Jaya terkesiap mendengar pertanyaan sang Ibu. Namun, hanya sekejab saja, karena Jaya begitu pandai menyembunyikan perasaannya. Kanaya Arinda hanya menyunggingkan senyum sinis melihat ekspresi terkejut Jaya. Hanya sepintas, tetapi Kanaya sudah melihatnya.
"Apa yang ada dalam pikiranmu, Jaya?""Selama ini ibu memberikan kebebasan penuh kepadamu untuk memuaskan kebutuhanmu dengan semua wanita itu! Tapi jangan gunakan perasaanmu!" Kanaya mulai memberi nasehat. Sedikit kejam, tetapi harus dia utarakan. Dia tidak akan rela keluarga Mahendra dimasuki oleh wanita malam.Jaya hanya terdiam membisu. Tidak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Nanti kalau sudah saatnya, maka pasti dia akan melontarkan pembelaan. Bukan sekarang, belum waktunya."Kalau ayahmu tahu bahwa kau sudah mulai bermain dengan perasaan, pasti ayah akan marah besar! Sudahkah kau pikir semuanya, Jaya?""Kenapa kau hanya diam? Semua yang Ibu katakan benar bukan?" tanya Kanaya lagi. Meskipun merasa kesal kepada Jaya yang tidak bersuara sama sekali, Kanaya tetap bersikap tenang."Apa ibu sudah mengatakan semuanya?""Jaya!""Saya hanya akan menikah dengan wanita pilihan saya, Bu. Meskipun ibu dan ayah menentang. Jadi, Jaya permisi dulu sebelum ada kata-kata Jaya yang terdengar kasar." Jaya berdiri sebelum ada kata penolakan dari sang Ibu. Memeluk ibunya sebentar sebelum dengan langkah mantap meninggalkan ruangan VIP khusus yang sudah dipesan untuk pertemuannya dengan sang ibu.Kanaya menatap punggung Jaya dengan pandangan geram. Meraih ponsel di tangannya dan menekan sebuah nomer yang sudah dihafalnya."Selidiki dia lebih dalam lagi. Atur pertemuanku dengannya!" Suara Kanaya terdengar dingin sewaktu mengatakan hal itu."Tapi, harus melalui Nona Lolita kalau mau bertemu dengan gadis itu, berarti mengumumkan kepada dunia bahwa Nyonya Besar mempunyai masalah dengan Mayra." Jawaban dari seberang membuat wajah Kanaya semakin mengeras."Apakah kau terlalu bodoh sekarang? Bahkan untuk bertemu saja aku yang harus mengajarimu caranya?""Maafkan saya, Nyonya Besar. Saya akan mengatur pertemuan anda.""Lakukan secepatnya. Gunakan dana yang sudah aku kirim ke rekeningmu," tukas Kanaya."Baik, Nyonya. Saya akan lakukan perintah Nyonya."Kanaya berdiri dan melihat pemandangan kota yang tampak dari ruangan tempatnya berada."Kita lihat saja, Jaya. Siapa yang akan menyerah. Ibu tidak akan membiarkanmu! Seharusnya kau tahu itu!" gumam Kanaya dan berjalan anggun meninggalkan restoran.Jaya mengendarai mobilnya menuju perusahaan sang Ayah. Dia harus bisa mengambil hati ayahnya terlebih dahulu. Mungkin ayahnya nanti bisa membujuk ibunya. Itu yang menjadi harapan Jaya."Bagaimana kabar Ayah?""Baik, tumben sekali kamu datang kemari, Nak?" Bastian Mahendra, sang Ayah menyambut Jaya dengan pelukan penuh kehangatan."Apa kau sudah bertemu dengan ibumu? Bagaimana? Apa ada gadis yang menarik perhatian seorang Jaya Mahendra?" tanya Bastian mengedipkan sebelah matanya. Berbanding terbalik dengan sang ibu, ayah Jaya merupakan pribadi yang sangat ramah."Tidak ada yang aku suka. Aku akan mencari cinta dan calon istri sendiri, Ayah!" kata Jaya mantap. Dengan Bastian, Jaya lebih bisa bersikap santai.Perkataan Jaya membuat Bastian menatap Jaya untuk waktu yang lama."Asalkan gadis itu masih