Share

BAB 4- Ubah Strategi

“Nggak ada. Siapa yang aku datangi? Emang Sayank curiganya sama siapa?”

“Ya sebut aja siapa perempuan yang sedang Sayank dekatin.”

“Detrin?” ia menyebut nama perempuan yang pernah ia kenal lewat chat dan dulu ia ceritakan padaku. Ia pasti sengaja menyebut nama yang tak ada hubungannya sama sekali.

“Nggak tahu. Tapi bukan. Dia orang dekat kok.” Sindirku, kupikir ia akan sadar kalau yang dimaksud adalah Riya.

“Siapa ya?” tanyanya berlagak pilon. Sambil memandang ke langit-langit rumah, seolah jawabannya ada di sana.

“Sayank akrab sama dia, suka bercanda dan godain dia.”

“Siapa? Riya?”

DHESSS... Akhirnya ia sebut juga nama itu.

“Oh jadi Riya orangnya?”

“Nggak. Bukan. Aku nggak ngerti apa maksud Sayank. Katanya yang suka bergurau dengan aku, orang dekat. Aku Cuma asal sebut aja nama Riya.”

Aku mengurut pelipis. Tidak bisa seperti ini! Selagi aku tak punya bukti akurat yang bisa membuatnya mati kutu dan mengaku sendiri, selagi itu pula ia akan mati-matian menutupi sampai akhir. Kalau hanya sekedar mengandalkan omongan perempuan itu, bisa saja mereka nanti mengelak dan bahkan balik menyalahkanku.

Tapi, aku juga jadi ragu sendiri, apa benar dengan apa yang dikatakan Riya? Atau itu hanya untuk membuat hubunganku dengan Bang Roni merenggang? Tapi buat apa?

Selama ini aku mengenal Riya adalah orang yang baik dan dermawan. Ia suka memberi dan berbagi bahkan bukan hanya denganku, tapi juga dengan orang lain. Riya sosok orang ramah yang gampang akrab dengan orang baru, berbeda denganku yang agak tertutup dan pemalu.

Aku hanya bisa akrab dengan orang-orang yang bisa membuatku nyaman. Dan belakangan ini, aku cukup akrab dengan Riya, sejak ia sering meminta aku memasak dan menjaga anak-anaknya.

Hanya saja, memang sudah sejak lama aku melihat gelagat lain dari Riya setiap kali bertemu dan berbicara dengan Bang Roni. Ia terlihat caper dan gurauannya selalu mengarah ke topik-topik tentang cinta.

Suamiku yang memang suka bercanda, jadi terlihat keasyikan setiap kali meladeni banyolan Riya. Aku kadang hanya tersenyum melihat betapa akrabnya mereka. Tak sedikit pun curiga, karena memang mereka adalah sepupu kandung. Mertua perempuanku adalah adik dari Ibu Riya yang biasa kupanggil Bi Surani.

Bukan hanya itu saja, setiap kali kami ada acara kumpul keluarga besar, di saat baru datang dan tiba giliran Bang Roni bersalaman dengan Riya, perempuan itu selalu menyodorkan tangan menyuruh suamiku untuk mencium tangannya. Meski dibalut gurauan, aku tahu kalau itu seperti ia mengharap tangannya dicium, karena mungkin ia pernah melihat Bang Roni mencium punggung tanganku setiap kali mau bepergian ke mana-mana.

Pernah juga, saat lebaran kami menumpang mobil baru milik Riya untuk bersilaturahmi ke rumah keluarga yang lain. Bang Roni yang memang mahir mengemudi diminta untuk menyetir. Anehnya, Riya menyuruhku untuk duduk di kursi belakang bersama Bang Sarip suaminya. Sementara ia duduk di depan, bersama suamiku. Dan bisa kulihat betapa cerianya ia selama duduk di samping Bang Roni yang sedang menyetir, seolah-olah mereka adalah pasangan suami istri.

Feeling perempuan itu tak pernah salah. Aku tahu kalau Riya sudah menaruh hati sejak lama dengan Bang Roni. Tapi tak kuambil pusing. Aku justru saat itu bangga. Karena berpikir, wajah manis suamiku itu bisa membuat banyak wanita yang kelepek-kelepek. Artinya, aku adalah wanita beruntung yang bisa mendapatkannya.

Tapi kini, akibat aku yang terlalu santai dan lengah, aku kecolongan. Kalau memang benar apa yang diakui Riya, berarti ini semua terjadi juga karena kesalahanku.

“Jadi bener, Sayank lagi nggak ada hubungan dengan perempuan lain?” tanyaku dengan nada mulai menurun. Kini aku akan mengubah strategi. Karena cara sebelumnya tak akan berhasil.

“Nggak. Aku Cuma sayang dengan istriku.” Jawab Bang Roni sambil merangkul tubuhku. Tapi cepat ku lepas.

“Kok dilepas? Nggak mau dipeluk? Nanti aku diambil orang loh.” Guraunya.

“Aaaambillaah...” ujarku dengan nada cuek. “Kulepaskan kalau emang ada yang mau.”

“Kok gitu sih? Emang nggak sayang lagi sama aku? Nggak mau mempertahankan aku?” tanyanya seperti kaget dengan jawabanku.

“Kalau Sayank begitu gampang diambil orang, bukan berarti orang itu hebat. Tapi emang dasar Sayank aja yang gampang diambil. Kalau berkeras mau bertahan, nggak mungkin semudah itu diambil orang kan? Jadi untuk apa aku mati-matian mempertahankan orang yang udah nggak mau bertahan denganku? Lebih baik kuberikan sekalian.”

Bang Roni tercengang mendengar jawabanku. Namun kemudian ia terlihat sudah kembali berusaha tersenyum.

“Awas nangis.” Oloknya.

“Kalau melepas duri yang menyakitkan udah pasti nangis. Tapi aku yakin nangisnya nggak akan lama. Yang penting, duri itu cepat menunjukkan diri, jadi aku tahu kalau punya luka.” Sindirku dengan bahasa puitis.

“Nggak ngerti.” Kata Bang Roni.

Aku tersenyum. “Aku ingatkan ya Sayank. Kalau memang sekarang sedang mengkhianatiku, cepat ngaku. Biar gampang aku ambil keputusan. Siapkan aja uang untuk aku pulang kampung.” Kataku ketus.

“Tapi aku nggak selingkuh.”

“Ya syukur kalau nggak. Tapi ingat, Allah akan menunjukkan padaku bagaimanapun caranya.”

“Masa’ kalau aku selingkuh Sayank mau pulang?”

“Iyalah. Ngapain aku di sini kalau Sayank punya cinta yang lain? Kalau Sayank berani selingkuh, hanya ada dua pilihan.”

“Apa tuh?”

“Hubungan kita selesai dan aku kembali ke orang tuaku....”

“Nggak boleh!” potongnya. Padahal aku belum sempat menyelesaikan kalimatku.

“Kalau nggak mau pisah sama aku, maka kupastikan aku akan melakukan hal yang sama.”

“Sayank mau selingkuh juga?”

Aku menyeringai. “Iya dong. Biar Sayank juga merasakan gimana sakitnya diduakan. Dan merasakan gimana rasanya saat tahu pasangan kita mencium orang lain selain kita.” Sindirku.

“Untung aku nggak selingkuh.” Katanya enteng.

Aku hanya tersenyum kecil. Oh ya? Kita lihat saja. Aku akan coba membuktikan sendiri kebenaran omongan Riya. Setidaknya aku harus melihat, gerak-gerik Bang Roni beberapa hari ini. Untuk sementara, aku akan berpura-pura bodoh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status