak berkutik dibuatnya.
Tricia mencoba fokus pada setiap sentuhan di titik titik berbahaya yang Peter berikan.
Di sela entakan yang Peter lakukan, Tricia kembali berhasil sampai ke awang awang. Untuk ke sekian kalinya, Tricia kembali gemetar. Ini adalah yang terbesar dan berkali kali selama beberapa menit.
“Kau baik baik saja?” bisik Peter, ia berhenti sejenak. Memberikan waktu kepada Tricia untuk menuntaskan reaksi tubuh dari perbuatannya.
Tricia tak sanggup menjawab. Kepalanya masih menengadah. Peter memeluk wanita itu, menahan agar tidak meluncur ke lantai. Memastikan tak ada udara yang terhalang dalam lenguhan kepuasan yang terdengar merdu di telinganya.
“Y—yah. Aku baik baik saja,” jawab Tricia dengan bersusah payah.
Peter masih terdiam, hanya membiarkan tubuh mereka menempel tanpa melakukan gerakan. Ia tidak ingin melanjutkan jika belum yakin Tricia berhasil menguasai diri.
“Apakah aku masih bisa melanjutkannya?” bisik Peter, bibirnya menempel di telinga Tricia.
Tricia mengatur napasnya kembali. Berkali kali, ia berusaha agar tetap sadar.
“Y—ya. Tentu saja.”
Peter mengusap kening Tricia. Menyingkirkan rambut rambut basah karena keringat yang berada di sana.
“Bersiaplah lagi, Red.”
Tricia memejamkan mata. Ia bisa mendengar dengan jelas panggilan apa yang Peter berikan padanya.
Red. Tricia tidak tahu berapa kali Peter menyebut nama itu. Dalam setiap erangan, nama itu selalu keluar dari mulut Peter. Nama yang tidak pernah Tricia kenal. Namun, sialnya Tricia sama sekali tidak bisa mengajukan rasa keberatan. Ia hanya mampu dibuat pasrah ketika digiring oleh Peter dalam menikmati semua aktivitas mereka malam ini.
“Kau nikmat, Red. Teramat nikmat,” bisik Peter lagi.
Tricia hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Tak ada yang bisa ia lakukan menghadapi sentuhan yang Peter berikan kepadanya.
“Jangan pernah ditahan. Keluarkan saja suaramu itu, Red.”
Sial. Tricia kembali merutuk saat Peter berhasil membuatnya kembali mengeluarkan suara yang tidak ia inginkan.
“Ternyata kau pendiam sekali saat di ranjang, Red. Berbeda jauh dengan keseharianmu dan suara yang kau keluarkan itu membuatmu semakin seksi.”
Game over.
Tricia menyerah. Lagi lagi, Peter berhasil membuatnya kalah. Ia tak sanggup lagi mengimbangi gerakan laki laki itu. Tubuhnya sudah tidak memiliki tenaga untuk sekedar bergetar. Ia hanya membiarkan Peter tersenyum ketika melihatnya terkulai.
“Jangan pingsan. Aku akan menyudahinya sekarang,” bisik Peter.
“Di mana pun. Keluarkan saja. Terserah padamu,” ucap Tricia, kembali memberi keyakinan kepada Peter bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan saat Peter mengeluarkan hasrat kepada tubuhnya.
Peter mengakhiri serangannya dengan kepuasan yang teramat sangat di dalam tubuh Tricia. Setelah itu, ia merebahkan diri di samping wanita itu. Napas mereka terdengar satu sama lain.
Peter mengambil selimut yang terjatuh di lantai. Ia menutupi tubuh mereka yang polos saat ini.
“Bolehkah aku memelukmu?” tanya Peter.
Tricia menoleh. Setelah apa yang Peter lakukan pada tubuhnya semalaman, sekarang laki laki itu meminta izin hanya untuk sebuah pelukan? Namun, lagi lagi Tricia tidak dapat menjawab. Ia hanya mengangguk lemah.
“Maaf, jika ada tindakanku yang menyakitimu malam ini.”
