Part 2
Praaang ….
Pandanganku sekejap terasa berkunang-kunang. Cangkir sisa kopi tadi yang hendak kudekatkan ke bibir, meluncur berderai di lantai. Begitu melihat foto Mas Thoriq tengah berpelukan dengan Hesti di sisi mobil BMW milik suamiku itu. Belum selesai persoalan kotak kontrasepsi dan bon hotel ini, sudah ditambah lagi dengan foto mesra Mas Thoriq dan sahabatku.
Kuremas kotak kecil tersebut. Seketika itu pula otot perutku mengeras dan rasa mulas pun menjalari.
Tidak! Jangan sampai aku melahirkan sebelum waktunya ....
______
"Ada apa, Nyonya?" Bik Irah tergopoh-gopoh berlari menghampiriku.
"Perut saya sakit, Bik," erangku sambil memegang perut buncit yang semakin menegang keras. Rasa mulas pun kian terasa. Ya Rabb, jangan sampai hamba melahirkan prematur, doaku dalam hati.
"Ayo, Nyonya, duduk dulu." ART yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri itu, memapah tubuh yang seakan sudah tak bertenaga ini ke sofa di ruang keluarga, yang tak jauh dari dapur.
"Tuan! Tuan!" teriaknya panik.
"Ada apa sih, Bik, kok teriak-teriak seperti di hutan aja," sahut Mas Thoriq dari balkon lantai dua.
"Ini Nyonya … Nyonya, Tuan."
"Astaga, kamu kenapa, Sayang?" Terdengar teriakan panik Mas Thoriq dan tapak kaki yang berlari menapaki tangga.
Keringat sebesar jagung mengalir di pelipis. Entah rasa sakit yang mana yang saat ini tengah kutahan. Yang jelas, pandangan sekitar rasanya semakin gelap. Setelah itu aku sudah tak tahu apa-apa lagi.
_____
Pelan-pelan aku membuka mata. Dimana aku ini? Sesaat kutoleh ke kiri, ada tiang infus di sana beserta botol yang mengalir melalui tetesan demi tetesan.
Sepertinya ini di rumah sakit. Ah, kepalaku pusing sekali. Kupijat pelan kening dan sendawa pun keluar pelan melalui mulut. Tiba-tiba aku teringat sesuatu ….
"Ya Allah, perutku …!"
"Nina … Nina sayang, kamu sudah sadar?" Mas Thoriq melonjak dari sofa.
'Alhamdulillah, perutku masih seperti sedia kala,' aku menarik napas lega.
"Kamu mengkhawatirkan anak kita ya?" Lelaki berkulit putih itu mengusap-usap punggung tanganku. "Alhamdulillah, anak kita baik-baik saja."
Mas Thoriq tersenyum manis. Tapi, rasanya seperti duri tajam di mataku.
Kutelusuri manik coklat di antara kelopak yang sipit itu. Masih adakah binar cinta untukku di sana?
Tak lama pintu ruang rawat inap terbuka. Dokter Fitri yang merupakan dokter langgananku selama hamil, masuk bersama beberapa orang perawat.
"Bagaimana keadaan Ibu Nina saat ini? Sudah enakan?" tanyanya ramah.
"Alhamdulillah, Dok. Jauh lebih baik."
"Masih terasa sakit perutnya, Bu?"
"Sudah nggak, Dok. Nyaman banget malah."
"Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Kemarin Ibu mengalami keram perut saja. Dan itu biasanya karena pengaruh stress atau depresi yang berlebihan. Apa Ibu saat ini sedang mengalami stress?" tanya dokter berhijab itu.
Aku melirik ke arah Mas Thoriq. Tatap matanya penuh tanya.
"Ah, nggak kok, Dok. Saya nggak stress sama sekali kok. Mungkin karena mendekati kelahiran. Agak gugup aja sih saya, Dok," jawabku berbohong. Tidak mungkin aku membahas masalah foto, kotak kondom dan bon hotel itu di sini.
