POV SherlyAku mengulas senyum penuh kebahagiaan dan rasa puas dengan riasan wajahku, hasil polesan tangan seorang make up artist terkemuka di kota. Hari ini adalah hari yang sangat kunantikan, menjadi istri seorang Yovie Syahrazad. Walaupun kami hanya melaksanakan pernikahan dibawah tangan, tapi itu tidak mengurangi rasa bahagia di hatiku. Setidaknya, setelah ini aku bisa menegakkan wajah di hadapan orang-orang yang selalu menghinaku dengan sebutan 'janda gatal'.Memang keterlaluan mulut mereka itu, padahal aku tidak pernah menggoda suami mereka. Apakah salahku jika aku menjadi pusat perhatian lelaki karena kecantikanku ini? Harusnya mereka berkaca dengan cermin besar di rumahnya, seorang Sherly tidak mungkin menggoda suami mereka yang kacangan. Benar-benar tidak selevel denganku.Kali ini, mereka akan kubuat malu karena telah berani menghinaku di masa lalu. Saat ini, aku akan segera menjadi nyonya Yovie Syahrazad, seorang kepala divisi plant di PT. Tani Unggul Sejahtera. Perusahaan t
"Yang... " Samar-samar kudengar suamiku mendesah dan menggumamkan panggilan yang kutebak pastilah kata 'sayang'. Tidak mungkin kata 'peyang', atau 'loyang', apalagi 'kuyang'. 'Siapa yang sedang digumamkan dalam mimpinya?' Batinku mencelos. Selama ini, dia tidak pernah memanggilku 'sayang', bahkan sejak kami berpacaran dahulu. Dia terbiasa memanggilku 'dinda'. "Teruskan, Yang... " Racau mas Yovie. Aku menutup mulut, apakah mas Yovie sedang memimpikan wanita lain yang disebutnya 'yang'? Tanpa terasa bulir bening lolos begitu saja di pipiku. Kupandangi wajah suamiku dengan hati bergetar. Lelaki yang sudah menjadi teman hidupku selama 12 tahun ini, apakah dia mengkhianati ikatan suci kami untuk kesekian kalinya? Atau itu hanya sebuah fantasi dalam mimpinya saja? Ragu-ragu, aku mencoba membangunkan mas Yovie. Aku tidak mau berprasangka buruk padanya, tapi aku juga tidak tahan untuk tidak menanyakannya saat ini juga. "Mas, bangun." Aku menggoyang lengannya perlahan. Mas Yovie mengge
Kulihat sekilas Airin tengah membereskan bukunya setelah belajar sejak maghrib. Dia bergegas menuju kamar mandi, saat melewatiku yang tengah menonton tv di ruang keluarga dia bertanya, "Mommy sudah sholat isya?"Aku menggeleng. "Baru saja mommy haid, Rin. Habis sholat maghrib tadi."Kemudian Airin berlalu dari hadapanku. Beberapa menit kemudian, Airin kembali dengan wajah penuh tanda tanya. "Mommy, coba lihat deh. Airin nemu ini. Punya mommy kah?"Airin memberikan sebuah nota pembelian perhiasan emas padaku. Kulihat dalam nota tersebut, pembelian sebuah kalung emas seberat 20 gram. Tapi tidak ada identitas pembelinya. Jelas ini bukan milikku. " Dapet darimana, Rin?" tanyaku penasaran. "Di depan pintu kamar mandi, Mom. Airin pikir itu punya mommy. Bukan, ya?"Aku menggeleng. Kusimpan nota itu di dompetku. Di rumah ini hanya ada aku, Airin, dan mas Yovie. Nama terakhir adalah yang paling memungkinkan untuk mengetahui asal usul nota tersebut.***"Mas, tadi Airin nemu ini di kamar mand
Lima menit berkendara dari sekolah Airin, kami tiba di rumah ibu mertua. Setelah mengucap salam berbarengan, aku dan Airin menuju kamar ibu mertua. Disana nampak wajah lesu dan kuyu tengah meringis, mungkin menahan sakit. Aku pun penyintas hipertensi, dulu saat mengandung Airin, selama masa nifas aku mengalami Hipertensi Postpartum karena sejak kehamilanku masuk trimester ketiga, tiba-tiba saja aku menderita Hipertensi Gestasional.Masih kuingat betapa sakit dan tidak nyamannya rasa nyeri di kepala terutama bagian belakang hingga tengkuk leher. Penderita hipertensi haruslah tidur cukup, tapi rasa sakit di belakang tengkuk hingga kepala bagian belakang jelas tidak bisa membuat tidur dengan tenang, apalagi nyenyak. Sungguh amat tersiksa. Kala itu, sekuat tenaga aku berusaha untuk dapat sembuh. Berbagai treatment sederhana namun worth it sudah ku terapkan. Semisal berusaha untuk selalu relaks, tidur cukup, tidak mengonsumsi makanan berkadar gula dan garam secara berlebihan, tidak memakan
Setelah mendengar percakapan ibu mertua dan mas Yovie kala itu, aku benar-benar merasa hancur dan sakit. Keyakinanku mulai goyah untuk mempertahankan rumah tanggaku ini. Ditambah lagi tiba-tiba saja sahabatku, Rania, mengirimiku sebuah video. Awalnya kupikir itu adalah video family gathering di garmen yang baru saja dilaksanakan 2 minggu lalu. Setelah kuputar, ya Tuhan betapa terkejutnya aku melihat mas Yovie tengah menggandeng mesra seorang wanita memasuki sebuah rumah makan. Dan parahnya lagi, tempat itu adalah tempat favorit keluarga kami saat ingin makan diluar. Dan yang lebih membuatku geram, di video selanjutnya keduanya terlihat memasuki sebuah hotel. Tempat dimana mas Yovie berpamitan untuk bertemu klien barunya. Ya Tuhan, apakah aku masih harus berbaik sangka pada keduanya? Seolah berpikir bahwa wanita itulah klien baru mas Yovie? Aku meremas handphoneku, menahan amarah, kecewa dan rasa sakit yang datang bersamaan. Aku amat berterimakasih pada Rania, aku tahu Rania sangat me
Aku baru saja pulang dari garmen, saat kudapati Airin menghambur padaku sambil menangis sesenggukan. "Ada apa, Sayang?" tanyaku sambil mengusap lembut kepalanya. Belum sampai menjangkau pintu masuk, Airin sudah merangsek memelukku erat. Airin terus saja menangis sambil membenamkan wajahnya di dadaku. Dia tidak menjawab pertanyaanku, kurasakan badannya bergetar menahan isak tangisnya. Aku mengusap punggungnya perlahan untuk menenangkan Airin. Belum pernah kulihat Airin menangis sehebat ini? Apa yang membuatnya begini? Kubiarkan Airin menuntaskan tangisannya. Selama beberapa saat, kami hanya saling memeluk tanpa berkata apapun."Momm..mmy." kata Airin terbata di sela tangisnya. Dia menarik dirinya lalu memandangku, dari matanya kulihat Airin sangat terluka, sedih, dan kecewa."Ya, Sayang. Ada apa?" tanyaku mengulang pertanyaan yang sama. Airin menghela napas panjang, jelas terlihat kesedihan di raut wajahnya. "Daddy pergi dari rumah, Mom." ujar Airin, air matanya menetes lagi. Meng
POV YovieAku menghempaskan diri di atas sofa di ruang tengah, sudah seminggu aku berada di rumah ibu. Ya, aku kembali pulang. Pulang ke rumah orang tuaku. Aku benar-benar tidak tahan berada di rumahku sendiri, Kalina mendiamkan aku berhari-hari bahkan nekat pisah ranjang tanpa menjelaskan apapun. Akupun tidak mau bersusah payah mencari tahu alasannya. Selama ini, dia cukup sering mendiamkan aku untuk hal-hal yang menurutku sepele. Jadi, kali ini pun aku tidak mau ambil pusing. Sebenarnya, kuduga Kalina sudah mengetahui hubungan terlarangku dengan Sherly. Karena beberapa waktu yang lalu, Airin -putri kesayanganku- menemukan nota pembelian kalung emas tanpa keterangan nama. Jelas sudah itu memang bukan untuk istriku. Aku membelikannya untuk Sherly, hanya saja aku berkilah bahwa nota itu milik Aditya, saudara sepupuku dari pihak bapak. Sejak saat itu, Kalina bersikap dingin dan ketus padaku. Walaupun begitu, dia masih menyiapkan segala keperluanku, bahkan masih merawat ibuku saat penyaki
Sore ini, sepulang dari garmen aku mampir ke toko kue. Membeli beberapa bahan kue untuk membuat croissant, request dari Airin. Selain itu, aku juga menerima order beberapa teman kantor yang rindu salad buatanku. Aku kerjakan saja semuanya sekalian. Sebisa mungkin aku menyibukkan diri agar tidak terlalu stres menghadapi masalah rumah tanggaku.Saat hendak membayar belanjaanku di kasir, sudut mataku menangkap siluet seseorang yang ku kenal. Dia baru saja masuk ke toko. Reflek kupanggil namanya. "Mbak Sherina!" seruku. Si empunya nama menoleh dan menghampiriku. "Hai Lin, apa kabar?" tanya mbak Sherina.Aku tersenyum simpul. "Seperti yang mbak lihat." Aku menjawab sekenanya. "Mbak dan mas Khadafi bagaimana? Rafka juga, apa kabar kalian semua?" tanyaku. "Kami baik. Airin tidak ikut?" tanya mbak Sherina celingukan mencari sosok Airin."Totalnya seratus delapan puluh lima ribu, Bu." ujar kasir di depanku.Aku menggeleng. "Aku langsung kesini sepulang kerja, Mbak. Airin di rumah." jawabku s