Tricia tidak menjawab. Ia memilih menyambut pelukan Peter. Membiarkan tubuh mereka saling menyalurkan kembali rasa hangat.
“Jika boleh, aku akan mengantarmu ke kantor,” bisik Peter. “Aku pikir, kau akan merasakan nyeri sepanjang hari.”
Tricia menghela napas. Ia sangat setuju dengan kata kata Peter yang terakhir itu. Namun, ia tidak mau memikirkannya. Bahkan jika bisa, ia tidak mau waktu kembali berjalan. Biar saja waktu berhenti di sini, saat dirinya berada dalam pelukan seorang laki laki dewasa, tetangga sebelah rumahnya.
Tricia berdiri mematung di depan pintu sebuah rumah toko. Tricia tidak menyangka jika gedung yang baru saja selesai dibangun inilah yang meneleponnya kemarin. Tepat seperti yang Peter katakan padanya, satu hari setelah Tricia mengirimkan surat lamaran ke alamat e-mail yang Peter berikan, ia pun mendapatkan kabar melalui telepon dan memintanya datang ke alamat ini.Tricia mendekap erat tas yang ia bawa. Ada banyak keraguan dalam hatinya. Jika perusahaan yang telah lama berdiri di kota kecil ini saja selalu menolaknya, apa mungkin perusahaan yang baru ini bisa menerimanya?“Apa aku pulang saja, ya?” ujar Tricia pada dirinya sendiri.“Nona Tricia?” tanya seorang laki laki tua sambil membukakan pintu untuk Tricia. Tricia memberikan senyuman kaku sebagai jawaban.“Masuklah. Kami sudah menunggumu sejak tadi.”Pada akhirnya, Tricia melangkah ke dalam kantor itu. Mendengar bahwa ia telah ditunggu sudah cukup membuatnya penasaran.“Duduklah dulu, Nona. Aku akan membuatkan secangkir kopi untu
Peter menahan diri saat sadar bahwa Tricia menghindari dirinya beberapa waktu belakangan. Ia pun tidak dapat menghalangi keputusan yang diambil wanita itu. Walau dalam hati, ia berani bersumpah jika dirinya berhak mendapat pendapat penjelasan.Peter sama sekali tidak menyangka jika siang ini Tricia muncul di hadapannya. Sejak pagi, tidak ada yang ia lakukan setelah mengantar Emily dan Miss Ann ke sekolah. Ia memutuskan membuat sebuah rumah kecil untuk seekor pudel yang diinginkan Emily.“Aku sangat merindukanmu, Tricia,” ujar Peter sambil berbisik dan memberi waktu pada mereka untuk mengendalikan diri.“Maaf. Aku tidak bermaksud menghindarimu,” jawab Tricia.Peter mengecup kening wanita itu. Entah apa yang akan terjadi jika ia menuruti emosinya beberapa hari yang lalu. Ia merasa hampir gila dan berniat menerobos masuk ke rumah Tricia. Namun, ia sadar jika hal itu dilakukan, ia tidak jauh berbeda dengan Sean.“Aku tahu, kau masih membutuhkan waktu. Aku tidak bisa memaksakan kehendak ke
Tricia baru saja keluar dari sebuah kantor yang menangani beberapa toko di daerah tempat tinggalnya. Setelah beberapa hari, ia memutuskan keluar rumah dan mencari pekerjaan baru.Selama berada di rumah, ia tidak berkomunikasi dengan Peter. Tricia merasa memerlukan waktu untuk mengayunkan langkah baru setelah kejadian yang ia lakukan. Ia menahan diri saat melihat sosok Peter dari dalam rumahnya.“Selalu ada sebab dan akibat dari semua keputusan yang dibuat. Aku pasti kuat dan mampu melewati semuanya saat ini,” ujar Tricia sambil menggenggam erat tas bawaannya.Beberapa langkah kemudian, ponsel Tricia berdering. Ia mengambil ponsel itu dari dalam tas kemudian menjawab panggilannya.“Mama,” ujarnya sebelum menekan tombol jawab.[Ya, Mom,] sapa Tricia.[Bagaimana kabarmu, Tricia?][Aku baik-baik saja, Mom.]Di dalam hati Tricia tidak berhenti berdoa berharap agar percakapan dirinya dan ibunya saat ini tidak berubah menjadi sebuah pertengkaran.[Apa kau masih memiliki uang untuk membiayai
