Share

Skandal Cinta Suamiku
Skandal Cinta Suamiku
Penulis: Lie Meraki

Bab 1 : Gara-Gara Mimpi

"Yang... " Samar-samar kudengar suamiku mendesah dan menggumamkan panggilan yang kutebak pastilah kata 'sayang'. Tidak mungkin kata 'peyang', atau 'loyang', apalagi 'kuyang'.

'Siapa yang sedang digumamkan dalam mimpinya?' Batinku mencelos.

Selama ini, dia tidak pernah memanggilku 'sayang', bahkan sejak kami berpacaran dahulu. Dia terbiasa memanggilku 'dinda'.

"Teruskan, Yang... " Racau mas Yovie.

Aku menutup mulut, apakah mas Yovie sedang memimpikan wanita lain yang disebutnya 'yang'? Tanpa terasa bulir bening lolos begitu saja di pipiku.

Kupandangi wajah suamiku dengan hati bergetar. Lelaki yang sudah menjadi teman hidupku selama 12 tahun ini, apakah dia mengkhianati ikatan suci kami untuk kesekian kalinya? Atau itu hanya sebuah fantasi dalam mimpinya saja?

Ragu-ragu, aku mencoba membangunkan mas Yovie. Aku tidak mau berprasangka buruk padanya, tapi aku juga tidak tahan untuk tidak menanyakannya saat ini juga.

"Mas, bangun." Aku menggoyang lengannya perlahan.

Mas Yovie menggeliat, dia menggeram pelan. Matanya masih terpejam rapat. Meski berkali-kali kugoyangkan lengannya, dia nampak tak bergeming. Tetap pulas dengan dengkuran halus mengiringi.

Aku ikut membaringkan diri di sebelah mas Yovie. Meski rasa penasaranku membuncah dalam dada, aku tidak mungkin membangunkan paksa mas Yovie malam ini. Aku tahu dia amat lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya. Biarlah besok, aku akan menanyakan baik-baik padanya.

-----

"Mom, Dad, hari ini Airin ada les Bahasa Inggris sepulang sekolah nanti. Persiapan untuk ujian nasional." Ujar Airin, putri semata wayangku dan mas Yovie.

Kami bertiga tengah menikmati sarapan bersama. Sebenarnya hanya aku yang menikmati sarapan, karena Airin dan mas Yovie tidak terbiasa makan sepagi ini. Keduanya akan segera makan saat lapar menyerang di pukul sebelas atau menjelang tengah hari, ya bisa disebut sarapan menjelang makan siang. Hebatnya mereka berdua bisa kompak dalam hal itu. Tapi, setiap hari mereka selalu stand by di meja makan hanya untuk menemaniku sarapan.

"Apa daddy perlu temani lesnya?" Tanya mas Yovie dengan seringai jenaka.

Airin menggelayut manja di lengan daddy-nya. "Airin cuma ngasih info, Dad. Bukan minta ditemani. Airin udah gede gini." Rajuknya.

"Udah gede kok masih suka gelendotan sama daddy gini." Sindir mas Yovie sengaja menggoda putrinya.

Airin memajukan bibirnya. "Kan Airin kesayangan daddy, masa sih ngga boleh bermanja-ria." Protes Airin.

Mas Yovie mengusap rambut Airin penuh kasih. Ya, aku tahu mas Yovie amat menyayangi Airin.

"Iya, Sweetheart."

Aku tersenyum melihat interaksi keduanya.

Pramudiya Airinda Kahila, gadis kecilku yang kini beranjak remaja. Di usia 11 tahunnya kini dia mulai mengalami tanda pubertas dalam dirinya. Sebulan lalu, dia baru saja mendapatkan haid pertamanya. Dia merasa dirinya sudah gede, tapi tetap manja pada daddynya.

Airin dan mas Yovie amatlah dekat. Benar kata orang bilang, anak perempuan cenderung lebih dekat dan manja pada ayahnya. Begitu pun Airin kami.

Setelah meminum susu coklatnya, Airin segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Setelah berpamitan padaku dan daddynya, Airin mengeluarkan sepeda mininya untuk dikendarai ke sekolah.

Seharusnya, mas Yovie mengantarkan Airin ke sekolah tapi hari ini dia harus berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Tadi, mas Yovie sempat memberitahu jika ada salah satu keluarga dari karyawannya meninggal dunia. Dan sebagai perwakilan kantor, mas Yovie dan beberapa orang dari divisinya akan pergi melayat.

"Mas, semalam mimpi apa?" Tanyaku tidak sabar, sejak semalam kutahan pertanyaan ini.

Mas Yovie mengernyit dahinya. "Mimpi apa? Tumben nanya mimpiku. Kenapa, Dinda?"

