Share

Perasaan Aneh.

Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan tubuh yang terasa segar. Hari ini Wulan sudah memutuskan untuk melupakan kejadian buruk beberapa hari lalu. Wanita berparas cantik itu mulai menata kembali hidupnya. Wulan kemabli menapaki jalan hidupnya, ia bertekad akan meraih cita-citanya. Mewujudkan segala mimpi-mimpinya dan membanggakan kedua orang tua yang telah merawatnya selama dua puluh tahun.

"Pagi sayang," 

"Pagi Nak," sapa Nyonya Laura dan Tuan Prabu pada Wulan secara bersamaan. 

"Pagi Mah, pagi Pah." Wulan menjawab seraya mencium pipi Mamah dan Papahnya. Kemudian wanita itu mendukan dirinya disamping sang mamah.

"Sayang, Kak Damar tidak kamu bangunkan sekalian nak?" ujar Nyonya Laura menanyakan tentang Damar.

"Em... Itu Mah." Wulan tergagap, bingung tak tahu harus menjawab apa.

"Tolong bangunkan kakakmu, ya nak. Hari ini ada meeting jadi Papah akan ajak kakak kamu biar dia bisa belajar secara langsung," pinta Tuan Prabu pada Wulan untuk membangunkan Damar.

"Baik Pah." Wulan akhirnya pasrah, menuruti perintah sang Papah.

Wulan melangkah pelan menuju lantai atas dimana kamar Damar berada. Perlahan dengan ragu wanita berparas ayu itu membuka pintu kamar sang kakak, yang memang tidak terkunci. Wulan mengedarkan pandangannya kesehatan arah. Wulan pun kembali teringat akan kejadian malam itu. 

Hatinya kembali bergetar takut, pandangannya pun kini tertuju pada sosok pria yang tengah tertidur dengan bertelanjang dada. Seketika dadanya semakin bergemuruh, detak jantungnya semakin kencang manakala Wulan melihat sosok Damar.

Wulan terdiam membeku, perintah sang Papah rupanya sudah ia lupakan. Wulan tak berani mendekat apalagi membangunkan Damar. Pikirannya penuh akan kejadian malam itu, berputar terus menerus seperti kaset rusak.

"Non, disuruh cepetan sama Nyonya," ujar Bi Sari seketika membuyarkan lamunan Wulan. Bi Sari berdiri di luar kamar Damar, wanita paruh baya itu rupanya ditugaskan untuk cepat memanggil Damar dan Wulan.

"I-iya Bi." Wulan menjawab dengan nada terbata. 

"Ya sudah Non, bibi ke bawah ya masih banyak pekerjaan," pamit Bi Sari kembali ke lantai bawah.

"Eh... Bi tung—" Wulan mencoba memanggil Bi Sari. Namun, wanita paruh baya itu sudah berlalu pergi menuju lantai bawah untuk melanjutkan pekerjaannya.

Mau tak mau perlahan wanita itu mendekati ranjang dimana Damar masih berbaring. Wulan kembali terdiam menatap tubuh yang tengah tertidur begitu lalapnya. Wulan menjulurkan tangannya mencoba meraih tubuh yang tertidur dengan posisi tertelungkup bertelanjang dada.

Wulan perlahan menggoyang lengan Damar, tanpa bersuara. Namun, nihil pria itu tetap tak bereaksi. Gerakan Wulan sama sekali tak terusik tidur nyenyak pria itu.

"Kak Damar, bangun Kak," ujar Wulan kembali menggoyangkan lengan Damar.

"Akhhh!" Wulan berteriak kaget saat tiba-tiba saja Damar menarik tangannya. Hingga tubuh Wulan terjatuh di pelukan Damar. Mata Wulan melotot menatap wajah Damar yang kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Mata Damar masih terpejam namun, pria itu justru tak melepaskan pelukannya pada Wulan.

Berada diposisi seperti ini membuat Wulan tak kuasa menahan air matanya. Sungguh luka itu kembali menganga, kejadian menyakitkan itu kembali berputar melintas di kepalanya. Kepingan-kepingan saat Damar mencumbu dirinya kembali terbayang. Sungguh sesak rasanya dada Wulan saat ini. 

"Kau menghindari ku? Kenapa Lan?" tanya Damar dengan masih memejamkan matanya. Sontak Wulan melotot kaget mendapati kata-kata yang keluar dari pria yang telah merenggut kesuciannya itu. 

"Kau menangis, hem?" Damar kembali berucap dan kali ini pria itu membuka kedua matanya. Menghapus air mata yang keluar dari kedua mata indah Wulan. 

Sementara, Wulan begitu kesal dan marah, mendengar perkataan Damar. Bagaimana tidak, perkataan Damar terdengar begitu tak masuk akal. Wulan benar-benar tak habis pikir pada kelakuan dan sikap Damar padanya. Pria itu seolah tak merasa bersalah apalagi menyesal. Sikap Damar seolah seperti tidak pernah terjadi apapun diantara mereka.

"Stop! Jangan bertindak melebihi batasan mu kak Damar!" tegas Wulan seraya mendorong kasar tubuh Damar guna melepaskan diri dari pelukan Damar.  Wanita berparas cantik itu bangkit dan berdiri membelakangi tubuh Damar yang masih membeku di tempat.

"Cepat bersiap! Mamah dan Papah sudah menunggu di bawah untuk sarapan!" Wulan kembali berucap seraya melangkah.

Namun, dengan sigap Damar kembali menarik pergelangan tangan Wulan. Hingga, kini wanita itu kembali terduduk di atas ranjang dengan posisi berhadapan dengan Damar.

"Kau belum menjawab pertanyaan ku Lan?"

"Tidak ada pertanyaan, dan tidak ada yang harus aku jelaskan!"

"Wulan, kita tidak bisa seperti ini terus!"

"Lalu aku harus seperti apa? Aku harus bersikap seperti apa padamu Kak!"

"Bersikap seperti biasa! Tidak bisakah kita kembali seperti dulu lagi? Saling menyayangi seperti layaknya adik dan kakak, mencintai seperti adik dan kakak, tidak bisa Kakak kembali menjadi adikku yang manis?"

"Apa? Kau laki-laki tak punya hati Kak! Aku bukan pelacur yang setelah melayani pelanggannya lalu bersikap biasa! Aku wanita, aku manusia punya perasaan aku bukan binatang Tuan Damar Prabu Aditama!" Bentak Wulan seraya terisak.

Sungguh perkataan dan permintaan Damar benar-benar kembali melukainya. Wulan merasa Damar sudah tidak waras. Pria itu benar-benar tak memiliki hati dan perasaan. Bisa-bisanya Damar meminta dirinya bersikap seperti biasa setelah apa yang terjadi antara mereka.

"Kalian kenapa? Ada masalah apa sayang?" ujar Nyonya Laura yang tiba-tiba saja datang dan berdiri di depan pintu kamar Damar.

"Ti-tidak ada Mah, kita em... Kita hanya—" Damar tergagap mendapati sang Mamah yang tiba-tiba saja datang.

"Ini Mah, tadi aku sedang latihan akting aku minta tolong sama Kak Damar untuk berlatih sebentar," jawab Wulan cepat memotong perkataan Damar seraya menghapus kasar air matanya.

"Oh, ya sudah kirain anak-anak mamah sedang bertengkar, mamah jadi khawatir ya sudah Damar, cepat bersiap sudah ditunggu Papah dan Wulan ayo kita kebawah sayang," ujar Nyonya Laura menggandeng tangan Wulan dan kemudian berlalu meninggalkan Damar.

Damar terdiam, pria itu mencoba mencerna apa yang telah ia lakukan tadi. Memang benar kata Wulan bagaimana mungkin semuanya kembali seperti dulu saat sebelum terjadi tragedi malam itu. Namun, Damar tak bisa menyangkal perasaannya jika ia merasa kesepian dan merasa kehilangan saat sang adik menjauhinya. Seperti ada yang hilang dari Damar. Karena Wulan yang biasanya ada di setiap kesehariannya. Kini selama lebih dari satu minggu, sang adik menghindarinya.

