Pria dengan seragam anti peluru itu menyipit, fokus pada tujuan di depan sana. Bukan hanya membaca semilir angin, namun target yang berdenting di arah ratusan meter juga ikut jadi pertimbangannya.
Ritme gerakan, suara, detik-detik sebelum ...
Duar!
Tembakan dilepaskan.
"Yash!" pekik Arthur, puas. Mengepalkan tangan dengan perasaan lega sebab berhasil melumpuhkan target.
Seseorang menepuk pundaknya dan tersenyum lebar, entah sejak kapan berada di sana.
"Kemampuan menembak jarak jauh kau makin bagus, Arthur. Pertahankan!" tukas sosok itu, berkomentar bangga.
Menyaksikan secara langsung anak asuh yang telah tumbuh menjadi pentolan di pasukan ini membuatnya tak bisa berhenti kagum.
Yang dipuji melengkungkan senyuman tipis.
"Kau terus berlatih walau libur?"
"Saya masih harus terbiasa melakukannya diantara gelap, Komandan. Ini bukan apa-apa," balas pria itu, merasa sungkan menerima penghargaan dengan satu bakat saja.
Komandan mengangguk.
"Sebagai seorang prajurit, cepat puas adalah kebiasaan yang harus dihindari. Bagus kau mengerti itu."
Jika mampu menembak target jarak jauh, maka tidak hanya punya keahlian itu, anggota pasukan khusus seperti Arthur dididik punya kemampuan mumpuni lainnya.
Menembak dalam gelap, misalnya. Baru dikatakan luar biasa.
"Bagaimana tugasmu di gedung biru? Kau ada dapat kesulitan selama di sana?" tanya Komandan, berceletuk tiba-tiba.
Arthur yang dapat pertanyaan spontan merubah raut wajahnya, senjata yang ia gunakan menembak disimpan kembali. "Ya begitulah, Dan."
"Kau tak suka di sana?" selidik sang senior.
"Siap, suka Komandan!" Arthur menjawab tegas, sedetik kemudian lesu kembali.
"Lalu?"
Pria yang bergelar komandan itu penasaran, meletakkan kedua tangannya di pinggang seraya memerhatikan lamat-lamat prajurit andalnya satu ini.
Kenapa Arthur punya keraguan saat ditanya suka atau tidak bertugas di sana?
"Kau ditugaskan jaga VIP, 'kan? Ada masalah? Ada tindakan yang kau curigai?" Sang Komandan memberi kesempatan juniornya ini mengajukan keluhan, Komandan itu berharap Arthur jujur padanya.
Sayangnya, dia enggan memperpanjang topik, Arthur justru menggeleng, usai menghela napas pria itu bertekad, menjawab tanpa ragu. "Tidak ada, Dan! Semuanya aman, terkendali."
Arthur Rivaldo Gibson. Seorang prajurit yang kali ini ditugaskan menjaga orang-orang penting berdarah biru sebagai pimpinan pasukan khusus untuk senantiasa mengawal aktivitas para VIP itu membantin.
Bukan soal musuh, hal lain membuatnya berat dalam menjalankan tugas.
"Arthur!" Komandan berteriak sebelum pria itu kembali ke tempatnya bertugas.
Dengan raut wajah tegas, memerintah, "Ingat! Kau tak boleh melibatkan hatimu dalam misi kali ini. Kau paham?!"
Soal hati.
Arthur tak bisa berkata banyak. Hanya berusaha membentengi dirinya, tetap jadi si kaku dan dingin pada siapa saja.
Tugasnya kali ini, akan sangat berbeda dengan tugas militer mana pun.
***
Melihat Lintang berpakaian bak seorang putri usai menghadiri acara pertemuan kenegaraan saja membuat Arthur mempertanyakan debaran di jantungnya.
Apa ini normal?
Apa ini hal yang wajar?
"Apa akan ada iring-iringan?" bisik Lintang, mengajukan pertanyaan pada pengawal pribadi yang memiliki tubuh tegap nan tinggi itu.
Arthur membalas sesingkat mungkin. "Presiden memberi pasukan tambahan agar Nona sampai dengan selamat, sebagai ucapan terima kasih."
Lintang cemberut, menekuk wajahnya sebal. Ia tak suka keramaian yang diciptakan hanya untuk mengantarnya sampai ke rumah.
Seperti orang penting saja.
"Untuk apa? Kan sudah ada kamu di sini," selorohnya, menolak perlakuan istimewa yang tidak didapat sembarang orang. "Huftt, perjalanan ini akan terasa melelahkan."