Dokter Fitri tertawa mendengar penuturanku. "Biasa sih memang, Bu, kalau menjelang detik-detik kelahiran. Apalagi anak pertama. Beberapa kasus pasien saya, sudah anak keempat bahkan ada yang sudah anak kelima pun masih nervous," terangnya lagi. "Ibu harus banyak melakukan hal yang bisa membuat Ibu lebih rileks. Mungkin jalan-jalan, nonton atau mendengarkan musik. Karena jika hati Ibu bahagia, juga pasti akan berpengaruh pada bayi yang Ibu kandung."
"Untuk Bapak, jangan lupa dampingi terus istrinya ya, Pak. Karena peran ayah juga sangat penting bagi kebahagiaan si Ibu. Jadi itu pula yang bisa membuat kedekatan psikologis anak dengan si Ayah nanti."
"Siap, Dok! Saya akan buat istri saya bahagia terus," celetuknya tertawa. Dokter Fitri ikut tertawa mendengar celetukan Mas Thoriq. Aku sendiri berusaha untuk ikut tertawa, meski harus diimbagi rasa pahit.
Dua hari menjalani perawatan, akhirnya Dokter mengizinkanku untuk pulang. Tetapi, setelah dipastikan kondisi yang benar-benar pulih.
Di mobil, aku lebih memilih larut dalam diam. Pandangan hanya tertuju ke luar jendela. Menatap apa saja yang bergerak di luar sana. Sembari mengusap-usap lembut perut yang sudah semakin terasa sesak. Sepertinya di sana sudah penuh dengan tubuh mungil tak berdosa, hasil benih cintaku dengan Mas Thoriq.
Aku melenguh perih ketika hati berucap demikian. Benarkah Mas Thoriq menghianati cinta kami?
Bayi di dalam kandunganku bergerak kuat dan otot rahim kembali keram, ketika aku membatin barusan. Astaghfirullah, kan aku sudah janji untuk tidak akan stress lagi.
Cepat-cepat aku membacakan Al-Fatihah seraya mengusap-usap permukaan perut. Pelan-pelan pergerakan bayiku mulai berangsur normal dan rasa keram tadi pun hilang. Begitu sensitifnya perasaan seorang ibu yang tengah mengandung. Baru hanya membatin saja, bayi pun bisa ikut merasakan.
Setiba di rumah, aku langsung merebahkan tubuh di spring bed, hantaran Mas Thoriq ketika hendak menikah dulu.
Memang benar, tidak ada yang bisa mengalahkan kenyamanan tempat tidur sendiri. Sekali pun ruang perawatan sudah kelas VVIP.
"Kamu banyak-banyak istirahat ya, Sayang. Biar anak kita sehat terus," ucap Mas Thoriq. "Anak papa sayang, kamu baik-baik di sana ya. Jangan nakal. Kasihan Mama kamu sakit terus kalau kamu nakal," lanjutnya lagi, lalu mengecup lembut perutku.
Sontak bayiku menendang kuat. Seakan tahu ayahnya tengah berbicara padanya.
"Mas keluar sebentar ya. Mau nelpon Pak Rahmat. Kemarin katanya akan ada jadwal penerbangan ke Seoul," ujarnya, lalu menarik selimut bed cover hingga menutupi tubuhku. "Nanti Mas suruh Bik Irah masakin kamu sup iga kesukaanmu ya." Tangannya mengusap rambut dan kembali mengecupnya.
Mas Thoriq memang sosok yang romantis dan lembut. Sulit rasanya untuk dipercaya, jika ia bermain di belakangku.
Baru saja hendak memejamkan mata, aplikasi hijau di gawai berbunyi. Lupa aku untuk me-non aktifkan ponsel tadi.
Kutarik notifikasi pesan dari atas layar. Dinda!
[Hai, Nina. Katanya lo masuk rumah sakit? Beneran?]
Jariku menari di keyboard layar ponsel, membalas pesan dari salah satu sahabatku, ketika sama-sama bekerja di satu maskapai pesawat.
[Iya nih, Din. Baru aja pulang.]
[Trus gimana keadaan lo? Udah baikan? Sorry ya, gue gak sempat jenguk lo. Soalnya gue juga lagi gak enak badan gitu.]
[Iya gak papa kok, Din. Gue cuma dua hari doang kok. Sekarang juga udah jauh lebih baik.]
