Share

Penolakan

Jaya terkesiap mendengar pertanyaan sang Ibu. Namun, hanya sekejab saja, karena Jaya begitu pandai menyembunyikan perasaannya. Kanaya Arinda hanya menyunggingkan senyum sinis melihat ekspresi terkejut Jaya. Hanya sepintas, tetapi Kanaya sudah melihatnya.

"Apa yang ada dalam pikiranmu, Jaya?"

"Selama ini ibu memberikan kebebasan penuh kepadamu untuk memuaskan kebutuhanmu dengan semua wanita itu! Tapi jangan gunakan perasaanmu!" Kanaya mulai memberi nasehat. Sedikit kejam, tetapi harus dia utarakan. Dia tidak akan rela keluarga Mahendra dimasuki oleh wanita malam.

Jaya hanya terdiam membisu. Tidak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Nanti kalau sudah saatnya, maka pasti dia akan melontarkan pembelaan. Bukan sekarang, belum waktunya.

"Kalau ayahmu tahu bahwa kau sudah mulai bermain dengan perasaan, pasti ayah akan marah besar! Sudahkah kau pikir semuanya, Jaya?"

"Kenapa kau hanya diam? Semua yang Ibu katakan benar bukan?" tanya Kanaya lagi. Meskipun merasa kesal kepada Jaya yang tidak bersuara sama sekali, Kanaya tetap bersikap tenang.

"Apa ibu sudah mengatakan semuanya?"

"Jaya!"

"Saya hanya akan menikah dengan wanita pilihan saya, Bu. Meskipun ibu dan ayah menentang. Jadi, Jaya permisi dulu sebelum ada kata-kata Jaya yang terdengar kasar." Jaya berdiri sebelum ada kata penolakan dari sang Ibu. Memeluk ibunya sebentar sebelum dengan langkah mantap meninggalkan ruangan VIP khusus yang sudah dipesan untuk pertemuannya dengan sang ibu.

Kanaya menatap punggung Jaya dengan pandangan geram. Meraih ponsel di tangannya dan menekan sebuah nomer yang sudah dihafalnya.

"Selidiki dia lebih dalam lagi. Atur pertemuanku dengannya!" Suara Kanaya terdengar dingin sewaktu mengatakan hal itu.

"Tapi, harus melalui Nona Lolita kalau mau bertemu dengan gadis itu, berarti mengumumkan kepada dunia bahwa Nyonya Besar mempunyai masalah dengan Mayra." Jawaban dari seberang membuat wajah Kanaya semakin mengeras.

"Apakah kau terlalu bodoh sekarang? Bahkan untuk bertemu saja aku yang harus mengajarimu caranya?"

"Maafkan saya, Nyonya Besar. Saya akan mengatur pertemuan anda."

"Lakukan secepatnya. Gunakan dana yang sudah aku kirim ke rekeningmu," tukas Kanaya.

"Baik, Nyonya. Saya akan lakukan perintah Nyonya."

Kanaya berdiri dan melihat pemandangan kota yang tampak dari ruangan tempatnya berada.

"Kita lihat saja, Jaya. Siapa yang akan menyerah. Ibu tidak akan membiarkanmu! Seharusnya kau tahu itu!" gumam Kanaya dan berjalan anggun meninggalkan restoran.

Jaya mengendarai mobilnya menuju perusahaan sang Ayah. Dia harus bisa mengambil hati ayahnya terlebih dahulu. Mungkin ayahnya nanti bisa membujuk ibunya. Itu yang menjadi harapan Jaya.

"Bagaimana kabar Ayah?"

"Baik, tumben sekali kamu datang kemari, Nak?" Bastian Mahendra, sang Ayah menyambut Jaya dengan pelukan penuh kehangatan.

"Apa kau sudah bertemu dengan ibumu? Bagaimana? Apa ada gadis yang menarik perhatian seorang Jaya Mahendra?" tanya Bastian mengedipkan sebelah matanya. Berbanding terbalik dengan sang ibu, ayah Jaya merupakan pribadi yang sangat ramah.

"Tidak ada yang aku suka. Aku akan mencari cinta dan calon istri sendiri, Ayah!" kata Jaya mantap. Dengan Bastian, Jaya lebih bisa bersikap santai.

Perkataan Jaya membuat Bastian menatap Jaya untuk waktu yang lama.

"Asalkan gadis itu masih berada dalam lingkungan kita, ayah pasti akan menerimanya dengan senang hati."

Ternyata ayahnya sama saja! Jaya pikir akan bicara mengenai Mayra kepada sang ayah, tetapi dengan segera Jaya mengurungkan niatnya. Bahkan Bastian sudah mengeluarkan ultimatum.