"Perlu menepi dari pengawalan, Nona?" Arthur mengajukan ide, wajahnya sangat datar saat mengatakan itu.
Merasa ada seseorang di pihaknya, Lintang tersenyum bahagia.
Arthur memang yang terbaik dari yang paling baik!
"Kamu yakin bisa pergi dari iring-iringan itu?" Lintang yang duduk dengan menggemaskan di dalam mobil mengamati pengawal tampannya ini, terpesona.
Hanya berselang sedetik, Lintang mendengar kabar baik.
"Beristirahatlah. Kita pergi satu menit lagi," ucap Arthur, menjawab keraguan Lintang tanpa keberatan.
Arthur tahu tindakannya akan menimbulkan kericuhan besar untuk beberapa saat hilangnya Nona muda dari radar jelas menimbulkan kepanikan bagi semua orang yang bertugas mengawalnya tetapi, ia tetap tidak akan menyesal melakukannya.
Demi Lintang.
Wanita yang selalu merasa tak nyaman bila jadi pusat perhatian. Yang tidak pernah punya waktu istirahat sebab dituntut mengerjakan banyak hal, sebagai orang penting.
"Kapten," bisik Lintang, kedua matanya tertutup sempurna, suara lirihnya menegaskan ia begitu letih. "Aku ingin tidur sebentar saja."
"Kenapa di dekatmu aku selalu ingin tidur?" Wanita dengan gaun putih itu terus berceloteh, menandakan ia hampir terlelap.
Meringkuk, tubuh mungilnya bisa nyaman di mana pun asal dekat dengan pria ini. "Apa karena aku nyaman di dekatmu?" Katanya, lagi.
Menimpali kalimat sebelumnya dengan meracau. "Atau karena aku mencintaimu?"
Arthur terbatuk saat kalimat wanita ini menyentuh indranya. Kata-kata asing yang seharusnya tidak dilontarkan dengan mudah.
Apa Lintang tidak sadar dengan yang baru saja ia katakan?
Mengapa begitu mudah baginya mengutarakan perasaan di hadapan Arthur, orang yang tidak sepatutnya menerima pernyataan cinta itu.
Selain pandai dalam bertarung dan menggunakan senjata, Arthur juga pandai mengemudi. Ini yang membuatnya jadi kepercayaan Komandan untuk mengemban tugas mengawal keturunan Adiwilaga, Lintang Candraningtyas Adiwilaga.
Lintang bergumam, sulit baginya membedakan yang nyata dan mimpi. "Sudah berapa lama aku tidur?" tanya wanita itu, penasaran.
Arthur melirik sekilas, menebak bahwa Lintang pasti akan terkejut saat ia mengatakan hampir dua jam lebih sang Nona tertidur di dalam mobil.
Candra Adiwilaga adalah mantan Komisaris angkatan bersenjata yang begitu dihormati, putrinya menjadi VIP dimana penjagaan yang melibatkan Lintang senantiasa diprioritaskan.
"Dua jam, Nona."
"Kau bercanda?!"
Selama dua jam itu Arthur bisa menebak semua orang pasti kelimpungan mencari VIP yang hilang dari radar.
"Aku mau mampir makan es krim," cicit wanita yang menatap takut pada Arthur.
Dari matanya berharap keinginan itu dikabulkan. "Boleh berhenti dulu? Lagi pula, kita sudah terlanjur pulang telat, 'kan?" imbuh Lintang, masih merayu.
Karena lokasi mereka yang tidak jauh dari taman, Lintang mengajukan permintaan untuk berhenti sebentar makan es krim. Arthur hendak menolak, ia tidak bisa menerima pelanggaran lagi.
Tetapi melihat wajah sedih Nonanya ini, pria itu jadi tidak tega.
Di taman, seperti tujuan utama, tidak ada yang keduanya lakukan kecuali makan es krim. Sibuk dalam pikiran masing-masing.
Lintang berceletuk diantara kegiatan makan es krimnya. "Terima kasih, Kapten. Sudah mau membantuku melarikan diri, memberiku waktu tidur. Juga untuk es krimnya."
Bersama dengan Arthur memang tidak pernah mengecewakannya.
"Tidak perlu berterima kasih. Saya hanya menjalankan tugas," jawab Arthur dingin, citra prajurit kaku melekat begitu kental padanya.
Sosok yang duduk di sebelah Arthur cemberut, gemas. "Tetap saja, aku akan berterima kasih."
"Oh, ya, Kapten." Lintang mendadak punya pertanyaan serius. "Boleh aku tahu wanita seperti apa yang jadi idamanmu?"
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F