Share

Bab 2 : Petunjuk Pertama

Kulihat sekilas Airin tengah membereskan bukunya setelah belajar sejak maghrib. Dia bergegas menuju kamar mandi, saat melewatiku yang tengah menonton tv di ruang keluarga dia bertanya, "Mommy sudah sholat isya?"

Aku menggeleng. "Baru saja mommy haid, Rin. Habis sholat maghrib tadi."

Kemudian Airin berlalu dari hadapanku. Beberapa menit kemudian, Airin kembali dengan wajah penuh tanda tanya.

"Mommy, coba lihat deh. Airin nemu ini. Punya mommy kah?"Airin memberikan sebuah nota pembelian perhiasan emas padaku.

Kulihat dalam nota tersebut, pembelian sebuah kalung emas seberat 20 gram. Tapi tidak ada identitas pembelinya. Jelas ini bukan milikku.

" Dapet darimana, Rin?" tanyaku penasaran.

"Di depan pintu kamar mandi, Mom. Airin pikir itu punya mommy. Bukan, ya?"

Aku menggeleng. Kusimpan nota itu di dompetku. Di rumah ini hanya ada aku, Airin, dan mas Yovie. Nama terakhir adalah yang paling memungkinkan untuk mengetahui asal usul nota tersebut.

***

"Mas, tadi Airin nemu ini di kamar mandi, punya kamu kan?" tanyaku memastikan pada mas Yovie saat dia selesai mandi. Dia baru saja tiba setelah meninjau lokasi pembangunan kantor cabang baru dengan anak buahnya.

Mas Yovie mengernyitkan dahi saat kusodorkan lembaran nota yang ditemukan Airin.

"Dapet darimana, Dinda?" tanya Mas Yovie.

"Malah balik nanya, sih. Itu dilihat, punya mas atau bukan. Tinggal jawab aja apa susahnya, Mas." Ujarku dengan suara memburu.

Mas Yovie terkekeh. Aku begitu kesal mendengarnya.

"Malah ketawa begitu. Jawab, Mas." Ulangku memaksa.

Mas Yovie mendekatiku, menowel daguku serta merta berujar, "Ini punya Aditya, dia ngasih surprise buat istrinya. Waktu itu belinya sama aku, Dinda. Dia nitip nota karena takut surprisenya gagal kalau ketahuan istrinya." Ujar mas Yovie bercerita.

Cerita itu sungguh masuk akal, tapi entah mengapa tidak menuntaskan rasa keingintahuanku. Bagiku seolah hanya cerita bualan belaka.

"Oh, begitu. Benarkah? " Tanyaku memastikan.

Mas Yovie mengangguk mantap. Kutatap kedua matanya yang memancarkan keyakinan.

Aku memutar bola mataku malas, tidak tahu harus bagaimana. Diri ingin mempercayai tapi hati enggan mengiyakan. Biarlah aku diam, lagi dan lagi. Kelak, jika memang mas Yovie berbuat curang, tentu Allah akan menunjukkan keburukannya itu.

Mas Yovie memelukku erat, mengusap lenganku berulang kali. "Dinda, jangan mikir macem-macem lah. Biar ngga stres. Nikmati hidup ini, fokus pada Airin dan keluarga kecil kita, saja. Oke!! " Ucap mas Yovie tegas.

Aku mengangguk lemah. Sungguh aku sangat meragukan kesetiaan lelaki disampingku ini. Hanya pada tuhanlah aku berserah diri, jika memang nyatanya aku dicurangi lagi.

***

Hari ini weekend, aku menikmati hari liburku dengan bersantai saja di rumah. Setelah menyiapkan bekal makan siang untuk Airin yang sekarang tengah menikmati kegiatan summer camp di sekolahnya. Tadi pagi, aku dan mas Yovie mengantarkannya ke sekolah. Acaranya akan diadakan hingga sore hari, kemungkinan nanti hanya mas Yovie yang menjemput Airin sepulang dari rumah temannya.

Mengingat kata 'rumah teman' mas Yovie, sejujurnya aku tidak begitu percaya pada perkataan mas Yovie. Pasalnya, dia tipe yang enggan bertamu ke rumah temannya. Lebih sering mengajak bertemu di luar, sekedar ngopi di kafe atau pergi ke kolam pemancingan umum saat weekend begini.

Daripada didera rasa penasaran dan prasangka buruk terus menerus, aku nekat mencoba menghubungi Aditya. Salah satu teman akrab sekaligus saudara sepupu mas Yovie.

Harap-harap cemas aku menunggu panggilanku terhubung.

'Ya, Lin. Ada apa?' suara Aditya menyapa di seberang. Kebiasaan makhluk satu ini, tidak pernah mengucap salam di telepon.

'mas Yovie ada di rumahmu, Dit?' tanyaku langsung tanpa tedeng aling-aling. Enggan mengucap salam juga, karena ujung-ujungnya dia pun takkan merespon. Sudah lagu lama.

Terdengar suara kekehan Aditya, 'Ceiilaaah, takut amat lakinya ilang, lu. Ada, nih.'

Aku memutar bola mata dengan malas, biar saja bukankah Aditya tidak melihat ekspresi malasku ini.

'coba sini, aku pengen ngomong.' Ujarku membutuhkan kepastian, bukannya apa, bisa jadi Aditya bersekongkol dengan mas Yovie untuk berbohong padaku. Aaarghhhh, prasangka buruk ini benar-benar sudah merasuki isi kepalaku.

Kudengar dengkusan halus dari Aditya, setengah berteriak dia memang mas Yovie.

"Yop. Kalina nyariin lu, nih."

Beberapa saat kemudian terdengar suara mas Yovie, 'Ada apa dinda, Sayang?'

'Ngga ada apa-apa, sekedar memastikan kalau mas benar-benar ke rumah Aditya.' jawabku terang-terangan.

Suara tawa mas Yovie terdengar memekakkan telinga, spontan aku menjauhkan handphone dari telinga.

'Kau kira mas ini berbohong? terus kenapa harus menelepon Aditya? nomorku tetap aktif, Dinda.' ujar mas Yovie saat tawanya reda.

'ya sudahlah, mas. Aku hanya memastikan saja. kututup teleponnya, ya. Assalamu'alaikum.'

'waalaikumsalam.' jawab mas Yovie.

klik. Sambungan telepon pun terputus.

Seharusnya aku lega setelah mendengar kenyataan bahwa mas Yovie benar-benar ada di rumah Aditya, artinya dia tidak berbohong sejauh ini. Tapi kenapa, rasa ragu ini enggan pergi.

Bukankah bisa saja, mas Yovie pergi menemui seseorang setelah dari rumah Aditya, yang mungkin saja orang itu adalah wanita selingkuhan mas Yovie. Aaaaarrrgh. Semoga aku tidak gila memikirkan segala sesuatu yang entah hanya sekedar spekulasi atau memang benar adanya namun aku hanya belum mengetahuinya saja.

***

Sore yang indah, dengan semilir angin mendayu-dayu seolah mengajak alam berdansa. Sedikit mengobati hati yang risau dengan spekulasi tentang mas Yovie. Sore ini aku yang menjemput Airin di sekolah, sepuluh menit lalu mas Yovie mengatakan akan mengantarkan ibu mertua ke dokter. Hipertensinya kambuh. Setelah menjemput Airin akupun akan segera menemuinya di rumah ibu mertua.

Ibu mas Yovie, sosok wanita pekerja keras yang tangguh dan gigih. Di usia ke-52 tahun, beliau masih aktif bekerja di sebuah bakery terkenal di kotaku. Sebetulnya aku dan mas Yovie sudah menyarankan beliau untuk berhenti bekerja, tapi beliau memaksa untuk menuntaskan pekerjaannya hingga tiba masa pensiun pada 4 tahun mendatang. Apalagi tuntutan hidup yang semakin mencekik, uang bulanan dariku dan mas Yovie sepertinya tidaklah cukup menopang kebutuhan harian ibu dan bapak mertua. Belum lagi hobi bapak yang antusias sekali memelihara segala jenis burung di rumahnya, memang bukan burung-burung mahal untuk kontes tapi kupikir tetap saja semua itu membutuhkan biaya tambahan diluar kebutuhan harian. Sementara bapak sudah tidak aktif bekerja, hanya sesekali mengambil job taksi online saat membutuhkan biaya untuk hobinya itu. Alhasil, segala kebutuhan rumah tangga bergantung pada penghasilan ibu saja. Seringkali aku hanya bisa diam setiap kali terjadi perdebatan antara mas Yovie dan bapak saat membahas masalah finansial dalam keluarga. Aku memang telah menjadi bagian keluarga sejak menikah dengan mas Yovie, tapi kupikir ada beberapa hal yang tidak seharusnya aku ikut campur di dalamnya.

"Mommy...... " panggilan Airin membuyarkan lamunanku.

Dengan tas ransel di pundaknya, dia berlarian kecil menuju tempat parkir dimana aku menunggunya sejak tadi. Airin menyalamiku dengan takzim, kucium keningnya yang sedikit bau matahari, mungkin karena seharian berkegiatan di luar ruangan.

"Kita ke rumah oma, Sayang. Oma sakit." Ujarku memberitahu Airin.

Airin terkejut. "Oma kenapa, Mom?"

"Hipertensinya kambuh lagi, mungkin kelelahan atau stres." Jawabku seraya bersiap menjalankan motor matik kesayangan.

Dengan membonceng Airin, aku segera menuju rumah ibu mertua yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah Airin.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status