Share

Bab 4 : Kebenaran Memang Pahit

Setelah mendengar percakapan ibu mertua dan mas Yovie kala itu, aku benar-benar merasa hancur dan sakit. Keyakinanku mulai goyah untuk mempertahankan rumah tanggaku ini. Ditambah lagi tiba-tiba saja sahabatku, Rania, mengirimiku sebuah video. Awalnya kupikir itu adalah video family gathering di garmen yang baru saja dilaksanakan 2 minggu lalu. Setelah kuputar, ya Tuhan betapa terkejutnya aku melihat mas Yovie tengah menggandeng mesra seorang wanita memasuki sebuah rumah makan. Dan parahnya lagi, tempat itu adalah tempat favorit keluarga kami saat ingin makan diluar. Dan yang lebih membuatku geram, di video selanjutnya keduanya terlihat memasuki sebuah hotel. Tempat dimana mas Yovie berpamitan untuk bertemu klien barunya. Ya Tuhan, apakah aku masih harus berbaik sangka pada keduanya? Seolah berpikir bahwa wanita itulah klien baru mas Yovie? Aku meremas handphoneku, menahan amarah, kecewa dan rasa sakit yang datang bersamaan.

Aku amat berterimakasih pada Rania, aku tahu Rania sangat mengkhawatirkan hubunganku dengan mas Yovie. Sejak mengenal mas Yovie di bangku kelas 3 SMP dulu, aku mulai menyukainya. Kami bertetangga. Hingga kemudian kami berpacaran saat aku kelas 2 SMA. Dan sejak itu pula, Rania tahu keburukan mas Yovie yang ternyata masih berpacaran dengan kakak kelas Rania di sekolahnya, pada masa SMA aku dan Rania tidak bersekolah di tempat yang sama tapi kami tetap bersahabat.

Sejak masa pacaran dengan mas Yovie dulu, lelaki itu sudah banyak menyakitiku dengan perselingkuhannya. Bahkan hingga menikah pun, dia belum juga berubah menjadi lelaki setia. Rasanya hanya saat aku mengandung Airin lah, dia memposisikan dirinya menjadi suami yang baik dan setia, mungkin.

'Lin, bukannya aku mau memperkeruh suasana, baiknya kamu memikirkan lagi untuk bersama-sama dengan mas Yovie terus. Ini bukan pertama kalinya, loh. Semoga kamu bisa membuat keputusan yang tepat ya Lin.'

Begitu bunyi chat w******p yang dikirim Rania setelah kiriman videonya.

Semuanya terasa semakin jelas, keburukan apapun yang disembunyikan pasti akan terkuak entah kapan waktunya. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, bau busuknya akan tercium juga. Seperti itulah kisah mas Yovie dan wanita simpanannya. Meski aku belum tahu siapa sosok wanita itu, tapi hati ini sudah amat sakit. Biarlah aku takkan mencari tahu.

Ya Tuhan, aku benar-benar lelah dengan semua ini. Bukannya tidak mau berjuang demi keutuhan rumah tangga, hanya saja aku merasa lelah menghadapi kegilaan mas Yovie selama ini. Benar saja jika ada orang yang mengatakan bahwa penyakit selingkuh susah mengobatinya. Dan ini terjadi dalam rumah tanggaku dengan mas Yovie. Berkali-kali dia bermain api dengan banyak wanita, kuberikan kesempatan berulang kali yang kupikir bisa membuatnya sadar akan kesalahan yang dia perbuat padaku dan Airin. Ya, saat bermain gila dengan wanita lain, mas Yovie bukan hanya mengkhianati pernikahan kami tapi juga mencurangi putrinya sendiri. Putri yang sangat membanggakan sosok ayahnya.

"Dinda sayang, aku bawain buah duren kesukaanmu, nih." ujar mas Yovie saat baru pulang kerja.

Aku menghampirinya, mengambil bungkusan di tangannya. Aku enggan mencium tangannya lagi, enggan rasanya bersikap menjadi istri yang baik sementara diluar sana dia bermain api.

"Kok cemberut gitu, ngga menyambut manis suaminya pulang kerja." Mas Yovie menowel daguku, kebiasaannya saat menggodaku ketika aku marah.

