Share

Bab 3 : Peringatan Keras Ibu Mertua

Lima menit berkendara dari sekolah Airin, kami tiba di rumah ibu mertua. Setelah mengucap salam berbarengan, aku dan Airin menuju kamar ibu mertua. Disana nampak wajah lesu dan kuyu tengah meringis, mungkin menahan sakit. Aku pun penyintas hipertensi, dulu saat mengandung Airin, selama masa nifas aku mengalami Hipertensi Postpartum karena sejak kehamilanku masuk trimester ketiga, tiba-tiba saja aku menderita Hipertensi Gestasional.

Masih kuingat betapa sakit dan tidak nyamannya rasa nyeri di kepala terutama bagian belakang hingga tengkuk leher. Penderita hipertensi haruslah tidur cukup, tapi rasa sakit di belakang tengkuk hingga kepala bagian belakang jelas tidak bisa membuat tidur dengan tenang, apalagi nyenyak. Sungguh amat tersiksa. Kala itu, sekuat tenaga aku berusaha untuk dapat sembuh. Berbagai treatment sederhana namun worth it sudah ku terapkan. Semisal berusaha untuk selalu relaks, tidur cukup, tidak mengonsumsi makanan berkadar gula dan garam secara berlebihan, tidak memakan aneka gorengan, makanan bersantan, olahan daging, dan daging merah. Bersyukur sekali, setelah lewat masa nifas aku berhasil menstabilkan kembali tekanan darah yang diastolik-nya sempat melonjak menyentuh angka 200mmHg.

"Bagaimana keadaan, Ibu?" tanyaku setelah mencium takzim tangan ibu mertuaku. Airin yang mengekor di belakangku pun menyalami neneknya.

Ibu mengangguk lemah sembari berkata, "Sudah lebih baik dari sebelumnya, Lin." Jawabnya tanpa membuka mata.

"Cepat sembuh, ya Oma." ujar Airin mendaratkan ciuman di kening neneknya.

Ibu mertua tersenyum simpul, "Terimakasih, Airin sayang."

Aku membiarkan Airin duduk di samping kaki neneknya, tanpa diminta dia memijat kaki neneknya dengan perlahan.

Sementara aku menuju dapur, ingin menyiapkan makanan untuk Ibu. Sepertinya memang belum ada yang menyiapkan makan malam untuk ibu.

Di rumah ini, selain ibu dan bapak, juga ada mas Rafi, putra sulung bapak dan ibu yang belum berkeluarga. Ada mas Khadafi-putra kedua- dan istrinya, mbak Sherina juga anak lelaki mereka, Rafka. Masing-masing menempati kamar yang tersedia.

"Siapa yang mau menginap disini, Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu kamar tamu.

Mas Yovie terkejut. "Sejak kapan datang, Dinda?"

Aku bersedekap. "Kebiasaan deh. Setiap kali ditanya mesti balik nanya." Ujarku sedikit ketus.

Mas Yovie menggaruk bagian belakang kepalanya. "Mbak Anita dan suaminya mau datang menjenguk ibu. Jadi mas siapkan kamar tamu, barangkali mereka menginap."

Aku mengangguk paham, lalu segera berlalu menuju dapur.

Beberapa menit aku berkutat di dapur memasak sop ayam tanpa kulit, daging cincang bumbu merah, dan tahu rebus. Tiba-tiba Airin datang menghampiriku. Katanya, sang oma sudah tidur lelap.

Dia menuju wastafel dan mencuci tumpukan piring kotor. Aku memang selalu membiasakan Airin untuk mengerjakan pekerjaan rumah agar dia tumbuh menjadi gadis yang cekatan dan tidak membuatnya jadi anak manja.

Setelah menyelesaikan memasak menu makan malam, aku segera berpamitan pulang pada bapak mertua yang tengah menonton TV di ruang keluarga. Aku membiarkan mas Yovie menemani ibu di kamarnya karena kedua putra ibu sedang berada diluar kota untuk urusan pekerjaan. Begitu pun dengan mbak Sherina, dia sedang berada di kampung halamannya karena neneknya pun sedang sakit dan tidak ada yang mengurus selain mbak Sherina dan mamanya. Itulah mengapa aku yang menyiapkan makan malam saat ini.

"Pak, Kalina pulang dulu, ya. Makan malam sudah saya siapkan." pamitku.

"Loh, ngga sekalian makan disini dengan Airin juga, Lin?" tanya Bapak.

Aku menggeleng. "Saya harus beres-beres di rumah, Pak. Sedari sore tadi langsung kemari. Airin juga belum sempat mandi sepulang summer camp. Tidak ada baju ganti disini. Biar mas Yovie tinggal disini dulu sampai keadaan ibu stabil, Pak." aku menjelaskan selemah lembut mungkin pada bapak.

