PART 24
Aku menjerit sekuatnya dan sontak langsung memuntahkan isi perut. Tak sanggup melihat darah yang berserakan di lantai.
Seekor kucing hitam yang terkoyak perutnya dan dengan leher nyaris putus.
"Ada apa, Bu Nina?" tanya Lina, ART yang setengah berlari menemuiku.
Aku masih memuntahkan apa yang ada di dalam perutku, sambil menunjuk ke arah kardus mie instan yang terguling.
Lina berjalan dan melongokkan kepala ke dalam kardus yang kutunjukkan tadi.
"Astaga, apa ini, Bu. Uweekkk … Uweekkk," Lina ikut-ikutan muntah melihat bangkai kucing yang mati mengenaskan tersebut.
Vote dan kasih ulasan doongg,, biar semangat author ngetiknya
Jangan lupa tekan vote ❤ yaaa PART 25 "Kamu itu sebenarnya siapa sih?" "Lo mau tau banget siapa gue? Oke!" Wanita yang suaranya terdengar sangat tidak asing bagiku itu, melepaskan kaca matanya. Kemudian topi lalu masker yang ia kenakan. "Astaghfirullah, elo ....? "Iya ini gue. Napa … lo kaget gue masih hidup? Gue punya seribu nyawa. Jadi gue itu gak akan bisa mati." "Tapi, elo kan uda hanyut di arus deras sungai itu." Dia terus bergerak maju dengan pisau mengayun di sisi pah
"Dindaaa … lepasin anakku," Mungkin karena terkejut dengan teriakan Mas Thoriq, Dinda tampak kehilangan keseimbangan dan …. Buuuggghhh Aaawww ...." ALIISSHAAA …." Aku dan Mas Thoriq berlari menuju balkon, untuk memastikan keadaan Alissha yang terjatuh bersama Dinda. Tangisan kencangnya terdengar hingga ke atas. "Alhamdulillah," Aku mengucap syukur, karena Alissha dalam keadaan baik-baik saja. Kini tengah berada dalam gendonga
Aku beringsut mundur dan terduduk lemas di ranjang yang sudah sangat acak-acakan. Berkali-kali meneguk ludah hingga tenggorokan terasa mengering. "Sekarang cepat bersihkan dirimu lalu pergi dari sini!" usirku tanpa sudi menatap. "Oke!" Mas Thoriq melangkah masuk ke kamar mandi. Tinggallah aku menangis sendiri. Selimut yang diam tak tahu apa-apa, kulemparkan ke lantai. Begitu juga dengan bantal dan guling. Tubuhku jatuh luruh ke lantai. Menangis tersedu dengan memeluk lutut yang menekuk dan membenamkan wajahku. Sebegitu cerobohnya aku bisa sampai terjadi hal seperti ini. Tapi apakah aku yang salah? Sama sekali aku tak menyangka Mas Thoriq tega berbuat demikian. Pintu kamar mandi membuka. Lelaki
Jangan lupa Subscribe dan follow akun yaa PART 28 Aku menahan napas dan tenggorokanku bergerak turun meneguk ludah. Degup jantung seakan berlomba dengan nafas yang juga memburu. Kuraba kantong blazer seragamku untuk mencari ponsel. Aduh, pasti di tas tadi, gumamku sambil menepuk dahi. "Nina! Nina, keluar kamu!" teriaknya. Mas Thoriq berdiri tepat di depan lemari. _______ Aku mendengar Mas Thoriq menggeser pintu kamar mandi yang bergaya jepang itu dan masih terus berteriak memanggil-manggil namaku.
PART 29 Hei, kok diam aja?" desisnya dengan mendekatkan wajahku padaku. Kepala kutarik mundur, menghindari wajah tampan tapi sebenarnya busuk itu. "Aku bisa bekerja di Berkah Air ini lagi karena jasa papi kamu." Aku tersentak dan menoleh pada wajah yang menyeringai sombong itu. "Papi?" _______ "Ya, Papi kamu sudah bicara dan berusaha meyakinkan Om Rahmat untuk merekrut aku kembali di sini, walaupun harus turun menjadi Co-Pilot. Se
PILOT TEWAS BERSAMA GUNDIKNYA PART 30 "Kurang ajaaar ...!" "Lepasin dia!" Mas Barry turun dan langsung memukul pergelangan tangan yang menarik hijabku tadi. Mas Thoriq mengerang sakit hingga cengkeraman di hijabku terlepas. ________ "Si-siapa kamu--" Ucapannya menggantung sambil mengusap pergelangan tangannya yang sakit akibat pukulan Mas Barry tadi. Begitu cengkeramannya lepas, aku langsung berlari untuk berlindung di belakang tubuh tinggi Mas Barry.
PART 31 Refleks tanganku meraih pot keramik kecil yang terletak di atas meja, kemudian melemparkannya ke tiang rumah. Ketiga debt collector itu terkejut mendengar suara denting pecahan pot tersebut. “Saya bilang pergi dari rumah saya … atau pot ini yang mengenai kepala kalian?” geramku kesal, sambil memegang salah satu pot yang terbuat dari tanah liat. *** “Tenang, Bu. Ki-kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik kan?” Salah satu pria berbadan bersikeras untuk mencoba menenangkanku. Tanpa banyak kata, pot tanah liat itu kembali aku lemparkan. Tapi kali ini ke arah kaki mereka. Beruntung mereka segera menghindar. Jika tidak, mereka harus siap beling-beling dari pot
PART 32 Jantungku berdegup kencang ketika Mami menyebut nama Mas Thoriq. Apa ada hubungan dengan peristiwa tadi? “Ke-kenapa dengan Mas Thoriq, Mi?” “Thoriq kayaknya menjadi korban perampokan. Sekarang kondisinya kritis dan tak sadarkan diri di ICCU.” ________ “Oke, oke, Mi. Aku segera ke sana.” Aku menutup telepon dan memandang ke arah Mas Barry yang sedang focus mengemudi. “Ada apa, Nina?” “Mas Thoriq koma di ICCU, Mas.” “Apa … koma?” Aku mengangguk. Mas Barry menggosok dagunya, tanda ia pun saat ini pasti sedang gundah. “Dasar bod*h! Sudah dibilang cukup kasih peringatan aja. Ini kok malah sampai koma.” “Terus, kita harus gimana ini, Mas