Untuk pertama kali saat mata Diandra terbuka dalam dekap hangat tubuh laki-laki yang dia cintai. Mata tajam yang tertutup sempurna serta tangan yang masih melingkar pada tubuhnya menjadikan wanita yang berstatus seorang istri itu merasakan kenyamanan yang luar biasa.
Diandra menatap wajah suaminya yang masih terlelap. Tampangnya memang tidak membosankan dan dengan jahilnya Diandra malah mengusap bagian wajah Dewa. Mulai dari pipinya, hidungnya, dagunya dan bibirnya tidak luput dari usapan halus Diandra.Diandra melepaskan jarinya yang masih mengusap bibir Dewa bermaksud untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Namun, Dewa meraih tangan istrinya dan tubuh Diandra seketika kembali terjatuh dalam pelukan hangatnya."Mas Dewa udah bangun?" Malu-malu Diandra menyapa suaminya."Aku ingin sekali lagi, boleh?" tanya Dewa dengan suara serak."Sekali lagi apanya?" Terlihat wajah heran dari Diandra."Menikmati tubuhmu, Sayang.""Iiihhhh ... Malam tadi Mas udah dua kali, masa mau minta lagi?""Salahkan tubuhmu, kenapa membuatku selalu ingin memeluk dan mencumbunya."Seketika itu tangan Dewa mulai menjamah setiap inchi tubuh Diandra. Bak mereguk madu, manisnya pernikahan ketika merasakan setiap belaian sayang dan dekapan dari orang yang dicintai hingga Diandra tidak kuasa menolak hasrat suaminya yang telah menggebu. Padahal, waktu sudah hampir pagi.***Waktu telah menunjukkan jam satu siang. Dewa dan Diandra telah bersiap untuk menuju Kota Yogjakarta yang akan menjadi tempat tinggal. Kepergian mereka diiringi oleh tangis dan doa dari Amira dan Teo."Jangan lupa kabari Ibu kalo udah sampe tempat, ya, Nak?" Amira berpesan dan memeluk putrinya."Iya, Ibu. Nanti Andra pasti hubungin Ibu. Ibu jangan nangis lagi. Kan, kita masih bisa telponan atau bahkan video call saat rindu."Teo hanya bisa melihat kesedihan dari Amira meskipun Diandra pun terlihat sedih, tetapi tidak sedalam ibunya. Dia hanya bisa mengusap pundak sang istri dan menyuruh untuk melepaskan putrinya karena takut tertinggal kereta."Dewa, Ibu titip Andra sama kamu." Amira memasrahkan putrinya pada sang menantu."Pasti, Bu. Aku akan menjaga putri Ibu. Terlebih sekarang Andra sudah jadi istri Dewa."Setelah berpamitan akhirnya taksi yang akan mengantar mereka ke stasiun kereta api pun telah tiba. Diandra dan Dewa sama-sama masuk ke mobil taksi yang akan membawa mereka ke stasiun kereta api.Lambaian tangan Amira terlihat dari kaca spion mobil taksi yang ditumpangi Diandra dan Dewa. Hingga akhirnya menghilang ketika mobil taksi semakin jauh membawanya pergi dari rumah. Ada titik air bening yang jatuh dari sudut mata Diandra."Mas?" ucap Diandra yang merasa kaget ketika suaminya mengusap air mata yang sudah terjun bebas membasahi pipinya.Dewa tersenyum. "Jangan bersedih, aku akan membahagiakanmu." Dewa meraih tubuh istrinya dan mendekapnya dalam mobil taksi yang masih melaju cukup kencang.Sekitar jam dua siang, Diandra dan Dewa sudah ada dalam gerbong kereta api. Sekitar lima jam menempuh perjalanan mereka akhirnya tiba di Kota Yogjakarta. Keduanya bangkit dari tempat duduk, lalu keluar dari gerbong kereta. Terlihat ramai orang yang berlalu-lalang di sekitar stasiun."Mas?" Diandra terlihat ketakutan saat melihat banyak orang dengan berbagai penampilan. Maklum saja, dia belum pernah berpergian jauh ketika di kampungnya."Tidak apa-apa, kan, ada Mas." Dewa menggenggam tangan Diandra, lalu berjalan untuk mencari taksi.Mobil taksi melesat menuju salah satu kota di Yogyakarta ketika mentari sudah tenggelam. Mata Diandra begitu lekat memperhatikan bangunan-bangunan yang dilewati. Hingga akhirnya mobil taksi terhenti di salah satu bangunan sederhana di sana. Satu bangunan sederhana di perumahan yang tidak jauh dari pusat kota."Ini rumah kita, Sayang." Dewa membukakan pintu.Mata Diandra berkeliling pada bangunan yang sederhana tetapi terlihat rapi dengan perabotan yang sudah cukup lengkap."Kita akan tinggal di sini, Mas?""Iya, Sayang. Kenapa? Apa kamu tidak suka?""Bukan, hanya aku tidak menyangka kalau ternyata Mas udah mempersiapkan semuanya tanpa aku tau." Wajah Diandra terlihat haru dan penuh kebanggaan pada sosok Dewa.Dewa mendorong pintu kamar dan saat itu juga dia tidak memberikan kesempatan Diandra untuk menolak ajakannya.Diandra tidak dapat mengelak, Dewa begitu pandai memainkan suasana dalam kamar. Kecupan-kecupan kecil telah meluncur di leher putih Diandra. Desah demi desah terdengar halus hingga akhirnya penyatuan itu pun terjadi setelah lebih dari dua puluh menit mereka berpacu di tempat tidur."Makasih, Sayang." Dewa mengecup kening Diandra yang sepertinya sudah tidak berdaya.*Tepat jam sepuluh malam, Dewa terlelap, hingga ponsel berdering nyaring pun tidak dia hiraukan. Satu dua kali Diandra biarkan hingga bunyi kelima, Dewa belum juga bangun."Mas, ada telpon, kali aja penting. Itu udah lima kali bunyi." Diandra mencoba membangunkan suaminya."Biarin aja, Sayang. Mas udah ngantuk berat." Dewa menjawab malas dengan mata terpejam, bahkan tidak lama kemudian dengkur halusnya kembali terdengar.Suara panggilan telepon memang sudah berakhir, tetapi berganti dengan notifikasi pesan berkali-kali. Karena penasaran, Diandra pun meraih ponsel suaminya."Hah?" Cepat-cepat Diandra menutup mulutnya saat dia membaca pesan dari nomor yang tidak bernama di ponsel Dewa. Pesan wanita yang tidak ingin ditinggalkan. Diandra memang tidak membuka chat itu, dia hanya melihat dari notifikasi layar awal ponsel.Sebentar apa yang terjadi? Masa Mas Dewa punya wanita lain? Ah, tapi buktinya Mas Dewa lebih memilih dan menikahiku. Batin Diandra.Diandra mencoba untuk tidur, tetapi matanya masih tetap terjaga hingga akhirnya hari telah menyongsong pagi dan gadis cantik itu beringsut dari kamar untuk mandi dan menyiapkan sarapan pagi.Di dalam rumah belum ada stok sayur dan bahan-bahan pangan lainnya, sehingga Diandra memutuskan untuk pergi ke warung yang dekat dengan istana sederhananya."Mau beli apa, Mbak?" sapa ramah pemilik warung."Aku bingung mau masak, tapi masak apa, ya, Bu?" Pipi memerah telah menghiasi wajah Diandra."Laaahhh ... Mbak-nya lucu, itu banyak sayuran dan ikan yang bisa dipilih." Penjual itu tersenyum melihat tingkah Diandra yang menurutnya aneh. "Atau, Mbak mau yang udah mateng aja sayurnya?""Emang ada, Bu?""Oh, ya, ada. Sini, masuk! Ada banyak menu sayur pagi ini."Diandra telah memilih beberapa sayur dan lauk yang sudah dibeli. Dia sekarang berjalan kembali ke rumah sambil menenteng satu plastik berukuran sedang di tangannya."Bang, Bang Dewa! Buka, Bang. Adek tau Abang ada di dalam. Bang Dewa!" teriak seorang perempuan memanggil-manggil nama suami Diandra."Siapa dia?" gumam Diandra yang masih berjarak cukup jauh dari rumah.Pintu itu pun terbuka, terlihat wajah Dewa dengan rambut yang masih acak-acakan dan tidak mengenakan baju."Tari? Ngapain kamu ke sini?" Sayup-sayup terdengar di telinga Diandra pertanyaan Dewa yang sepertinya syok ketika melihat perempuan bernama Tari berada di hadapannya."Aku udah bilang, kan? Kalau aku tidak akan lepasin Abang?""Ayolah, Abang udah nikah, Tari. Lupain Abang.""Enak sekali Abang bicara seperti itu setelah kamu menitipkan janin di perut aku!""Apa?"Mata Dewa membulat, begitu pun dengan Diandra yang berjarak cukup jauh. Dia ikut syok mendengar pengakuan dari wanita tersebut.Ya Tuhan ... apa aku tidak salah dengar? Usia pernikahan kami saja belum ada satu Minggu sudah ada kejadian seperti ini. Apa aku salah telah memilih Mas Dewa menjadi suami aku? Batin Diandra yang disertai isak tangis saat mengingat perkataan ibunya tentang skandal sang sopir.Quote:Dengan suara lantang, kamu membantah ibumu demi rasa cinta yang kamu miliki untuk seorang laki-laki. Namun, ketika telah merasakan ada hal yang tidak beres, dirimu bergumam tentang feeling seorang ibu yang begitu kuat untuk anaknya. _KwanSaga_Sepasang mata Diandra terasa perih bahkan sampai menitikkan air mata. Namun, Dewa tersenyum sarkas setelah beberapa saat sempat terdiam. "Kamu tidak usah membodohiku, Tari." Dewa saat ini terlihat santai menanggapinya. "Aku tidak membodohimu, Abang. Aku mencintaimu dan janin yang ada di perutku itu darah daging kamu." Tari terlihat berusaha meyakinkan Dewa, tetapi laki-laki itu tidaklah bodoh. "Statusmu itu istri orang, bagaimana bisa kamu hamil karena aku? Sudahlah, Tari." "Aba––" Kata-kata tari terputus."Stop! Berhenti memanggilku dengan sebutan Abang. Itu hanya masa lalu. Jalani saja hidupmu dengan suamimu dan biarkan aku hidup dengan istriku!" "TARIII!!!" Suara menggelegar telah menyentak wanita yang ada di hadapan Dewa."Abang Andi?" gumam Tari saat melihat laki-laki di seberang jalan sedang berjalan ke arahnya."Kenapa kau ada di sini? Apa belum cukup aku memberikan bukti padamu kalau aku tidak mandul? Aku tau selama ini kau melakukan KB tanpa sepengetahuanku, bukan? Untuk
Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu. Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar. "Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. Diandra masih menutup mata. "Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra. Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa m
Sudah satu Minggu Dewa bekerja pada Magdalena. Wanita cantik, kaya dan trendy merupakan kesan utama apabila melihatnya. Hanya saja sikapnya yang kurang begitu baik. Dia pemarah, cerewet, arogan dan super manja. "Dewa!" Magdalena memanggil. "Iya, Nona Shu!" jawab Dewa yang ada di luar ruang ganti. Ya, Magdalena mengajaknya ke mall sepulang dari kampus. "Ke sini cepat! Bawakan baju yang ada di dalam paper bag itu!" pinta Magdalena. Dewa melirik paper bag dan mengambilnya. Tangan Dewa terulur ke dalam agar Magdalena meraihnya. Namun, wanita berperawakan tinggi itu malah menarik lengan Dewa. Sontak, laki-laki yang pernah menikah empat kali ini kaget karena selama satu Minggu dia kerja pada Magdalena, wanita itu begitu galak dan juga cerewet. "Anda mau apa, Nona?" tanya Dewa. "Ini baju buat kamu, cepat ganti, aku mau lihat," ucap Magdalena bernada manja. "Tapi, masa iya Nona di sini?" Dewa menyipitkan mata. "Tinggal ganti aja." Magdalena membuka kancing kemeja Dewa. "Kamu pakai baju
Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-
Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag
Dewa merasa heran melihat ekspresi wajah istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa pada Diandra. "Ini, ini apa, Mas? Kok, balon kecil dimasukin ke sini? Mana banyak lagi," ucap Diandra pada suaminya. Itu, kan, alat kontrasepsi. Batin Dewa. "Astaga, Mas lupa, tadi habis antar majikan Mas ke acara pesta ulang tahun saudaranya. Itu hadiah kecil dari ponakannya yang berulang tahun," terang Dewa dengan bulir yang ada di dahinya. Diandra benar-benar masih polos. Gadis itu benar-benar tidak mengetahui apa-apa tentang alat kontrasepsi lain selain daripada pil yang dia minum setiap hari untuk mencegah kehamilan. Salah satu tujuan menunda kehamilan Diandra, karena Dewa merasa istrinya belum cukup umur jika dia harus mengurus bayi nantinya. "Mas?" Diandra memanggil. "Iya, Sayang." "Apa aku boleh kuliah?" "Boleh, apa, sih, yang enggak buat kamu?" "Yang bener?" Wajah Diandra tampak senang. "Bener, dong. Mau kapan mulai daftarnya?" "Sekarang juga udah dibuka pendaftaran untuk maba," jaw
Diandra tertegun dengan noda merah berbentuk bibir tertempel di kerah baju suaminya. Meskipun kemejanya berwarna hitam, tetapi warna merah lipstik itu lebih dari cukup jelas untuk menggambarkan. Sementara dirinya tidak memiliki warna lipstik seperti itu. Ponsel berdering mengagetkan lamunan Diandra. Dia terlihat kaget terlebih nama ayahnya yang tertera dalam panggilan video call. "Hai, Ayah?" sapa Diandra yang terlihat dalam layar ponsel Teo. "Andra, gimana kabarmu, Nak?" jawab Teo dengan bibir tersenyum saat melihat gambar putri semata wayangnya ada dalam ponsel yang ia genggam. "Baik, Ayah. Kabar Ayah dan ibu gimana? Sehat-sehat?" "Alhamdulillah, ini, Ibumu mau ngobrol katanya," ucap Teo, lalu menyerahkan ponselnya pada Amira. "Hai, Sayang? Gimana kabarmu? Ibu kangen banget sama kamu, Nak." Ungkapan dari Amira membuat Diandra cukup bersedih, dia hanya bisa menyembunyikan kesedihannya seorang diri karena keputusan menikah dengan Dewa merupakan kehendaknya. "Andra baik, Bu. Ibu
Sepasang mata Dewa membulat saat menyadari ada bekas lipstik bibir Magdalena di kerah bajunya. Dewa diam beberapa saat hingga akhirnya Diandra kembali bertanya. "Mas! Jawaaabbbb." Ekspresi Diandra seperti ingin menangis saat suaminya membisu. "Percuma Mas jawan, pasti kamu enggak akan percaya." "Mas aja belum bilang alasannya apa, mana tau kalau aku tidak akan percaya?" "Gini, Sayang. Dengerin Mas baik-baik." Dewa memegang kedua pundak Diandra dengan sorot mata lekat, tetapi menenangkan. "Tadi, majikannya Mas tidak sengaja terjatuh mengenai Mas dan posisi wajahnya itu mengenai pundak dan mungkin pada saat itu bibirnya mengenai kerah baju Mas." "Yakin hanya itu?" Diandra melirik dengan tatapan menggemaskan. "Iya laaaahhh ... memangnya yang ada dalam pikiranmu apa, Sayang?" Dewa mencubit gemas pipi chubby Diandra, lalu dia meraih tubuh istrinya dalam dekap. Huufff ... untung saja dia percaya. Batin Dewa saat mendekap istrinya. "Oh, iya, gimana tadi pendaftaran kampusnya?" Dewa m