Aku jijik tangannya menyentuhku. Kali ini aku benar-benar kecewa, apalagi jika kuingat beberapa bulan terakhir mas Yovie selalu menolak saat aku meminta nafkah bathin padanya. Dia beralasan sedang lelah dan kurang prima. Rupanya karena dia lelah bertempur dengan selingkuhannya. Padahal aku sudah mencoba segala cara untuk merayunya, karena merayu suami berpahala surga. Begitu yang kudengar di majelis ilmu di masjid dekat rumah.

Tapi kenyataan yang kualami, suamiku enggan menyentuhku karena dia mendua, dia telah memuaskan hasratnya dengan wanita lain. Bahkan hingga terbawa ke mimpinya. Ya Tuhan, aku benar-benar jijik jika mengingat semua itu.

"Lagi haid, Mas." ujarku beralasan.

Mas Yovie memanyunkan bibirnya. "Yaaa padahal nanti malam mas pengen berduaan semalaman sama dinda. Kok haid, sih."

Aku memutar bola mata jengah mendengar kalimatnya yang penuh tipu daya.

"Kalau aku tidak bisa, bukankah ada pelampiasan lainnya, Mas." sindirku sambil memperhatikan mimik wajah mas Yovie, ingin tahu reaksinya bagaimana.

Wajah mas Yovie terlihat biasa saja, tidak nampak terkejut ataupun kikuk.

"Tiada yang lain selain dirimu, Dinda." jawabnya sambil melagukan kalimatnya itu. Kemudian berlalu menuju kamar kami.

Ah, mengapa aku lupa bahwa dia benar-benar suhu. Sudah pandai berbohong dan memanipulasi.

***

Sejak hari itu, aku memutuskan untuk berhenti bicara pada mas Yovie, aku juga tidak sudi tidur seranjang dengannya. Aku memilih pindah tidur ke kamar Airin. Bahkan sebagian baju di lemariku sudah kupindah di lemari Airin.

Aku menunggu mas Yovie jujur tentang hubungan gelapnya dengan wanita itu. Aku belum memutuskan akan bersikap bagaimana dengan rumah tanggaku selanjutnya, tapi aku begitu enggan meski hanya sekedar berbicara dengan mas Yovie. Hanya di depan Airin lah aku bersikap seolah semua baik-baik saja. Walaupun aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Arine saat aku berusaha menutupi luka yang sebenarnya terlihat jelas di mataku.

"Dinda, berhentilah bersikap seperti ini. Apa pantas seorang istri mengabaikan suaminya berhari-hari. Bahkan pada orang lain saja, itu termasuk dosa, loh." Mas Yovie sedang menceramahi pagiku kali ini.

Aku mengedikkan bahu, saat ini aku sedang berada di kamar kami. Tapi bukan untuk berdamai, aku hanya menyiapkan segala keperluan mas Yovie seperti kemeja, dasi, celana, gesper, dan segala tetek bengek yang kuyakin dia takkan bisa melakukannya tanpaku.

"Aku sedang berbicara sama kamu, Dinda. Kamu diam seperti ini tanpa kejelasan, apa maksudnya?".

Mas Yovie masih saja mengeluarkan kalimat yang tidak penting menurutku.

wah, kura-kura dalam perahu dia. Pura-pura tidak mengerti apa yang sudah dilakukannya, atau memang sengaja tidak memikirkan segala tindak tanduknya main gila dengan wanita murahan itu, hal yang sudah jelas ketahuan. aku membatin dalam diamku.

Setelah kutata dan meletakkannya di ranjang, aku segera berlalu keluar dari kamar. Tidak menanggapi satupun kalimat yang keluar dari mulut mas Yovie. Aku tahu aku berdosa mengabaikan suamiku sendiri, aku tahu aku berdosa mendiamkan segala perkataan mas Yovie dan tidak memberikan respon apapun padanya. Tapi aku bukan malaikat yang tidak punya perasaan hancur dan sakit saat mengetahui pasangannya mencurangi berulang kali, menyakiti berulang kali, menorehkan luka yang sama berulang kali.

Tiba-tiba mas Yovie mencekal lenganku dengan kasar saat aku hampir mencapai pintu kamar.

"Hermilia Kalina, aku sedang berbicara denganmu! Jawab!" Seru mas Yovie setengah berteriak sambil menatap mataku tajam.

Dapat kulihat kilatan amarah di matanya.

"Ceraikan aku, mas!" Tukasku sambil mengibaskan tangan mas Yovie yang mencengkeram lenganku. Lenganku terasa sakit sekali tapi tidak sesakit hati ini.

Secepat kilat aku meninggalkan mas Yovie yang mematung di ambang pintu kamar kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status