"Boleh aku tahu wanita seperti apa yang jadi idamanmu, Kapten?"
Arthur hampir tersedak es krimnya sendiri saat mendengar pertanyaan itu diberikan padanya, secara tiba-tiba sekali.
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Begitu saja, dilontarkan oleh sosok yang diam-diam menempati hatinya.
Lama pria itu menatap wanita idamannya, tanpa mengatakan apapun. Bibirnya kelu, ingin mengutarakan yang sebenarnya tapi tahu batasan.
Bahwa kejujurannya, mungkin akan menimbulkan masalah, nanti.
"Nona," jawab Arthur, setelah diam cukup lama.
Lintang membulatkan matanya. "A-aku?"
"Ada noda es krim. Mau saya bersihkan atau dibersihkan sendiri?" sambung Arthur, benar-benar menyebalkan dengan tingkah polosnya.
Menatap lekat ujung bibir Lintang, ranum, cantik sekali.
Untuk beberapa saat, Lintang mengira bahwa balasan itu memang diperuntukkan sebagai jawaban dari pertanyaannya. Tipe wanita idaman Arthur.
Rupanya bukan.
"Aku bisa bersihkan sendiri!" ucapnya, terdengar kesal, menghentak. "Kenapa tiba-tiba membahas es krim saat aku bertanya serius, sih? Tidak bisakah pokus pada pertanyaanku saja?"
Arthur yang merasa biasa saja dan tidak mengerti sama sekali dengan kode itu hanya mengangguk.
"Aku mau pulang!" tukas Lintang, mengakhiri sesi kabur hari ini. Tepat usai membersihkan es-krim dan menghabiskannya sekaligus.
"Sekarang juga, Nona?"
"Menurutmu?!" Wanita bergaun putih itu bangkit, tanpa ba-bi-bu segera melangkahkan kaki menjauh dari pria yang ingin sekali diterkamnya kali ini.
Mood wanita itu hancur seketika saat Arthur membuatnya melayang ke awan kemudian dijatuhkan begitu saja.
Jahat sekali.
Di satu sisi, Arthur yang ditinggalkan begitu saja hanya bisa menatap kosong ke arah perginya wanita cantik itu.
Arthur tahu apa yang ingin Lintang dengar dari bibirnya, pria itu paham sekali.
Hanya saja menurutnya ini salah.
Lintang bukan seseorang yang bisa ia katakan sebagai idamannya. Dirinya terlalu sempurna bagi Arthur.
***
Sesampainya di rumah, sang Nona yang mendadak ngambek membuat Arthur harus menghadap pada Candra seorang diri, ayah Lintang.
Ia harus menjelaskan apa yang terjadi, mempertanggung jawabkan kesalahannya telah menculik VIP selama dua jam, tanpa pemberitahuan apa pun.
"Kau membawa Lintang kemana?" tanya Candra, suara baritonnya tegas. Penekanan konsonan kata dalam kalimatnya masih terdengar bagai prajurit.
Arthur menjawab pertanyaan Candra dengan memberinya penjelasan sedetail mungkin, namun tak bertele-tele.
Candra ingin acuh karena ia sangat percaya pada Arthur, tetapi sayangnya Yasmin terlihat tak menyukai itu.
Berulang kali istrinya mengatakan agar tegas pada pengawal putrinya ini. Harus bisa membedakan yang mana tugas, yang mana batasan besar diantara keduanya.
Pria bertubuh tegap itu mendekat pada Arthur, berbisik serius. "Kenapa kau melakukannya? Membawa Lintang diam-diam. Kau tahu ini salah, 'kan?"
"Kau tahu benar tidak boleh sampai menimbulkan keraguan di keluargaku, Arthur. Meskipun aku sangat percaya padamu, jangan sampai hal seperti ini terus terulang." Candra memperingati.
"Ini terakhi kalinya." Menepuk pundak Arthur, Papa Lintang itu pergi dengan helaan napas panjang.
"Tugasmu hanya mengawasi dan melindungi Lintang, Kapten," timpal Yasmin, masih berada di sana. "Bukan menculiknya apalagi membawanya pergi tanpa sepengetahuan siapapun!" sungut Ibunda Lintang itu, jengah.
Wanita ini terlihat masih tidak puas meski suaminya sudah menegur kesalahan Arthur. Ia ingin secara langsung berkomentar juga.
Dengan dua tangan di dada, menatap lurus pada prajurit handal ini. "Bagaimana jika terjadi sesuatu saat kalian bersama? Siapa yang bisa pastikan Lintang akan baik-baik saja selama pergi denganmu?" seloroh Yasmin, masih terus menyerang Arthur.