berada dalam lingkungan kita, ayah pasti akan menerimanya dengan senang hati."Ternyata ayahnya sama saja! Jaya pikir akan bicara mengenai Mayra kepada sang ayah, tetapi dengan segera Jaya mengurungkan niatnya. Bahkan Bastian sudah mengeluarkan ultimatum."Baiklah, Ayah. Aku permisi dulu. Aku ingat ada janji dengan klien satu jam lagi.""Hanya begitu saja? Kau tidak pulang ke Rumah?"Pulang ke Rumah? Kapan terakhir Jaya mendengar pertanyaan itu? Tidak, dengan kelainan yang dimilikinya, pulang ke rumah hanya akan menimbulkan masalah."Aku akan pulang sekali-kali, Ayah! Jaga kesehatan Ayah.""Ingat pesan Ayah! Jangan membuat malu nama baik keluarga Mahendra!"Jaya pikir setelah bertemu dengan sang ayah, maka masalahnya bisa terselesaikan dengan mudah. Seharusnya Jaya bisa menebak dari awal. Ayahnya pasti akan selalu mendukung apa yang ingin dilakukan oleh sang istri. Meskipun harus menghalangi kisah cinta putranya sendiri.Mobil yang Jaya kendarai berhenti di sebuah Taman Kota."Kenapa aku malah ke tempat ini?" gumam Jaya kepada dirinya sendiri. Dia membuka pintu mobil dan memutuskan untuk berjalan-jalan, barangkali pikirannya bisa jernih. Sekilas Jaya melihat bayangan Mayra yang melintas. Secepat kilat Jaya berlari mengejar gadis itu."Mayra!"Gadis itu menoleh dan ternyata bukan Mayra. Hanya perawakan tubuhnya dari belakang saja yang sama dengan Mayra."Ada apa denganku?" Jaya duduk di bangku Taman dan menekan pelipisnya. Bayangan Mayra ada di mana-mana. Seolah-olah mengejar Jaya untuk minta pertanggung jawaban."Pasti Mayra kesakitan sekarang! May, maafkan aku!"Keinginan hatinya untuk segera bertemu Mayra lagi semakin menggebu-gebu sekarang. Dia harus segera bisa mempersunting Mayra. Harus!"Bagaimana keadaan Mayra?""Masih belum terlihat keluar rumah, Tuan Muda. Kemungkinan masih sakit!"Jaya menutup ponselnya dengan gusar. Tentu saja masih sakit! Dengan perlakuan sekasar itu, tubuh lembut nan rapuh Mayra pasti sudah tumbang. Menyesal? Tentu saja. Namun, keinginan untuk bertemu Mayra masih begitu besar. Dia harus segera melaksanakan rencananya."Selamat sore, Tuan Jaya. Ada yang bisa saya bantu lagi?" Di ujung sambungan, Lolita dengan cepat menjawab."Saya ingin bertemu Mayra lagi. Apa bisa Nona Lolita mengaturnya untuk saya?"Untuk menghubungi Mayra, harus melalui Nona Lolita terlebih dahulu. Karena sampai berbusa pun, Mayra tidak akan mengangkat telepon selain dari Nona Lolita serta kerabat dekatnya. Hal itu Jaya ketahui setelah beberapa waktu melakukan penyelidikan."Kapan, Tuan Jaya?""Malam ini!" Perasaannya sudah tidak terbendung lagi. Harus segera dilampiaskan segera."Maaf, Tuan Jaya. Malam ini tidak bisa. Mungkin lain waktu atau besok saya bisa jadwalkan lagi, Tuan?" Ada nada khawatir dalam suara Lolita."Apa Mayra sudah pulih? Kenapa anda memberi Mayra pekerjaan lagi?" sergah Jaya gusar."Tidak, Tuan Jaya. Mayra sendiri yang meminta. Keadaan Mayra juga sudah membaik, berkat dokter yang tuan Jaya kirimkan," jawab Lolita, berusaha tegar dalam setiap kalimat yang dia ucapkan."Saya akan membayar dua kali lipat!" kata Jaya dingin, jelas terdengar di pendengaran Lolita."Maaf, Tuan. Kalau saya melakukan pembatalan ini, saya harus membayar penalty sebesar dua milyar," jawab Lolita.Dua milyar? Jumlah yang sangat fantastis. Itu berarti klien yang bertemu dengan Mayra berani membayar Mayra dengan jumlah satu milyar. Karena penalty yang dibebankan berjumlah dua kali lipat dari jumlah jasa yang dibayar.Tanpa sadar, Jaya mencengkeram ponselnya. Siapa yang mengeluarkan uang begitu banyak untuk Mayra?"Saya akan mengirim uang itu sekarang ditambah dengan uang pelayanan malam ini. Nona Lolita bisa bayarkan dendanya!" kata Jaya tegas. Perkataan yang membuat nona Lolita di ujung sambungan hanya bisa terbelalak semakin lebar mendengar hal itu.Jaya tersenyum dan memeluk Mayra dari belakang dengan mesra. Dia sama sekali tidak peduli dengan adanya Madam Sonia yang masih berada di hadapan mereka."Apa maksudnya, Sayang?" tanya Mayra kepada Jaya."Apa tadi yang aku dengar? Kamu mengatakan bahwa ada yang tidak boleh aku tahu. Ah! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Sayang." Jaya dengan lembut bertanya kepada Mayra. Madam Sonia yang mendengar pertanyaan Jaya hanya bisa tersenyum kaku. Mayra tersenyum lembut dan menangkap tangan Jaya lalu menariknya kehadapannya dengan penuh kelembutan."Sayang, kau pasti mendengarnya hanya sepotong saja. Tapi ... memang benar ada yang aku rahasiakan darimu," kata Mayra menatap Jaya dengan jenaka. Jaya kembali memandang Mayra dengan gemas. Kalau tidak ada Madam Sonia disana, pasti dia akan menggendong Mayra ke kamar mereka dan melucuti pakaiannya langsung. Apalagi ekspresi Mayra sungguh membuatnya menahan sesuatu yang bergelora di dalamnya."Sayang!" tegur Mayra keras, melihat Jaya yang te
"Bagaimana kandunganmu, May?" tanya Kanaya kepada Mayra ketika putra dan menantunya itu berkunjung ke rumah. "Cukup baik, Ibu. Kami, terutama calon cucu ibu tumbuh dengan baik di dalam sana," jawab Maira tersenyum. Setidaknya dia sudah bisa menerima fakta bahwa dia memang benar hamil anak Jaya, buah hati mereka berdua. Dia harus melupakan misinya itu dan harus menerima keadaan dengan sepenuh hati. Bukan! Bukan sepenuh sebenarnya karena Mayra sendiri masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Maira teringat lagi dengan pertanyaannya yang dijawab Jaya dengan senyuman penuh misterius."Aku rasa kita sudah pernah membicarakan tentang hal ini. Apa kau lupa. Apa yang kau tunggu? Kau bisa melakukannya sekarang juga," kata Jaya sambil membuka bajunya. Pada saat itu yang tampak di mata Mayra adalah tubuh Jaya yang kokoh dan dada bidangnya sungguh membuat Mayra tergoda. Ternyata dia sebagai wanita juga tidak bisa membiarkan pesona menggoda di hadapannya itu. "Aku hanya berc
"Siapa yang coba kau lindungi?" Suara teriakan Jaya ditambah dengan cambuk yang terkena kulit, menimbulkan kengerian luar biasa bagi yang mendengarnya.Pria itu hanya menyeringai sinis mendengar pertanyaan Jaya. Namun, tidak ada sedikitpun gelagat dia akan menjawab pertanyaan Jaya. "Dengarkan aku! Kau akan mati perlahan kalau tetap membisu! Tidak! Kematian terlalu bagus untukmu! Aku akan menyiksamu perlahan sampai kau juga ingin kematian. Begitu lebih baik!" kata Jaya dingin. Dia memberi isyarat kepada penjaga kamar hukuman agar melanjutkan siksaan bagi pria itu. Pria yang telah menembak Mayra. Sedangkan orang yang mulai membuat kekacauan masih belum ditemukan. "Bagaimana kamera pengawas?" "Semua berjalan normal, Tuan. Tidak ada yang bertingkah mencurigakan bahkan semua orang sudah kami awasi satu persatu." Andrian yang maju menjawab."Berarti ada pengkhianat dari dalam. Siapa yang berani mengkhianatiku?" gumam Jaya."Tuan, kami menyampaikan informasi baru," kata pengawal lain yan