"Baiklah, Ayah. Aku permisi dulu. Aku ingat ada janji dengan klien satu jam lagi."

"Hanya begitu saja? Kau tidak pulang ke Rumah?"

Pulang ke Rumah? Kapan terakhir Jaya mendengar pertanyaan itu? Tidak, dengan kelainan yang dimilikinya, pulang ke rumah hanya akan menimbulkan masalah.

"Aku akan pulang sekali-kali, Ayah! Jaga kesehatan Ayah."

"Ingat pesan Ayah! Jangan membuat malu nama baik keluarga Mahendra!"

Jaya pikir setelah bertemu dengan sang ayah, maka masalahnya bisa terselesaikan dengan mudah. Seharusnya Jaya bisa menebak dari awal. Ayahnya pasti akan selalu mendukung apa yang ingin dilakukan oleh sang istri. Meskipun harus menghalangi kisah cinta putranya sendiri.

Mobil yang Jaya kendarai berhenti di sebuah Taman Kota.

"Kenapa aku malah ke tempat ini?" gumam Jaya kepada dirinya sendiri. Dia membuka pintu mobil dan memutuskan untuk berjalan-jalan, barangkali pikirannya bisa jernih. Sekilas Jaya melihat bayangan Mayra yang melintas. Secepat kilat Jaya berlari mengejar gadis itu.

"Mayra!"

Gadis itu menoleh dan ternyata bukan Mayra. Hanya perawakan tubuhnya dari belakang saja yang sama dengan Mayra.

"Ada apa denganku?" Jaya duduk di bangku Taman dan menekan pelipisnya. Bayangan Mayra ada di mana-mana. Seolah-olah mengejar Jaya untuk minta pertanggung jawaban.

"Pasti Mayra kesakitan sekarang! May, maafkan aku!"

Keinginan hatinya untuk segera bertemu Mayra lagi semakin menggebu-gebu sekarang. Dia harus segera bisa mempersunting Mayra. Harus!

"Bagaimana keadaan Mayra?"

"Masih belum terlihat keluar rumah, Tuan Muda. Kemungkinan masih sakit!"

Jaya menutup ponselnya dengan gusar. Tentu saja masih sakit! Dengan perlakuan sekasar itu, tubuh lembut nan rapuh Mayra pasti sudah tumbang. Menyesal? Tentu saja. Namun, keinginan untuk bertemu Mayra masih begitu besar. Dia harus segera melaksanakan rencananya.

"Selamat sore, Tuan Jaya. Ada yang bisa saya bantu lagi?" Di ujung sambungan, Lolita dengan cepat menjawab.

"Saya ingin bertemu Mayra lagi. Apa bisa Nona Lolita mengaturnya untuk saya?"

Untuk menghubungi Mayra, harus melalui Nona Lolita terlebih dahulu. Karena sampai berbusa pun, Mayra tidak akan mengangkat telepon selain dari Nona Lolita serta kerabat dekatnya. Hal itu Jaya ketahui setelah beberapa waktu melakukan penyelidikan.

"Kapan, Tuan Jaya?"

"Malam ini!" Perasaannya sudah tidak terbendung lagi. Harus segera dilampiaskan segera.

"Maaf, Tuan Jaya. Malam ini tidak bisa. Mungkin lain waktu atau besok saya bisa jadwalkan lagi, Tuan?" Ada nada khawatir dalam suara Lolita.

"Apa Mayra sudah pulih? Kenapa anda memberi Mayra pekerjaan lagi?" sergah Jaya gusar.

"Tidak, Tuan Jaya. Mayra sendiri yang meminta. Keadaan Mayra juga sudah membaik, berkat dokter yang tuan Jaya kirimkan," jawab Lolita, berusaha tegar dalam setiap kalimat yang dia ucapkan.

"Saya akan membayar dua kali lipat!" kata Jaya dingin, jelas terdengar di pendengaran Lolita.

"Maaf, Tuan. Kalau saya melakukan pembatalan ini, saya harus membayar penalty sebesar dua milyar," jawab Lolita.

Dua milyar? Jumlah yang sangat fantastis. Itu berarti klien yang bertemu dengan Mayra berani membayar Mayra dengan jumlah satu milyar. Karena penalty yang dibebankan berjumlah dua kali lipat dari jumlah jasa yang dibayar.

Tanpa sadar, Jaya mencengkeram ponselnya. Siapa yang mengeluarkan uang begitu banyak untuk Mayra?

"Saya akan mengirim uang itu sekarang ditambah dengan uang pelayanan malam ini. Nona Lolita bisa bayarkan dendanya!" kata Jaya tegas. Perkataan yang membuat nona Lolita di ujung sambungan hanya bisa terbelalak semakin lebar mendengar hal itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status