Bapak mengangguk, "Ya sudah kalau begitu. Terimakasih banyak, ya Nak. Maafkan bapak dan ibu selalu merepotkan kalian."

"Sudah kewajiban saya, Airin, dan mas Yovie untuk ikut serta merawat bapak dan ibu."

Setelahnya, aku menunggu Airin di halaman depan, aku segera bergegas pulang saat Airin telah berpamitan pada opanya.

Saat hendak menstarter motor, baru kusadari jika kunci motornya belum kubawa, tertinggal di kamar ibu.

Airin menertawakan kelalaianku kali ini, "Ada-ada aja mommy. Belum tua udah pelupa banget." ujar Airin di sela tawanya.

Akupun tertawa garing, menyadari kebodohanku sendiri.

Saat hendak membuka handle pintu kamar ibu mertua, tanganku urung memutar kenop pintunya. Dengan jelas aku mendengar percakapan tidak terduga antara ibu dan mas Yovie. Kaki ini seakan mematung di tempat, bukan bermaksud untuk menguping dan mencuri dengar obrolan mereka, tapi diri ini mendadak penasaran saat namaku disebut.

"...Bagaimana jika Kalina sampai tahu, Yov? ibu ngga mau kamu menunda-nunda, cepat kamu selesaikan masalahmu dengan gundikmu itu. Ibu sudah sangat pusing memikirkan masalahmu itu. Bukan sekali dua kali kamu bermain api, apa ngga kasihan sama anak istrimu hah!!"

Aku terkejut mendengar perkataan ibu mertua.

"Gara-gara gundikmu datang kemari, ibu digosipin sama tetangga, benar-benar bikin tekanan darah ibu naik. Apa kamu mau ibumu ini mati cepat-cepat, Yov!" Lanjut ibu mengomel tanpa ampun.

Tak kudengar sepatah katapun keluar dari mulut mas Yovie, tak kudengar suara mas Yovie menyanggah apapun perkataan ibu, bukan hanya karena mas Yovie tipe anak yang diam saja saat dimarahi orangtuanya, tapi secara tidak langsung itu membuktikan segala pradugaku tentang mas Yovie. Mimpinya yang aneh, nota pembelian kalung emas yang ditemukan Airin, lalu statemen ibu yang benar-benar menjawab segala keraguanku.

Mengapa ibu tidak memberitahuku? Jika katanya kasihan padaku dan Airin, harusnya ibu memberitahu segala perbuatan buruk mas Yovie sekalipun dia adalah anaknya sendiri. Lalu sekarang, menasihati putranya untuk menyelesaikan masalah dengan wanita simpanannya tanpa sepengetahuanku, aku tersenyum miris mengetahui kenyataan ini. Apa dia pikir semua sesederhana yang dikatakan?

Hancur sudah segala kepercayaan yang memang hanya bersisa puing-puing ini. Tanganku gemetar hendak memegang kenop pintu, ragu dan bimbang. Aku harus bagaimana, ya Tuhan? Apa aku harus pura-pura tidak tahu percakapan keduanya?

Aku menghapus setitik air mata yang lolos di pipi, dengan hati-hati kuketuk pintu kamar ibu.

"Bu.. Ibu sudah tidur?" tanyaku pelan.

Ibu tak segera menjawab panggilanku, mungkin sedang mencari cara untuk bersandiwara lagi di depanku.

"Bu, sudah tidur kah? " tanyaku mengulangi.

Lalu terdengar suara ibu menyahut, "Masuk Lin. pintunya tidak dikunci."

Serta merta aku memasuki kamar ibu. Dengan senyum yang dipaksakan dan wajah terkejut yang kubuat-buat karena di dalam kamar ibu ada mas Yovie.

"Loh, ada kamu Mas." Ujarku sembari langsung mengambil kunci sepeda motor di atas nakas disamping tempat tidur ibu. "Kunci motorku ketinggalan, nih." jelasku

Mas Yovie nampak lebih terkejut dan salah tingkah. "Apa kamu mendengar sesuatu, Dinda?" tanya mas Yovie hendak memastikan apakah aku mendengar obrolannya dengan ibu.

Aku menggeleng. "Mendengar apa? Apa ada sesuatu yang harus kudengar sekarang juga?" aku balik bertanya, sedikit memojokkan mas Yovie.

"Tidak ada apa-apa, Lin. Sudah lekas pulang sana, tadi Airin bilang ingin bersih-bersih diri." sangkal ibu dengan entengnya.

Aku mengangguk dan segera meninggalkan keduanya setelah berpamitan pada mas Yovie.

Biarlah mereka masih menganggap aku tidak tahu apapun, kita lihat bagaimana mas Yovie mengatasi masalah yang dia buat sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status