Mayra menatap Jaya dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Apa yang dimaksud Jaya?"Tahu tentang apa, Sayang?" tanya Mayra. Dia mencoba menutupi perubahan wajahnya. Dia tahu pasti, Jaya tidak akan tinggal diam jika tahu tentang semua yang dia sembunyikan."Orang tuamu dan semua tetangga akan pulang besok. Aku belum memberitahukan tentang keadaanmu," jawab Jaya mengalihkan pembicaraan. Dia masih mengusap lembut tangan Mayra yang bebas."Ah, tolong jangan beritahu mereka. Kejadian di pesta tadi pasti sudah membuat mereka khawatir.""Tentu, sesuai permintaanmu. Dan kau harus lebih menjaga diri lagi. Ada nyawa lain di dalam tubuh ini," kata Jaya mengusap selimut Mayra yang menutupi perutnya. "Ka—u, apa maksudmu, Sayang?" Mayra menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Sesuatu yang ingin ditutupinya ternyata harus terbongkar juga."Jangan ditutupi lagi. Kau tidak ingin menjalani kehamilan dengan nyaman? Dengan perhatian dari suamimu ini?" Jaya menatap wajah Mayra dengan penuh kelembutan."Da
Jaya tidak bisa mencegah ketika badan Mayra dengan gagah berani menghadang peluru yang hendak ditembakkan kepadanya. Bahkan pengawal yang seharusnya menjadi pasukan berani mati dan siap menjalani resiko apapun hanya bisa terpaku di tempatnya. Mereka sama-sama terdiam ketika melihat kejadian yang begitu cepat. Untungnya di detik terakhir, Ava sempat mendorong badan Mayra sehingga peluru yang hendak menembus jantung Mayra meleset dan hanya mengenai bahu bagian atas. Meskipun begitu, pasti rasanya sakit sekali. Darah yang mengucur ditambah dengan Mayra yang pingsan sudah cukup menjadi jawaban. Jaya menghampiri Mayra yang pingsan dan terkulai lemah di dalam pelukan Ava. Gaunnya yang berwarna putih tulang sudah berubah warna sekarang. Darah itu cukup pekat, membuat Jaya ketakutan."Minggir, Ava, biar aku yang menggendong istriku," kata Jaya menahan amarah. Dia akan pastikan orang yang melakukan ini akan menerima akibatnya. Beraninya dia melukai Mayra di depan matanya sendiri! Pengawal ya
Suara tembakan itu berdesing ke atas, tepat ke arah lampu gantung yang menghiasi pelaminan tempat Jaya dan Mayra sedang duduk. Jaya dengan cekatan mendorong Mayra ke samping tepat ketika lampu itu akan jatuh menimpa mereka. Suara teriakan sudah terdengar ditambah dengan kesibukan pihak WO dan pengawal keluarga Adiguna menenangkan para tamu."Sepertinya ada yang membuat kekacauan dan menganggu acara makan istriku," gumam Jaya kesal. Mayra menatap serpihan lampu gantung yang hampir saja mengenai mereka kalau Jaya tidak sigap menghindar. Sepertinya sekarang waktunya untuk beraksi. Mayra mencoba mengambil pisau yang ada di balik bajunya, tetapi tangan Jaya lebih cepat menahannya."Tidak baik bagi mempelai bermain dengan benda tajam!" kata Jaya tegas. Ada riak tanda terkejut di sinar mata Mayra. Bagaimana Jaya bisa tahu apa yang hendak Mayra lakukan? Dia menarik tangannya kembali dan fokus kepada Jaya. Bahkan dia mengabaikan apa yang terjadi di sekelilingnya. "Bawa keluarga istriku ke te