Tiba saatnya hari pernikahan Diandra dan Dewa akan dilaksankan setelah satu Minggu berada di rumah sepulang dari rumah sakit waktu itu. Bukan hanya keluarga mempelai wanita saja, saksi bahkan penghulu pun sudah bersiap di sana. Namun, malah Dewa yang belum datang ke acara pernikahan tersebut membuat Diandra gusar menanti kedatangan calon suaminya.
"Ibu, Ayah, Mas Dewa ke mana, ya?" Diandra begitu panik ketika menunggu kedatangan Dewa.
"Ayah coba menelponnya, ya?" Teo mengusap pundak putrinya dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Namun, belum juga membuka kunci layar ponsel, laki-laki bertubuh gagah dengan paras tampan berkulit sawo matang itu pun akhirnya datang.
"Maaf, Andra, Bu, Pak, saya terlambat. Tadi ada keperluan yang mendesak." Dewa menjelaskan perihal yang terjadi padanya.
"Iya, enggak apa-apa, Mas." Diandra tersenyum dengan hati yang tenang dan tentu saja bahagia.
Awas kamu kalau sampai tega mempermalukan anakku! Ucap Amira kesal dalam hatinya karena Dewa hampir saja membuat malu putri dan keluarganya meskipun pesta pernikahan sederhana.
"Ya sudah, ayok, Nak Dewa. Penghulu dan para saksi sudah menunggu dari tadi," ucap Teo.
Kini Dewa dan Diandra duduk berdampingan disaksikan oleh warga sekitar untuk menyaksikan dua anak manusia yang akan bersatu dan sah secara agama di depan penghulu.
"Bagaimana calon mempelai pengantin laki-laki, apakah Ananda sudah siap?" tanya pak penghulu pada Dewa.
"Saya siap, Pak!" Tanpa ragu-ragu Dewa menjawabnya.
"Gimana Pak Teo, apakah ijabnya akan Bapak ambil alih sebagai wali nikah, ataukah akan mewakilkan pada saya?" Penghulu itu bertanya pada Teo.
"Saya akan menjadi wali nikah untuk putri saya, Pak."
"Baik, Pak. Kalau begitu, sebelum pada acara ijab, baiknya kita latihan dulu supaya tidak gerogi saat acara dimulai, ya?" Penghulu itu menuntun Teo dan Dewa yang akan melakukan acara ijab kabul sebagai calon mempelai laki-laki dan calon wali nikah.
Latihan pun dimulai, tidak ada kegagalan. Keduanya tampak sudah siap sehingga acara ijab kabul pun akan segera dimulai. Kini, Teo dan Dewa berjabat tangan pertanda acara ijab akan segera dimulai, tentu saja atas bimbingan dari penghulu.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Dewa Abimanyu bin Seto Abimanyu dengan anak saya yang bernama Catherine Diandra dengan maskawinnya berupa alat salat dan cincin nikah seberat sepuluh gram, tunai." Teo mantap mengucapkan ijab dan disambut dengan jawaban yang semangat dari Dewa.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Catherine Diandra binti Teo Andra dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."
"Bagaimana para saksi? Sah?" Penghulu bertanya pada saksi-saksi nikah disambut dengan jawaban yang kompak dari para saksi dan tamu undangan yang ada di sana.
"Sah!"
Detik itu juga air mata Amira menetes saat mendengar kata 'sah' dari saksi nikah bahkan para tamu undangan yang mendoakan pernikahan putri tercintanya.
Ada kebahagiaan pada Amira, tetapi tidak dipungkiri ada sedih yang mendalam karena harus jauh dengan putri semata wayangnya setelah ijab selesai.
Ucapan-ucapan selamat serta doa-doa mengiringi sepasang anak manusia yang saat ini telah resmi menyandang status suami dan istri. Senyum lebar pun mengukir indah keduanya, menggambarkan kebahagiaan yang tiada tara. Namun, mata Amira menangkap ada sesuatu dari gerbang rumah mereka. Seorang laki-laki tampak berdiri di luar dengan koper besar di tangannya. Amira pun gegas berjalan menghampiri pemuda itu.
"Nak Calvin?" ucap Amira pada pemuda bertubuh tinggi dan gendut.
Pemuda itu tersenyum. "Iya, Bude. Aku hanya ingin berpamitan sama Bude dan Pakde, tapi sepertinya Pakde sedang sibuk, ya? Jadi aku pamit sama Bude aja." Pemuda itu menjawab seolah terburu-buru.
"Loohhh ... pamit ke mana, Nak?"
"Aku mau kuliah di luar negeri, Bude."
"Jauh banget ke luar negeri, Nak Calvin? Lalu, Bude Sasmita gimana? Apa diijinkan, ponakannya kuliah sampai ke luar negeri?"
"Ini semua Papa yang menyuruh, Bude. Aku cuma ikuti aja apa mau Papa dan lagi––" ucap Calvin terhenti.
"Lagi apa?"
"Tidak, aku keburu-buru, Bude. Salam untuk Pakde dan Andra, ya?" ucap Calvin ketika mobil taksi pesanannya sudah menghampiri.
"Loohhh ... tidak ingin bertemu dulu dengan Andra? Kalian, kan, teman dekat."
"Maaf, Bude. Aku buru-buru." Pemuda berbobot lebih dari seratus kilogram itu pun segera masuk ke mobil dan tidak menunggu waktu lama, taksi itu pun meluncur membawa Calvin pergi.
***
Malam ini merupakan malam indah untuk Diandra dan Dewa. Di mana dua insan manusia yang saling mencintai dapat bersatu dalam ikatan yang halal.
"Kamu cantik banget, Andra," ucap Dewa pada istrinya ketika berada di atas ranjang pengantin.
Diandra tersenyum mendengar pujian dari suaminya. Untuk pertama kalinya gadis itu tampak salah tingkah ketika hanya ada mereka berdua dalam kamar. Hawa pun terasa panas saat tangan Dewa mulai mengusap lembut pipinya dan mengecup hangat bibir Diandra.
"Aku mau mandi dulu, Mas. Gerah, keringetan," ujar Andra pada Dewa, padahal malam ini diguyur hujan deras.
"Iya, jangan lama-lama, ya? Nanti masuk angin. Atau, kita mandi bareng, yuk?" ucap Dewa dengan kedipan genit.
"Ih, enggak mau, Mas!" Mata Diandra membulat ketika menjawab ajakan Dewa. Sedangkan laki-laki yang telah menanggalkan bajunya itu hanya bisa tersenyum melihat reaksi dari istrinya.
"Iya sudah, tapi besok-besok harus mau kalau aku ajak mandi bareng, ya?" Dewa masih menggoda istrinya.
"Enggak janji!" Diandra meraih handuk dan berlalu pergi ke kamar mandi.
Diandra malah terlihat bingung ketika sudah menanggalkan seluruh pakaiannya. Hawa panas serta jantung berdegup kencang saat dia mengingat kata-kata Dewa yang mengajaknya mandi bersama.
"Iddiiihhhh ... nanti Mas Dewa lihat anu-nya aku, dong?" gumam Diandra saat melihat dua gundukan besar miliknya. Bukan hanya bagian itu, tapi dia memandangi seluruh tubuhnya dan malah menjadi geli sendiri. "Enggak, enggak, aku malu kalau sampe mandi bareng Mas Dewa," sambungnya sambil menggeleng.
Dewa yang sedari tadi menunggu sudah tidak sabar lagi karena istrinya terlalu lama berada dalam kamar mandi. Akhirnya dia memutuskan untuk menyusul Diandra ke kamar mandi.
"Sayang? Kamu ngapain? Kok, lama banget." Dewa mengetuk pintu kamar mandi dan membuat orang yang ada di dalamnya terkejut.
"Sebentar, Mas!" jawab Diandra yang belum melakukan ritual mandi apa-apa.
Diandra terlihat bingung harus memulai dari mana. Padahal, hal ini sering dia lakukan setiap hari, tapi kenapa dia malah gerogi malam ini?
Diandra membasuh tubuh, lalu meraih sabun cair kemudian dituangkan pada loffa atau spons yang berbentuk seperti jaring dengan varian banyak warna biasanya.
Dewa semakin tidak sabar karena Diandra seolah mengulur waktu. Padahal miliknya telah menegang sejak tadi.
"Sayaaaang?" Suara Dewa semakin terdengar berat menahan hasrat.
"Sebentar, Mas. Aku lagi sabunan." Diandra masih juga belum keluar dan akhirnya Dewa mendorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dikunci. "Eh, Mas mau ngapain?" Diandra refleks menutupi dua gundukan yang terhalang oleh busa sabun.
Tentu saja hasrat Dewa semakin tidak terkendali saat melihat istrinya yang sedang berendam di dalam bathtub dengan busa yang melimpah.
"Mas, Mas mau ngapain?" tanya Diandra dengan degup jantung yang makin kencang saat Dewa melangkah dan mendekati dirinya.
Quote:Malam pertama yang tidak pernah terlupa, saat pertama kali dia mengecup hangat bibir ini dan seketika itu tubuhku bergetar hebat. _KwanSaga_Untuk pertama kali saat mata Diandra terbuka dalam dekap hangat tubuh laki-laki yang dia cintai. Mata tajam yang tertutup sempurna serta tangan yang masih melingkar pada tubuhnya menjadikan wanita yang berstatus seorang istri itu merasakan kenyamanan yang luar biasa. Diandra menatap wajah suaminya yang masih terlelap. Tampangnya memang tidak membosankan dan dengan jahilnya Diandra malah mengusap bagian wajah Dewa. Mulai dari pipinya, hidungnya, dagunya dan bibirnya tidak luput dari usapan halus Diandra. Diandra melepaskan jarinya yang masih mengusap bibir Dewa bermaksud untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Namun, Dewa meraih tangan istrinya dan tubuh Diandra seketika kembali terjatuh dalam pelukan hangatnya. "Mas Dewa udah bangun?" Malu-malu Diandra menyapa suaminya. "Aku ingin sekali lagi, boleh?" tanya Dewa dengan suara serak. "Sekali lagi apanya?" Terlihat wajah heran dari Diandra. "Menikmati tubuhmu, Sayang." "Iiihhhh ... Malam tadi Mas udah dua kali, masa mau minta lagi
Sepasang mata Diandra terasa perih bahkan sampai menitikkan air mata. Namun, Dewa tersenyum sarkas setelah beberapa saat sempat terdiam. "Kamu tidak usah membodohiku, Tari." Dewa saat ini terlihat santai menanggapinya. "Aku tidak membodohimu, Abang. Aku mencintaimu dan janin yang ada di perutku itu darah daging kamu." Tari terlihat berusaha meyakinkan Dewa, tetapi laki-laki itu tidaklah bodoh. "Statusmu itu istri orang, bagaimana bisa kamu hamil karena aku? Sudahlah, Tari." "Aba––" Kata-kata tari terputus."Stop! Berhenti memanggilku dengan sebutan Abang. Itu hanya masa lalu. Jalani saja hidupmu dengan suamimu dan biarkan aku hidup dengan istriku!" "TARIII!!!" Suara menggelegar telah menyentak wanita yang ada di hadapan Dewa."Abang Andi?" gumam Tari saat melihat laki-laki di seberang jalan sedang berjalan ke arahnya."Kenapa kau ada di sini? Apa belum cukup aku memberikan bukti padamu kalau aku tidak mandul? Aku tau selama ini kau melakukan KB tanpa sepengetahuanku, bukan? Untuk
Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu. Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar. "Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. Diandra masih menutup mata. "Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra. Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa m
Sudah satu Minggu Dewa bekerja pada Magdalena. Wanita cantik, kaya dan trendy merupakan kesan utama apabila melihatnya. Hanya saja sikapnya yang kurang begitu baik. Dia pemarah, cerewet, arogan dan super manja. "Dewa!" Magdalena memanggil. "Iya, Nona Shu!" jawab Dewa yang ada di luar ruang ganti. Ya, Magdalena mengajaknya ke mall sepulang dari kampus. "Ke sini cepat! Bawakan baju yang ada di dalam paper bag itu!" pinta Magdalena. Dewa melirik paper bag dan mengambilnya. Tangan Dewa terulur ke dalam agar Magdalena meraihnya. Namun, wanita berperawakan tinggi itu malah menarik lengan Dewa. Sontak, laki-laki yang pernah menikah empat kali ini kaget karena selama satu Minggu dia kerja pada Magdalena, wanita itu begitu galak dan juga cerewet. "Anda mau apa, Nona?" tanya Dewa. "Ini baju buat kamu, cepat ganti, aku mau lihat," ucap Magdalena bernada manja. "Tapi, masa iya Nona di sini?" Dewa menyipitkan mata. "Tinggal ganti aja." Magdalena membuka kancing kemeja Dewa. "Kamu pakai baju
Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-
Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag
Dewa merasa heran melihat ekspresi wajah istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa pada Diandra. "Ini, ini apa, Mas? Kok, balon kecil dimasukin ke sini? Mana banyak lagi," ucap Diandra pada suaminya. Itu, kan, alat kontrasepsi. Batin Dewa. "Astaga, Mas lupa, tadi habis antar majikan Mas ke acara pesta ulang tahun saudaranya. Itu hadiah kecil dari ponakannya yang berulang tahun," terang Dewa dengan bulir yang ada di dahinya. Diandra benar-benar masih polos. Gadis itu benar-benar tidak mengetahui apa-apa tentang alat kontrasepsi lain selain daripada pil yang dia minum setiap hari untuk mencegah kehamilan. Salah satu tujuan menunda kehamilan Diandra, karena Dewa merasa istrinya belum cukup umur jika dia harus mengurus bayi nantinya. "Mas?" Diandra memanggil. "Iya, Sayang." "Apa aku boleh kuliah?" "Boleh, apa, sih, yang enggak buat kamu?" "Yang bener?" Wajah Diandra tampak senang. "Bener, dong. Mau kapan mulai daftarnya?" "Sekarang juga udah dibuka pendaftaran untuk maba," jaw
Diandra tertegun dengan noda merah berbentuk bibir tertempel di kerah baju suaminya. Meskipun kemejanya berwarna hitam, tetapi warna merah lipstik itu lebih dari cukup jelas untuk menggambarkan. Sementara dirinya tidak memiliki warna lipstik seperti itu. Ponsel berdering mengagetkan lamunan Diandra. Dia terlihat kaget terlebih nama ayahnya yang tertera dalam panggilan video call. "Hai, Ayah?" sapa Diandra yang terlihat dalam layar ponsel Teo. "Andra, gimana kabarmu, Nak?" jawab Teo dengan bibir tersenyum saat melihat gambar putri semata wayangnya ada dalam ponsel yang ia genggam. "Baik, Ayah. Kabar Ayah dan ibu gimana? Sehat-sehat?" "Alhamdulillah, ini, Ibumu mau ngobrol katanya," ucap Teo, lalu menyerahkan ponselnya pada Amira. "Hai, Sayang? Gimana kabarmu? Ibu kangen banget sama kamu, Nak." Ungkapan dari Amira membuat Diandra cukup bersedih, dia hanya bisa menyembunyikan kesedihannya seorang diri karena keputusan menikah dengan Dewa merupakan kehendaknya. "Andra baik, Bu. Ibu