Waktu menunjukkan pukul 8 malam, empat sahabat karib Damien - Tyler, Nathalie, Dona, dan Tessa - baru saja kembali dari rumah sakit setelah menemani Bianca dan Livia.Mereka memasuki lobby mewah Diamond Rose Hotel, langsung menuju restoran elegan di lantai satu. Begitu memasuki restoran, mereka terkejut melihat Luca, putra Damien, tertawa riang dan berlari kecil mengitari area makan, ditemani oleh Julian dan Carol, orang tua Damien.Luca, menyadari kedatangan mereka, berlari menghampiri dengan semangat. Tyler, dengan spontan, mengangkat dan menggendong bocah itu dalam pelukannya."Paman Tyler! Ini Hotel ayah, besar sekali!!" seru Luca bersemangat, matanya berbinar penuh kekaguman."Iya, dan ayahmu masih punya banyak hotel seperti ini, di tempat lain," tambah Tyler, membuat Luca semakin bersemangat.Sambil menggendong Luca, Tyler didampingi Dona, berjalan menghampiri Julian dan Carol, yang menyambut mereka dengan hangat. Dona memeluk Julian dan Carol bergantian, menunjukkan kasih sayan
"Ahh... Chiara, kamu terasa begitu sempurna," desahnya pelan, suara yang membuat Chiara merasa seperti meleleh.Chiara mengatur napasnya, menatap wajah Damien, mata mereka bertemu dalam kilasan nafsu dan keintiman. Dia lalu memberikan anggukan pelan, memberi tanda jika ia sudah siap dengan aksi Damien selanjutnya.Damien tersenyum, senyum yang penuh dengan janji kenikmatan. Ia mulai bergerak, pinggulnya mengayun pelan namun pasti, setiap gerakan membuat Chiara merasa seperti terdorong ke puncak kenikmatan."Oooh... Dami," erang Chiara, suaranya naik turun seiring dengan gerakan Damien. Keringat mulai membasahi kulit mereka, menciptakan kilau yang memantulkan cahaya lembut dari lampu kamar."Dami, lebih cepat... sedikit lagi," rintih Chiara, tangannya meremas tangan Damien lebih kuat, seolah meminta lebih.Damien tersenyum, giginya menggigit bibir bawahnya, tanda bahwa dia juga sudah di ambang. Ia mempercepat gerakannya, setiap hentakan membuat Chiara merasa seperti melayang."Ahh, Chi
Matahari senja memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti ruangan, menciptakan suasana hangat dan intim. Chiara terbaring di tempat tidur, tubuhnya terekspos tanpa penghalang apapun. Dia menatap Damien, yang berada di depannya dan terus menatap dirinya dengan tatapan jahil.Napasnya perlahan mulai teratur, setelah ledakan puncak yang ia dapat berkat permainan bibir Damien yang begitu liar. Setiap hembusan napasnya kini terasa lebih tenang.Di depannya, tangan Damien bergerak lincah, melepas dasi dengan gerakan yang penuh percaya diri. Pria itu lalu membuka kancing kemejanya, memperlihatkan singlet putih yang menempel di tubuhnya, menonjolkan lekuk tubuhnya yang kini tidak begitu atletis, namun tetap membuat Chiara terpesona.Tatapan pria itu terus mengunci wajah Chiara, yang sejenak tadi terlihat menantang. Ia membuka singlet putih yang menempel pada tubuhnya. Dan, saat tangannya bergerak turun, membuka ikat pinggangnya, wajah Chiara kembali merona.Ketika Damien mulai melepas celana
Damien dengan lembut membaringkan tubuh Chiara di atas tempat tidur, dengan kedua pupil birunya terpaku pada wajah Chiara, menangkap setiap ekspresi yang muncul. Chiara tersipu malu, pipinya memerah, membuat Damien tidak bisa menahan senyum nakal."Ekspresi ini yang begitu kurindukan," gumamnya, merayu dengan suara rendah sambil menatap lebih dalam ke mata Chiara, menikmati setiap kilasan emosi.Wajah Damien perlahan-lahan mendekat, tangannya dengan lembut meraih dagu Chiara, jemarinya mengelus pelan. Ia lalu mengangkat dagu Chiara, membuat mata mereka bertemu.Lalu, dengan gerakan yang lembut, ia mendaratkan bibirnya di bibir Chiara. Ciuman yang awalnya lembut perlahan-lahan semakin dalam, mengungkapkan semua emosinya yang terpendam.Damien mengulum bibir Chiara, dengan lembut namun penuh gairah. Bibirnya bergerak pelan, memijit dan memainkan bibir Chiara, membuatnya terbawa dalam arus keintiman yang mendalam.Nafas Chiara semakin berat, ia mencoba mengimbangi pergerakan bibir Damien
Cahaya sore yang keemasan merembes lembut melalui jendela kamar tidur, membelai wajah mungil Luca yang tengah tertidur pulas. Selimut putih tipis menutupi sebagian tubuh mungil anak berusia tujuh tahun itu, bergerak naik-turun mengikuti irama napasnya yang teratur.Perlahan, kelopak mata Luca bergetar. Mata birunya terbuka, masih samar dan bingung. Seketika, raut wajahnya berubah, menunjukkan keterkejutan. Ini bukan kamarnya. Bukan tempat tidur yang biasa ia kenal. Dinding-dinding asing, aroma ruangan yang berbeda, membuat anak kecil itu sejenak merasa asing.Di sisi ranjang, dua sosok dewasa duduk dalam diam. Carol, seorang wanita berusia pertengahan lima puluhan, dengan rambut hitam yang mulai diwarnai beberapa utas warna keperakan, menatap Luca dengan campuran gugup dan harap-harap cemas. Di sampingnya, Julian, suaminya, pria tegap berusia enam puluhan dengan tatapan lembut, ikut memperhatikan cucu yang baru pertama kali mereka temui."Hai, sayang," Carol memulai dengan suara berge
“Maaf, Ibu,” ujar Chiara sambil tersenyum malu. “Sebenarnya aku sudah memikirkan baik-baik bagaimana harus bersikap saat bertemu kalian. Aku ingin memberikan kesan yang baik, tapi malah begini jadinya,” lanjutnya, tersenyum sambil sesekali mengusap wajahnya yang sedikit memerah.Carol tertawa kecil mendengar kata-kata jujur calon menantunya. Ia mengambil tisu dari meja, lalu kembali menyeka sisa air mata Chiara dengan lembut. “Kesan baik seperti apa yang kamu maksud, hm?” goda Carol.Chiara menggigit bibirnya, memutar otak mencari jawaban. Setelah berpikir sejenak, ia melirik Damien, berharap pria itu membantunya menjawab. Namun, Damien hanya menutup mulutnya, berusaha menahan tawa sambil memalingkan wajah.Melihat sikap Damien yang menahan tawa, Chiara langsung memicingkan matanya, wajahnya berubah cemberut. “Ish... tidak bertanggung jawab,” gumam Chiara sambil memandangi Damien dengan tatapan mengancam yang justru membuat Carol tertawa.Gemas melihat ekspresi Chiara yang merajuk, Ca