Lihatlah dia balik bertanya.

"Tinggal jawab aja, Mas."

"Aku lupa, Dinda."

Aku menghela nafasku yang terasa tercekat di kerongkongan.

"Semalam kamu mengigau, Mas."

Mas Yovie menyatukan kedua alis lebatnya. "Mengigau? Apa?"

"Yang.. teruskan. Seperti itu. Menurutmu, siapa tokoh 'yang' dalam mimpimu? Lalu teruskan apa yang kamu maksud, Mas?"

Aku mencecarnya dengan pertanyaan beruntun. Mengabaikan table manner bahwa tidak boleh membahas ketegangan apapun di meja makan.

Kulihat wajah suamiku seketika memucat.

"Kenapa diam saja, Mas?"

Mas Yovie meraup wajahnya gusar. "Aku lupa, Dinda. Mungkin hanya mimpi biasa yang ngga ada artinya. Ngga usah dipikirin, lah."

Enggan berdebat, aku mengangguk singkat walaupun sejuta tanya menguasai otakku. Setelahnya mas Yovie berangkat ke kantornya. Begitu pun diriku yang harus segera bersiap menuju garmen tempatku bekerja.

***

Setelah menyelesaikan tugasku sebagai stockist yang mengurus segala keperluan stock barang di garmen, aku beranjak menuju pantry untuk sekedar menikmati segelas teh hangat atau secangkir kopi. Yang mana saja diantara keduanya yang tersedia.

Kulihat di pantry, ada beberapa karyawan yang sedang ngeteh, ngopi, dan tengah menikmati makan siang mereka. Kulempar senyum pada satu dua orang yang kukenal diantara mereka.

Aku menuju dispenser dan memencet tombol berwarna merah untuk menyeduh kopi cappucino-ku.

"Aku samperin ke rumahnya. Eh, malah keluarganya yang minta maaf. Mohon-mohon biar masalah ini ngga aku laporin ke polisi." ujar sebuah suara dengan lantang.

"Terus, kamu mengiyakan gitu aja, Fa?" tanya sebuah suara. Kali ini kukenali suara ini adalah milik Rania, sahabatku sejak SMP.

"Ngga semudah itu, Ran. Di depan mereka, aku pura-pura memaafkan. Tapi, sejauh ini aku udah bikin laporan di kantor polisi. Tentang perzinahan. Biar kapok si sundel sama suamiku yang bejat itu." jawab seorang wanita yang kutebak berusia 35an tahun, seseorang yang dipanggil 'Fa' oleh Rania.

Kulihat dari sudut mata, Rania menepuk pundak wanita itu. "Hebat kamu, Syifa. Tegar menghadapi semua ini."

Aku melempar senyum pada Rania yang juga membalas senyumku. Aku tidak menghampirinya karena dia sedang berbicara amat serius dengan temannya. Meski kami bersahabat, tapi kami juga saling memahami bahwa kami memiliki lingkup pertemanan kami sendiri.

Aku menikmati seduhan kopiku dalam diam, cappucino di cangkir ini terasa hambar setelah mendengar secara tidak sengaja percakapan Rania dan Syifa. Pikiranku seketika menerawang kejadian semalam. Mimpi suamiku yang sangat misterius, membuatku berprasangka buruk. Benarkah suamiku mencurangiku lagi? Pasalnya, mas Yovie pernah memiliki affair dengan tetangga belakang rumah yang kutinggali dengan orang tuaku dulu. Setelah kejadian memalukan itu terungkap, aku dan mas Yovie memutuskan untuk pindah rumah. Sejujurnya, akulah yang memaksa mas Yovie untuk pindah rumah agar aku tidak selalu dibayang-bayangi perselingkuhan dan rasa sakit hati setiap kali melihat mbak Ambar, perempuan yang menjadi selingkuhan mas Yovie.

Lalu semalam, apa mimpi mas Yovie hanya sekedar bunga tidur ataukah benar dia bermain api lagi? Ya Tuhan, sungguh aku tidak bisa membayangkan harus sakit hati untuk kesekian kalinya. Butuh waktu untuk bisa menerima mas Yovie dalam hidupku lagi setelah perselingkuhannya dengan mbak Ambar, haruskah aku makan hati lagi, menangis berderai air mata lagi. Jangan biarkan itu terjadi lagi, Tuhan. batinku menjerit.

Hingga tiba waktu pulang, aku belum bisa berhenti memikirkan mimpi mas Yovie semalam, apalagi si empunya mimpi tidak memberikan klarifikasi apapun.

Hingga menjelang sore saat pulang dari garmen, pikiran buruk tentang mas Yovie terus saja menghantui. Sungguh meresahkan hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status