[Eh ya. Gue lagi jalan sama Hesti nih. Terus gue gak sengaja denger dia telponan. Gue juga dengar dia kayak janjian mau liburan gitu sama cowok itu. Jangan-jangan janjian sama laki lo. Bentar gue pap ya]
Tak lama kemudian, sebuah foto wanita bertubuh sintal tengah menelepon serius masuk ke pesan w******p-ku.
[Tuh kan, bener yang gue bilang? Telponannya ngejauh gitu. Takut ketauan gue kali ya.]
[Laki lo lagi sama lo gak?]
[Gak]
Perasaan tak enak mulai menyergap lagi setelah membaca pesan dari Dinda.
[Nah, tuh kan. Jangan-jangan bener si Hesti lagi telponan sama Mas Thoriq. Mendingan lo intip gih sana]
Ponsel kuletakkan begitu saja di kasur berseprei merah maroon itu. Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur. Kemana Mas Thoriq? Jangan-jangan benar yang dikatakan Dinda. Aku harus pastikan sendiri!
Kupindai pandangan ke seluruh sudut di lantai dua. Mungkin ada di balkon. Aku melangkah ke sana. Kosong!
Pelan-pelan aku menapaki tangga. Aku harus kuat, ujarku menguatkan diriku sendiri.
Ternyata Mas Thoriq ada di teras belakang. Benar saja, ia tengah menelepon!
Pelan-pelan kuhampiri pria yang sudah dua tahun ini menikahiku. Meski lutut masih terasa lemah, aku berusaha untuk mengangkat langkah, agar sandal tidak menimbulkan suara gesekan dengan lantai.
"Iya, iya, sabar dong. Gak mungkin aku mengajak kamu liburan saat kayak gini. Nina sedang hamil besar dan baru aja pulang dari rumah sakit. Dokter bilang dia gak boleh stress. Kalau gak, bisa berbahaya untuk anakku yang dikandungnya."
Deg. Liburan? Benar yang dikatakan Dinda.
"Eh, kamu ngacam aku? Please, jangan main-main gitu dong. Jangan bikin aku khawatir, Sayang."
Apa … Sayang? Ternyata ada panggilan "Sayang" lain selain aku. Tanganku mengepal kuat.
"Oke, oke, kita pergi liburan. Aku bisa alasan ke ada jadwal flight ke Seoul ke Nina."
Aku sudah tidak tahan lagi untuk terus bersembunyi di balik jendela dan mendengarkan kata-kata mesra suamiku dengan perempuan lain.
"Mas Thoriq!"
Mas Thoriq terlonjak dan nyaris ponsel di genggamannya terlempar karena terkejut.
_____
Part 3 Deg. Liburan? Benar yang dikatakan Dinda. "Eh, kamu ngacam aku? Please, jangan main-main gitu dong. Jangan bikin aku khawatir, Sayang." Apa … Sayang? Ternyata ada panggilan "Sayang" lain selain aku. Tanganku mengepal kuat. "Oke, oke, kita pergi liburan. Aku bisa alasan ke ada jadwal flight ke Seoul ke Nina." Aku sudah tidak tahan lagi untuk terus bersembunyi di balik jendela dan mendengarkan kata-kata mesra suamiku dengan perempuan lain. "Mas Thoriq!" Mas Thoriq terlonjak dan nyaris ponsel di genggamannya terlempar karena terkejut.
Part 4POV THORIQAku Ahmad Thoriq, seorang anak yatim piatu. Dulu Bapakku bekerja hanyalah sebagai seorang juru parkir di minimarket yang terletak tepat di seberang kantor Pak Jayadiningrat.Sedangkan Ibu sudah meninggal saat aku masih duduk di SMP kelas satu, karena serangan TBC akut.Hanya saja Bapak pun akhirnya ikut menyusul Ibu, setelah dua tahun kepergiaannya. Aku tengah bersekolah di kelas tiga SMP kala itu.Bapak meninggal karena ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Tubuh kurusnya terpental sejauh beberapa meter.Aku yang kala itu baru saja pulang sekolah, berteriak histeris, ketika melihat tubuh Bapak yang bersimbah darah. Setelah diusut, ternyata pengemudi tersebut tengah di bawah pengaruh alkohol.