"Orang-orang memang tahu kau hebat, kemampuanmu tidak diragukan. Tetapi bukan itu maksudku, melainkan hal yang lainnya. Kau paham, 'kan, Kapten?"
"Tolong jangan dekati Lintang," lanjut Yasmin, mengakhiri.
Sementara tidak ada kalimat bantahan atau protes dari Arthur yang sejak tadi terus mendapatkan kritik dari kedua orang tua VIP yang ia jaga.
"Hal seperti ini saya pastikan tidak akan terulang. Maaf atas keteledoran saya hari ini. Nona Lintang ke depannya, saya akan lebih berhati-hati," kelakarnya, melontarkan janji.
Tidak ada pilihan lain bagi Arthur selain mengaku dan meminta maaf, agar urusan tidak jadi panjang dan Lintang juga aman.
Posisinya sebagai pengawal pribadi Lintang membuatnya lebih paham mengenai apa yang jadi keinginan nonanya tersebut.
Sayangnya, meski pun tahu, Arthur tidak bisa memberi banyak.
***
"Kau dimarahi lagi?" tanya seorang teman, saat keduanya sedang berjaga tepat di depan kamar Lintang. "Aku dengar ada keributan saat kalian datang."
Arthur hanya memejamkan matanya, mendongak ke langit-langit. "Tetapi saya tidak menyesal, Bram. Nona Lintang, dia pantas dapat waktu istirahat setelah melakukan rangkaian kegiatan padat di hari-harinya yang melelahkan."
"Tapi tidak harus bersama kau, Arthur." Pria yang dipanggil Bram menyahut kembali. "Tidak ada di daftar tugas, mengharuskan dirimu memberinya waktu istirahat itu."
"Tugasmu hanyalah —"
"Mengawasi dan melindunginya," Arthur menimpali cepat, belum Bram selesai bicara.
Perlu berapa kali orang-orang mengingatkan soal tugasnya?
Ia tahu, ia paham sekali.
"Memang apa salahnya, Bram?"
Bram menyipitkan matanya. "Kau belum dengar rumornya? Bahwa Nona Lintang menyukaimu?" selidik pria itu, menatap lekat, membaca perubahan raut wajah sang rekan.
Arthur mengerjap, terlalu mendadak baginya mendengar ini dari Bram. "Apa maksudmu?" tanyanya balik, tidak begitu saja mengiyakan.
"Nona Lintang terlihat dekat dengan pengawal pribadinya. Nona Lintang dikabarkan selalu bertindak perhatian pada Kapten tim yang menjaganya."
"Kabar seperti itu kau belum dengar?" Sekali lagi, Bram memastikan. "Jujur padaku, Kapten. Kau belum dengar rumor yang tersebar?"
Sepertinya pria itu mencurigai sesuatu. Arthur nampak waspada.
Selama ini, hanya dirinya sendiri, tidak ada yang tahu bahwa ia menyukai Lintang. Dan akan selalu seperti itu.
Arthur tidak ingin sampai ada yang menyadari mengenai perasaannya.
Pertama, karena takut cintanya bertepuk sebelah tangan.
Kedua, karena status sosial mereka yang jelas saja berbeda.
Sekali lagi, Lintang bukan orang yang ditakdirkan bersama dengannya, sampai kapan pun.
"Saya tidak tahu menahu soal rumor! Saya juga tidak tertarik, Bram," kata Arthur, memberi komentar pada pernyataan yang baru saja Bram sampaikan.
Bram awalnya tidak ingin langsung percaya, ia menatap lama dulu pada rekan yang berpangkat lebih tinggi darinya ini. "Kalau begitu, kau harus tahu."
"Dengar, Kapten. Bagi seorang prajurit seperti kita, tugas adalah bagian dari jiwa. Keberadaan kita di sini hanya untuk melindungi VIP, mengorbankan diri, jika diperlukan."
"Bukan untuk menaruh rasa padanya, menyukainya, terlihat dekat atau membantunya dengan melibatkan perasaan. Kau mengerti maksudku, 'kan?" Panjang lebar Bram menjelaskan.
Bukan mencoba untuk menggurui, sama sekali tidak. Ini ia lakukan sebab tidak ingin Arthur mengalami kesulitan selama menjalani bagian dari misi dan tugasnya.
Sebagai pengawal pribadi keluarga Adiwilaga.
Sebatas itu, tidak lebih.
***
"Kode satu, Tim Alfa, masuk. Kapten Arthur," earpiece yang terpasang ditelinga membuat Arthur dengan ligat menjawab panggilan.
"VIP Kabur?!"
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari