MasukAgnia menahan diri untuk tidak berlaku kasar pada lelaki di hadapannya. Paling tidak, sampai neneknya undur diri untuk memberi waktu pada cucunya berduaan dengan si lelaki.
Walau sebenarnya Agnia merasa tak sudi jika harus berinteraksi lagi dengan Theo, tapi sepertinya ini adalah satu-satunya kesempatan yang Agnia punya sebelum mungkin nanti Agnia akan benar-benar memblokade lelaki itu agar tak lagi masuk ke hidupnya. "Ya sudah, kalian kalau mau ngobrol silahkan. Kebetulan nenek mau ke warung dulu buat beli sayuran. Kalau ada yang harus diselesaikan ... selesaikan dengan cara baik-baik. Kalian, kan, sudah sama-sama dewasa juga," tukas Desi memberi nasehat. Walau tidak tahu pasti permasalahan yang menimpa kedua sejoli itu, tapi neneknya ini cukup peka bahwa sang cucu diduga sedang berselisih paham dengan pacarnya itu. Theo mengangguk kikuk. Sempat menyahut sedikit, agak berbasa-basi. Lain hal dengan Agnia, sejak diajak masuk ke dalam oleh neneknya, ia memilih untuk diam di tengah pertahanan diri yang sebenarnya sudah sangat ingin meledakkan bom emosinya. "Hati-hati ya, Nek!" Seru Theo melambai. Diangguki oleh Desi yang kini telah berjalan menjauh melewati ambang pintu. Untuk sesaat, Agnia masih tidak bereaksi. Sampai ketika Theo tiba-tiba berinisiatif memeluk tubuh si wanita sambil menyerahkan sling bag berisi ponsel dan entah apa yang kemarin Agnia tinggalkan di unit Nuri, barulah wanita itu terusik dan secepat kilat mendorong Theo agar menjauhinya. "Sayang, please...." Lelaki itu memohon diberi kesempatan. Berharap jika Agnia bisa memaafkan kesalahan fatal yang sudah dilakukannya kemarin. Jari telunjuk Agnia mengacung tegas seiring dengan matanya yang menyalang tajam. "JANGAN PERNAH PANGGIL GUE DENGAN SEBUTAN ITU LAGI, BRENGSEK!" Agnia meraung. Pada akhirnya, emosinya benar-benar meledak tak tertahan lagi. Theo mendesah pelan seraya bersiap melangkah maju andai Agnia tak buru-buru melarangnya. "STOP DI SITU ATAU GUE AKAN TERIAK DAN BIKIN LO DI ARAK TETANGGA!" Ancamnya tak main-main. Membuat Theo lantas menurut patuh, tetapi tidak akan menyerah untuk meraih maaf dari perempuan yang masih dianggapnya pacar. Dada Agnia bergemuruh hebat. Amarahnya sudah membumbung tinggi melampaui batas kesabarannya. Apalagi setiap melihat wajah Theo, kejadian menjijikan yang ia lihat kemarin pun seolah kembali berkelebatan bak kaset usang yang diputar terus tanpa henti. "Nia ... aku tau aku salah, tapi aku mohon, Nia, jangan sampe kita putus ya. Aku gak mau kalo kita harus berakhir," ujar Theo mulai bersuara lagi. Akan tetapi, Agnia bahkan sudah tak sudi untuk sekadar balas memandang ke arah si lelaki. "Aku minta maaf, aku khilaf, Nia...." "Gue gak bisa," desis Agnia dingin. Giginya bergemerutuk di tengah ia yang berusaha keras untuk menahan diri agar tidak sampai bermain fisik pada lelaki di hadapannya. "Please, Nia. Aku gak siap kalo harus kehilangan kamu." "TERUS KENAPA?" Agnia menyalang. Kali ini, dia terpaksa menatap Theo dengan sorot amarah yang kentara. "Kenapa lo harus tidur sama sahabat gue kalo pada akhirnya lo gak mau kehilangan gue, hah?" Theo diam. Kepalanya tertunduk penuh sesal. Membuat Agnia melangkah maju penuh berani, seolah tak ingin melepaskan Theo dari cengkeraman murkanya. "Sejak kapan, hah? UDAH BERAPA KALI LO LAKUIN ITU SAMA NURI, THEO?" lontar Agnia meradang. Entah kenapa, tapi dia amat yakin bahwa apa yang Theo dan Nuri lakukan kemarin pasti bukan yang pertama kalinya. Lagi, Theo hanya bisa bungkam. Di saat seperti ini, dia bahkan tidak bisa asal sebut karena tentu saja resikonya akan semakin buruk. "JAWAB, BRENGSEK!" Desak Agnia. Kali ini, Agnia juga sudah sampai ke tahap berani mengguncang bahu Theo sambil tak gentar menatapnya berang. "Ti-tiga kali," cicit Theo lirih. Namun, tentu masih bisa terdengar dengan jelas dan nyata oleh telinga Agnia yang seketika pula terperangah. "Tiga kali?" Desis Agnia tertawa miris. Rupanya, selama ini Agnia benar-benar ditipu oleh kepolosan Nuri dan sok setianya Theo. Tanpa ia duga, ia justru telah dikhianati sebegitu dalamnya oleh dua manusia bejat tersebut. Cengkeraman tangan di bahu Theo merosot lunglai. Bersamaan itu, tungkai kaki Agnia pun mendadak lemah tak bertenaga. Membuat ia nyaris limbung, tetapi dengan sigap Theo menopangnya. "GAK USAH PEGANG-PEGANG!" teriak Agnia menolak. Disusul dengan air mata yang mengucur deras di kedua belah pipinya. "Aku minta maaf, Nia...." bisik Theo sendu. Sementara itu, Agnia menggeleng lemah sembari tertawa menyedihkan. "Tiga kali lo bilang khilaf? Damn! Dan sekarang lo masih berharap gue maafin lo?" Tutur Agnia tak habis pikir. Sepintas, Agnia mendengkus kecut sebelum akhirnya memilih pergi dan membiarkan Theo benar-benar sendiri. Tidak lupa, Agnia juga menyambar tasnya tanpa berminat untuk memberi Theo kesempatan mengucap sepatah kata pun. *** Mobil Irgi baru saja masuk ke garasi rumahnya. Beranjak turun, Irgi yang sebenarnya sudah diminta untuk datang ke kampus pun terpaksa harus pulang dulu demi mengganti pakaiannya yang sejak kemarin masih ia kenakan. Kebetulan, stok baju ganti yang selalu ia bekal di mobil sedang kosong. Dan Irgi pun belum ada asisten lagi untuk bisa ia suruh-suruh. "Selamat pagi, Tuan..." Seorang wanita paruh baya muncul menyambut. Dia adalah Minah, pembantunya. Irgi mengangguk singkat. Lalu, terus berjalan menuju tangga. "Maaf, Tuan ... tadi malam ada telepon dari Jerman," ujar Minah menginfokan. Cukup berhasil membuat Irgi menghentikan ayunan langkahnya. Sejenak, Irgi menoleh dan menatap Minah dengan sebelah alis yang terangkat. "Apa katanya?" Tanya pria itu dingin. "Beliau menanyakan keberadaan Tuan. Katanya, tidak biasanya Tuan sulit dihubungi," sahut Minah seadanya. Beberapa saat, Irgi merogoh ponselnya dari dalam saku celana. Melihatnya sebentar, lalu bersikap abai setelahnya. Irgi bergumam singkat. Dilanjut dengan mengayunkan langkahnya lagi menaiki tangga. Tampak tak berminat untuk memberi respon yang Minah sampaikan, tetapi sudah dianggap biasa hingga membuat Minah tak perlu lagi banyak bertanya.Irgi baru tiba di halaman rumah sekitar pukul 18.00 wib. Untuk sesaat, pria itu melonggarkan dasinya di kerah kemeja. Guratan letih pun terpancar jelas di raut wajahnya yang tampan.Sejenak, Irgi menghela nafasnya panjang. "Ahh ... bibir lo kenyal banget kayak permen jelly." Sebelum beranjak turun dari mobil, Irgi memilih untuk memutar ulang rekaman yang sempat ia unduh dari CCTV mobilnya. Diam-diam, ia menikmati setiap apa yang terjadi dalam rekaman tersebut. Terutama, pada bagian Agnia yang tak henti menyosornya. "Agnia," desis Irgi bersuara berat. Dalam sekejap, menaikkan libidonya hingga menimbulkan sesuatu yang mengeras dari balik celananya. Untuk sesaat, Irgi mengumpat lirih. "Damn!"Kemudian, pria itu menghentikan tayangan rekaman pada ponselnya, dan bergegas mencari nomor kontak Agnia untuk dihubungi kembali.Siang tadi pun sebenarnya Irgi sudah siap menjemput. Namun mendadak, rektor memintanya ikut hadir dalam acara penting bersama para donatur kampus yang tak bisa ditola
"P-Pak Irgi?" Lontar Agnia tersendat. Merasa sangat kaget karena entah dari mana dosennya ini bisa tahu nomor ponselnya. "Kamu sedang sibuk?" Tanya Irgi kemudian.Agnia gelagapan. Belum tuntas rasa kagetnya, dia justru malah harus diterpa kebingungan dengan pertanyaan dosennya sekarang. Membuat Agnia memutar otak, hingga ia merasa harus bertanya lagi."Me-memangnya ada apa ya, Pak? Dan ... da-dari siapa Bapak tau nomor saya," tukas Agnia tergagap. Bahkan, jantungnya pun ikut bertalu saking terkejutnya ia ditelepon sang dosen. "Sore ini bisa bertemu?" Agnia mendesis. Alih-alih menjawab pertanyaan, dosennya ini malah seenak jidat terus bertanya. Menyebabkan emosi Agnia terpacu, di tengah usahanya menahan diri agar tidak keceplosan berkata kasar pada dosennya ini."Di-dimana, Pak?" Kali ini, Agnia menyerah. Biar saja nanti Agnia tanyakan lagi ketika mereka bertemu."Saya kirim lokasinya," ujar Irgi datar. Dalam sekejap, membuat Agnia menelan ludahnya kesat karena seolah baru sadar ba
Bukannya segera bersiap, Irgi malah merebahkan tubuhnya di atas ranjang di dalam kamar. Padahal, sebelumnya ia ditelepon oleh asisten rektor yang menginfokan bahwa dirinya diminta untuk hadir dalam rapat bulanan para dosen dan staf kampus. Namun, setelah melepas kemejanya dan melemparnya ke dalam ranjang cucian, ia malah berbaring termenung dengan menjadikan satu lengannya sebagai bantal kepala. "Emh ... ahh, enak banget." Tanpa sadar, Irgi membayangkan wajah agresif Agnia saat sedang mendesah keenakan. Perlahan, kejadian tadi malam pun kembali Irgi tarik hingga berkelebatan jelas di benaknya."Ya ... ahh di situ, nikmat sekali." Racauan Agnia ketika sedang melakukan penyatuan semalam, rupanya benar-benar mengganggu kedamaian pikirannya. Menyebabkan Irgi mendesis kesal, karena untuk kedua kalinya, Irgi merasa libidonya naik ke permukaan."Sial! Apa yang sebenarnya terjadi padaku," bisiknya mendecak. Kemudian, ia lekas menarik diri dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri
Agnia menahan diri untuk tidak berlaku kasar pada lelaki di hadapannya. Paling tidak, sampai neneknya undur diri untuk memberi waktu pada cucunya berduaan dengan si lelaki. Walau sebenarnya Agnia merasa tak sudi jika harus berinteraksi lagi dengan Theo, tapi sepertinya ini adalah satu-satunya kesempatan yang Agnia punya sebelum mungkin nanti Agnia akan benar-benar memblokade lelaki itu agar tak lagi masuk ke hidupnya."Ya sudah, kalian kalau mau ngobrol silahkan. Kebetulan nenek mau ke warung dulu buat beli sayuran. Kalau ada yang harus diselesaikan ... selesaikan dengan cara baik-baik. Kalian, kan, sudah sama-sama dewasa juga," tukas Desi memberi nasehat. Walau tidak tahu pasti permasalahan yang menimpa kedua sejoli itu, tapi neneknya ini cukup peka bahwa sang cucu diduga sedang berselisih paham dengan pacarnya itu.Theo mengangguk kikuk. Sempat menyahut sedikit, agak berbasa-basi. Lain hal dengan Agnia, sejak diajak masuk ke dalam oleh neneknya, ia memilih untuk diam di tengah per
Setelah menyelesaikan urusan sarapannya di kafe yang tadi mereka kunjungi, akhirnya Irgi memutuskan untuk mengantarkan Agnia pulang sebelum aktivitas hariannya kembali dimulai.Selama di perjalanan, keduanya memilih diam. Lebih tepatnya, Irgi seolah membatasi Agnia untuk banyak bicara apalagi jika harus membahas soal permintaan Agnia sebelumnya. Setidaknya, sampai Irgi siap kembali membuka topik pembicaraan tersebut."Bapak turunin saya di depan aja," celetuk si wanita memecah sunyi. Sejenak, Irgi menaikkan sebelah alisnya di tengah ia yang melirik ke sumber suara. "Kenapa?" Tanyanya datar.Mendecak pelan, Agnia yang balas melirik pun menjawab, "Ya gak kenapa-kenapa, Pak! Saya cuma gak mau aja kalo sampe nenek saya liat saya diantar sama bapak.""Alasannya?" Irgi menoleh singkat.Sedikit membuat Agnia jengkel, tapi tetap saja ia harus memberi jawaban. "Nenek saya galak," ujarnya bohong. Padahal, Agnia hanya tidak mau jika sampai neneknya banyak bertanya mengenai siapa dan kenapa Agn
PLAK.Satu tamparan telak telah mendarat sempurna di pipi Beni. Agnia menatap marah seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kenapa lo lakuin itu ke gue, Ben?" Beni menunduk. Disaksikan oleh Irgi yang anteng melipat kedua tangannya di dada."JAWAB, BENI!" raung Agnia kesal. Lelaki itu tampak ragu bahkan untuk sekadar menaikkan pandangan. Akan tetapi, Agnia terus mendesak hingga akhirnya Beni terpaksa buka suara."Maafin gue, Nia. Gue khilaf," gumam Beni setia menunduk. Namun, sepertinya Agnia tidak cukup puas dengan jawaban yang Beni layangkan."Saya sudah melaporkan perbuatanmu pada pemilik bar di mana kamu bekerja."Mendengar itu, Agnia yang berniat untuk meluapkan lagi kekesalannya pada Beni pun turut menoleh ke sumber suara."Karena itu merupakan tindakan kejahatan, saya juga akan melaporkan temanmu ini pada pihak berwajib. Itupun, jika kamu mau …." ucap Irgi memberi akses. Tentu saja, hal itu membuat Beni ketakutan hingga tanpa diduga, ia sigap bersimpuh di kaki Agnia. "Jangan