Part : 5 Sembari mendendangkan sebuah sholawat. Bulir hangat terasa mengalir dari sudut kedua netra, ketika lantunan sholawat itu berdesis lembut dari bibir. Setegar apa pun aku mencoba berusaha, tetaplah kembali pada kodrat wanita yang lemah dan cengeng. 'Mama akan berusaha mempertahankan keutuhan keluarga kita semampu mama, Nak. Mama lakukan semua demi kebahagiaan kamu … dan kita.' ________ Dua hari setelah itu, rencana liburan kami berhasil juga. Tentu saja aku senang sekali. Bukan karena liburannya, tapi setidaknya menggagalkan rencana liburan Mas Thoriq dan Hesti adalah sesuatu kepuasan yang luar biasa. Setidaknya
Part :6 Aku beranjak menuju bagian luar restoran. Dan pandanganku tertuju pada pria yang duduk di meja dengan posisi membelakangi, tepat di pinggir pantai. Duduk berdampingan dengan seorang wanita berambut ikal berwarna coklat kemerahan. Benar-benar tidak asing bagiku. Bergegas kuhampiri pasangan yang tengah duduk berdampingan itu. "Mas!" panggilku dan lelaki itu menoleh. Benar Mas Thoriq dan wanita di sebelahnya … Astaga! "Elo …?" ________ "Eng, eh, hai, Nina. Apa kabar? Elo dari mana? Barusan tadi gue tanya sama Mas Thoriq. Katanya lo mual-mual gitu ya?" Dinda menghampiri dan langsung mencium pipi kana
PART 7 Mas Thoriq dan Hesti tengah duduk berpegangan tangan sambil tertawa. Di meja berhamburan kartu domino dan kulit kacang. Dinda ada di sana juga. Tumben, dia tidak memberi tahu soal kehadiran Hesti di sini. Bahagia sekali kelihatannya suamiku itu. Sementara ketika denganku, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawainya. "Hesti!" Mas Thoriq dan Hesti terperanjat. Lalu keduanya refleks berdiri. Plaaak! ________ Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi mulus Hesti, hingga ia terhuyung ke belakang. N
PART 8 Selamat membaca, Zheyeenkk☺❤___________ "Kenapa, Nin?" tanya Dinda khawatir, ketika melihat aku mulai meringis menahan sakit, sembari mengelus-elus bagian bawah perut. Belum sempat aku menjawab, aku merasa seperti ada yang pecah dan air mengalir dari sela kedua paha. "Air apa itu?" Dinda menatap bingung melihat air yang keluar dari selangkanganku. "Lo ngompol, Nin?" "Enggak kok. Gue juga gak tau itu air apa, Din." ________
Selamat membaca 🤗PART 9Pria tiga puluh satu tahun itu hanya tersenyum kecut tanpa menjawab. Aku sangat mengenali seperti apa dirinya. Dia tak akan pernah berani berkutik sama sekali, jika aku sudah merengek dan merayu pada Papi. Karena tentu saja dia tidak memiliki daya sama sekali."Ya sudah, nanti biar Papi bicarakan masalah ini ke Rahmat ya. Yang penting kamu banyak istirahat, makan makanan yang bergizi, supaya kamu segera pulih."Kutarik bibir ke samping. Yes! Dengan begitu akan lebih mudah mengawasi seperti apa kelakuan suami dan sahabatku.Dengan ekor mata, bisa kulihat Mas Thoriq kembali menatapku._________Selama masa pemulihan setelah melahirkan di rumah sakit, aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Hanya saja Alissha, belum diizink
Part 10 Mobil bergerak mundur, lalu melesat pergi. Segera kuraih gawaiku. Lalu menghubungi seseorang yang bernama Farid. "Kamu di mana posisi, Rid?" "Saya sedang mengikuti mobil Alphard hitam milik Pak Thoriq. Sesuai yang Ibu perintahkan, saya sudah stand by di depan rumah Ibu sejak pukul setengah tujuh tadi," sahut orang bayaranku itu. "Bagus! Ikuti terus!" ________ "Siap, Bu. Posisi saya tidak jauh dari mobil Bapak." "Hati-hati kamu. Jangan sampai terlalu dekat. Takutnya nanti dia curiga."