Pria itu, sungguh merindukan saat-saat di mana sang adik bermanja kepadanya. Merindukan keceriaan dan perhatian Wulan padanya. Kini semua terasa canggung dan kaku seperti ada benteng yang sangat tinggi yang menghalangi dan membuat jarak yang cukup jauh diantara mereka.

Setelah beberapa saat terdiam, Damar kini melangkah menuju kamar mandi. Membersihkan dirinya dan bersiap untuk pergi ke kantor. Hari ini adalah hari dimana ia akan diangkat sebagai CEO Global group. Menggantikan posisi sang Papah setelah empat tahun dirinya bekerja sebagai manager di perusahaan itu.

Sepuluh menit kemudian Damar telah selesai bersiap. Pria itu melangkah turun menuju meja makan. Penampilan Damar begitu berbeda, jika biasanya pria itu hanya mengenakan kemeja dan dasi. Kini Damar terlihat begitu berwibawa. Dengan mengenakan setelan kemeja dasi lengkap dengan jas yang membalut tubuh atletisnya.

"Ya ampun Damar sudah jam berapa ini nak? Kau harus belajar lebih disiplin lagi jika kau ingin sukses hem," ujar Tuan Prabu menasehati sang putra.

"Maaf Pah, tadi malam Damar begadang,"

"Party lagi? Dengan Jery?" tanya Tuan Prabu seraya menggeleng pelan.

"Iya Pah,"

"Damar, Papah ingin kau menjaga jarak dengan Jery!" Tuan Prabu mencoba melarang sang putra untuk tidak berhubungan dengan pria bernama Jery. Karena yang tuan Prabu tahu, jika Jery hanyalah pria brengsek yang kerjanya hanya berfoya-foya. 

"Tapi Pah kita hanya—"

"Jauhi teman-teman mu jika kau tidak bisa menyesuaikan diri. Damar jika kau tidak memiliki prinsip untuk hidupmu dan masih mudah terpengaruh maka, menjauhlah diri orang-orang toxic seperti mereka. Kelak itu akan menyelamatkan masa depanmu!" tegas Tuan Prabu untuk terakhir kalinya, memberi nasehat pada putranya.

Suasana seketika menjadi hening. Baik Wulan dan Nyonya Laura hanya bisa diam. Ketegasan sang papah memang tidak bisa dibantah.

"Papah tunggu kamu di kantor jam sembilan kau harus sudah ada di sana!" Tuan Prabu kembali berkata, seraya bangkit menyudahi sarapannya. Pria paruh baya itu begitu kecewa dengan kelakuan putranya yang belum bisa bersikap dewasa.

"Em... Kalian lanjutkan sarapannya mamah antar Papah," ucap Nyonya Laura bangkit kemudian melangkah mengantar sang suami.

Kini hanya ada Damar dan Wulan berdua di meja makan. Suasana mendadak menjadi hening. Rasanya benar-benar canggung dan itu membuat Wulan tak nyaman.

"Mau kemana?" Damar meraih tangan Wulan saat mendapati Wulan yang juga menyudahi sarapannya dan bangkit dari duduknya.

"Kuliah!" jawab Wulan singkat dengan nada dinginnya.

"Duduk tunggu kakak, kakak akan mengantar mu!" Damar menarik tangan Wulan hingga wanita itu terduduk kembali. Kali ini Damar benar-benar tak ingin dibantah.

"Tidak perlu, James sudah di jalan menjemput ku," jawab Wulan enteng yang semakin membuat Damar geram.

"Wulan tolong! Jangan bantah kakak kali ini!" Damar meninggikan nada bicaranya seraya menarik pergelangan tangan Wulan dan membawanya pergi.

Sungguh Damar benar-benar kesal pada sikap dingin Wulan padanya. Namun, yang membuatnya sangat marah adalah saat mendengar James akan menjemputnya. Damar bener-bener tidak terima ketika Wulan menolak diantar olehnya dan justru lebih memilih diantar oleh James.

Entahlah apa yang ada di pikiran Damar saat ini. Tapi, sejak malam itu, Damar merasakan ada perasaan lain di hatinya pada Wulan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status