“Kau sudah gila, Livy?!” teriak Ron sambil membanting daun pintu ruangan Livy.Wajah laki laki berbadan tinggi kurus dan berkulit pucat itu kini berwarna merah. Ia merasa kepala mau pecah karena baru saja menerima telepon berisi komplain dari berbagai pihak yang menjalin kerja sama dengan Livy.“Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu beberapa hari belakangan ini. Sikapmu aneh. Aku coba memaklumi jika kau merasa lelah karena jadwal yang padat, tetapi kau tidak bisa melakukan hal ini, Livy. Konser tunggalmu sudah di depan mata dan dengan seenaknya kau mau batalkan begitu saja? Sinting!”Livy terdiam. Ia sama sekali tidak menoleh ketika Ron masuk ke ruangannya sambil marah marah. Livy tetap berdiri di samping jendela, menatap entah ke mana.“Livy!” panggil Ron dengan suara sangat keras. Ia berdiri di tengah ruangan sambil menatap penuh emosi ke arah Livy.“Apa lagi sekarang, Liv? Setelah konser tunggal ini, kau akan tour musik dunia. Itu pun akan kau batalkan?”Ron meremas rambut d
“Sial!”Sean memaki sambil melempar ponselnya ke atas meja. Ia kesal karena Tricia masih saja menolak panggilan telepon darinya, bahkan tidak ada satu pesan pun yang dibaca oleh wanita itu.“Dia benar benar membuatku gila,” omel Sean lagi.Mandy membuka pintu ruangan Sean. Ia membawa segelas kopi pagi hari ini.“Masih terlalu pagi untuk marah marah, Sean,” ujar Mandy sambil meletakkan kopi di meja atasannya itu.“Tricia. Wanita itu benar benar menyebalkan.”“Beri waktu saja kepadanya. Mungkin saat ini dia masih marah kepadamu.”“Ini semua karena dirimu!” bentak Sean.“Astaga, Sean. Dewasalah. Kau yang merengek kepadaku dengan alasan dingin karena hujan. Kau benar benar tidak tahu diri, Sean,” balas Mandy, kini ia tak peduli jika Sean adalah atasannya.“Seharusnya kau tahu jika Tricia datang.”“Bagaimana caranya aku bisa mengetahui kekasihmu itu datang sementara kau sibuk di atas tubuhku? Kau pikir aku ini keturunan shaman?”Sean mencibir mendengar jawaban Mandy.“Sikapmu malah membuat
Peter telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia merapikan semua peralatan yang biasa dibawa pulang ke dalam mobil. Ia sama sekali tidak peduli saat mendapati Mandy yang mengekori dirinya dengan tatapan mata.“Laki laki itu semakin membuatku penasaran,” ujar Mandy saat melihat mobil Peter meninggalkan halaman restoran itu.Peter terus membawa mobilnya menuju rumah. Ia menoleh sesaat ke arah rumah Tricia ketika selesai memasukkan mobil ke dalam carport rumahnya.“Apa yang sedang Tricia lakukan saat ini?” tanya Peter, ia berdiri sebentar di depan pintu mobilnya.“Sial. Kenapa aku merindukannya? Apa aku ke rumahnya sekarang atau meneleponnya?”Peter memukul pelan badan mobilnya kemudian melangkah, hendak menuju ke rumah Tricia.“Daad ...”Langkah Peter terhenti saat melihat malaikat kecilnya muncul dari balik pintu dan berlari ke arahnya.“Green,” panggil Peter kemudian membungkuk dan merentangkan kedua tangan menyambut pelukan Emily.“Dad, aku mendapatkan bintang banyak sekali di sekola
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments