LOGINBukannya segera bersiap, Irgi malah merebahkan tubuhnya di atas ranjang di dalam kamar. Padahal, sebelumnya ia ditelepon oleh asisten rektor yang menginfokan bahwa dirinya diminta untuk hadir dalam rapat bulanan para dosen dan staf kampus.
Namun, setelah melepas kemejanya dan melemparnya ke dalam ranjang cucian, ia malah berbaring termenung dengan menjadikan satu lengannya sebagai bantal kepala. "Emh ... ahh, enak banget." Tanpa sadar, Irgi membayangkan wajah agresif Agnia saat sedang mendesah keenakan. Perlahan, kejadian tadi malam pun kembali Irgi tarik hingga berkelebatan jelas di benaknya. "Ya ... ahh di situ, nikmat sekali." Racauan Agnia ketika sedang melakukan penyatuan semalam, rupanya benar-benar mengganggu kedamaian pikirannya. Menyebabkan Irgi mendesis kesal, karena untuk kedua kalinya, Irgi merasa libidonya naik ke permukaan. "Sial! Apa yang sebenarnya terjadi padaku," bisiknya mendecak. Kemudian, ia lekas menarik diri dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus meredam hasrat yang terpancing karena bayangan yang ia hadirkan sendiri. Setelah selesai dengan urusan kamar mandinya. Irgi yang sedang mengambil pakaian di walk in closet pun lagi-lagi malah bergeming karena bayangan Agnia yang tak berbusana pun malah mengelebat nyata di pelupuk mata. "Damn!" Pria itu mengumpat. Seolah tidak mau terus dihantui oleh bayangan panas yang terjadi semalam, Irgi pun buru-buru menyambar satu setel pakaian kerja dengan asal. Sesudahnya, ia segera memakai pakaian itu dan bergegas meninggalkan kamar tanpa lupa membekal ponselnya. "Permisi, Tuan ..." Irgi menoleh ke sumber suara tepat ketika ia baru selesai memakai pentofelnya. "Ini ada telepon," ujar Minah menyodorkan telepon rumah tanpa kabel ke arah majikannya. Sejenak, Irgi menatap telepon itu yang kemudian ia ambil dan ditempelnya ke telinga. "Halo," sahut pria itu datar. "Ya ampun, Mas ... kamu kemana aja? Dari semalam aku telpon kamu, kok, susah banget kamu dihubungi." Memutar bola matanya malas, Irgi yang tidak tertarik bicara panjang lebar dengan si penelepon pun sontak menjawab, "Aku sibuk. Aku sudah ditunggu staf kampus untuk rapat." "Tapi, Mas. Aku perlu bicara sama kamu. Apa bahkan kamu–" Terlambat! Irgi sudah lebih dulu memutuskan panggilan sebelum sempat mendengar kalimat si penelepon hingga selesai. Sesudah mengembalikan telepon itu ke pembantunya, Irgi langsung melengos tanpa kata. *** Tidak membutuhkan waktu lama, Irgi akhirnya tiba di parkiran kampus. Setelah memastikan tidak ada yang lupa ia bawa serta, barulah pria itu beranjak turun dari mobil dan sigap melenggang meninggalkan areal parkir dalam langkah tegasnya. Tiba-tiba, di tengah perjalanan menuju ke aula rapat, Irgi teringat sesuatu. Seharusnya, ia meminta nomor ponsel Agnia terlebih dahulu sebelum tadi ia melesatkan kemudinya. Membuatnya spontan mendecak, bersamaan dengan munculnya salah seorang dosen yang menyapa. "Selamat pagi menjelang siang, Pak Irgi..." Mengangguk kecil, Irgi lanjut berkata, "Anda ini dosen muda yang juga mengajar di kelasnya Agnia Kirana, kan?" Untuk sesaat, Roni yang diberi pertanyaan pun tampak mengangguk dan menjawab, "Ya betul, Pak Irgi. Agnia Kirana yang mahasiswi berprestasi itu, kan, maksud Pak Irgi?" Irgi mengangguk. "Dari siapa saya bisa mendapatkan nomor kontaknya?" Mengerjap, Roni yang sedikit kurang paham pun lantas bertanya, "Nomor kontak gimana, Pak? Maksudnya, Pak Irgi membutuhkan nomor ponselnya Agnia?" "Ya." Irgi menjawab singkat. "Ah, ya, ya, ya. Kebetulan saya punya, dulu ... Agnia pernah ikut les bimbingan saya di semester awal dia masuk ke kampus ini. Saya rasa, nomornya juga tidak pernah diganti." "Boleh kirim ke saya?" Tatap Irgi datar. Namun, matanya sedikit berkilat ketika melihat lawan bicaranya mengangguk setuju. Sesaat kemudian, ponsel Irgi bergetar. Dia tebak jika itu adalah pesan masuk dari Roni yang baru saja mengirimkan nomor Agnia. Tanpa perlu repot membukanya lebih dulu, Irgi lalu menepuk pundak Roni sambil berkata, "Terima kasih. Saya duluan." Irgi merasa tidak perlu berbasa-basi lagi pada Roni. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, tentu saja langkahnya dilanjut lagi. Meninggalkan Roni di belakang, bersama dengan setitik rasa penasaran yang kemungkinan besar mendera Roni. Namun, Irgi peduli apa pada Roni. Yang jelas, sekarang ia sudah mengantongi nomor kontak Agnia. Nanti ketika luang, mungkin ia akan mencoba mengetesnya. *** Pasca berseteru dengan Theo, rupanya sisa emosi di dalam diri Agnia masih membekas meski tak separah di awal. Demi Tuhan! Hati Agnia sakit seperti ditusuk ribuan jarum yang amat tajam. Masih tidak menyangka jika Theo akan sampai hati menyelingkuhinya. Padahal, dulu saat masih SMA, dia terkategori sebagai laki-laki setia yang tahan godaan. "Kamu yakin gak tertarik sama Nadia?" Theo menggeleng. "Setelah ada kamu, perempuan lain gak begitu menarik lagi di mataku. Lagipula, kenapa sih nanya gitu terus? Kamu bosen ya pacaran sama aku?" Agnia mendecak. "Aku gak ada bilang gitu ya, Theo! Cuma ngetes aja, kata orang, Nadia itu cantik dan menarik. Ya siapa tau kamu sependapat sama mereka," tukas Agnia nyengir. Membuat Theo sontak mendengkus dan menjawil hidung bangir Agnia. "Mereka ya mereka, aku beda lagi. Udah ah, jangan overthinking! Nanti malem, kita jadi dinner, kan, sayang?" Agnia memejamkan matanya pedih. Kembali teringat akan betapa manisnya Theo kala itu. Laki-laki yang dulu mencintainya dengan sangat besar, dan Agnia pun menyayanginya sepenuh hati. Justru, sekarang malah menjadi sosok yang paling Agnia benci. "Enggak baik anak gadis ngelamun sendirian di belakang rumah. Ayo masuk! Lagian kamu gak ke kampus?" Lamunan Agnia buyar seiring dengan munculnya sang nenek melayangkan teguran. Wanita itu menoleh ke arah neneknya, sejenak menggeleng, kemudian bangkit dan ikut berjalan mengekori Desi. "Hari ini aku gak ada kelas, Nek." Agnia menjawab ketika sudah di dalam rumah. "Pantes. Lalu, tidur di mana kamu semalam?" Desi kembali bertanya. Mengingat belum ada jawaban yang jelas perihal ini, maka Desi pikir tidak ada salahnya jika ia menanyakannya lagi. Agnia menghela napas. "Di rumah temen," gumamnya bohong. Andai saja neneknya tahu jika tadi malam ia tidur di hotel bahkan seranjang dengan pria matang yang adalah dosennya sendiri, maka dapat dipastikan jika penyakit jantung yang diderita sang nenek akan kembali kambuh. "Kok, Nak Theo gak dikasih tahu? Berantem?" Agnia diam. Sejujurnya, ia ingin sekali memberi tahu neneknya. Tapi apalah daya, Agnia takut kalau neneknya sampai unfall jika dia tahu tabiat Theo yang sebenarnya. Di tengah diamnya Agnia, tiba-tiba ponsel yang dikantonginya terasa bergetar. Sepertinya ada telepon masuk, sehingga dengan segera Agnia merogohnya dan melihat nama pemanggil yang tertera. Namun, saat tahu bahwa yang menghubunginya adalah Theo, tanpa segan Agnia pun mematikan panggilannya sebelum sempat ia jawab. "Nak Theo ya? Padahal angkat aja, mungkin ada hal penting yang mau dibicarakan," lontar neneknya menduga. Agnia mendecak. "Lagi males ngomong. Udah ah, Nia ke kamar aja ya. Ngantuk," cetus wanita itu sambil beranjak. Meninggalkan Desi di ruang tengah, dan berjalan menuju kamarnya bersamaan dengan ponselnya yang kembali bergetar. Agnia geram setengah mati. Daripada dipendam takutnya jadi penyakit hati, maka Agnia pikir tidak ada salahnya juga kalau dia menjawab panggilan tersebut. Lumayan, dia bisa memaki Theo lagi demi meluapkan rasa marahnya yang masih tersisa banyak. Lalu tanpa sempat melihat lagi nama pemanggil yang tertera, gegas saja Agnia menekan tombol hijau di layar. Ditempelkannya ponsel itu di telinga, dan dengan cepat Agnia pun berseru, "Mau apa lagi sih lo?" "Saya Irgi," ungkap si penelepon. Hening sejenak, lalu mata Agnia terbelalak sempurna setelah sempat mengintip nama pemanggil dari layar ponsel yang ia jauhkan dari telinganya.EMERGENCY!!Tiba-tiba, alarm tanda bahaya seketika muncul dari dalam benak Agnia tatkala menyadari bahwa sekarang dirinya sedang dikelabui oleh pemuda desa yang sempat menawarkan diri untuk mengantarnya pulang ke alamat tertuju. Padahal, Agnia sudah meyakinkan diri jika ia tidak akan sampai dibawa kemana-mana oleh pemuda desa ini selain ke rumah mendiang neneknya Irgi. Akan tetapi, disinilah Agnia sekarang. Di antara semak belukar yang wanita ini sendiri langsung menyadari bahwa dirinya sedang dalam bahaya. “Heh, Bang … sebenernya lo mau bawa gue kemana, sih? Perasaan tadi pas berangkat dari rumah menuju pasar malam, gue gak ada ngelewat semak-semak kayak gini,” lontar Agnia yang berjalan di depan si pemuda. Mulai melayangkan protes sebelum perjalanan semakin ngaco apalagi jika sampai menjauhi peradaban.“Ini jalan yang bener kok, Neng. Mungkin, Neng geulis lupa lagi kalo tadi sempat juga lewat ke sini,” sahut pemuda itu beralasan. Membuat Agnia sontak berhenti dari gerak langkahny
“Cemburu?” Irgi membeo. Merasa tak percaya dengan asumsi pria paruh baya di hadapannya itu. Mengingat Agnia yang selalu menolak setiap kali Irgi memintanya untuk berada di sampingnya, maka tentu saja Irgi tak akan semudah itu untuk sependapat dengan ayah dari sahabatnya ini. “Kalau bukan cemburu, lantas apa lagi sebutannya? Kalian menikah sudah berapa lama memangnya? Kok, kayaknya kamu masih belum bisa peka sama cara ngambek istrimu,” celetuk Kosim bertanya-tanya.Dalam sekejap, cukup berhasil membuat Irgi didera gugup walau tak terlalu gamblang ia menunjukkan. “Bukan begitu, Pak Kosim. Hanya saja, sebelumnya saya sudah memberitahu Agnia bahwa Hanifah adalah adik dari sahabat saya. Lagipula, kami juga ngobrol seperti pada umumnya orang berbincang santai. Tidak ada gelagat yang mencurigakan yang sampai harus membuat siapapun mengira jika di antara kami ada sesuatu yang dianggap hubungan istimewa,” tutur Irgi menguraikan. Akan tetapi, justru membuat Kosim refleks terkekeh dan menepu
“Punten, Kang,” celetuk sebuah suara menginterupsi. Dalam sekejap, Irgi pun menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang perempuan berjilbab hitam tengah meringis canggung padanya. Mengernyitkan dahinya spontan, Irgi yang semula sedang asyik berbincang dengan Hanifah pun kini sudah mengalihkan perhatiannya penuh terhadap si perempuan berjilbab tersebut. “Ada apa ya?” tanya pria itu menatap bingung.“Sebelumnya saya minta ya, Kang. Tapi, perempuan tadi yang Akang suruh buat pilih-pilih pakaian di stand saya, itu istrinya apa adiknya ya? Ah … pokoknya, siapapun itu, dia tadi mutusin untuk gak jadi beli bajunya. Justru, saya malah disuruh tanya Akangnya saja kata si tetehnya tadi. Makanya saya kesini karena buat mastiin aja kalau-kalau Akangnya mau jadi beli atau enggak,” urai si pelayan stand memberanikan diri untuk meminta kejelasan. Pasalnya, sebagai seorang pelayan yang sudah dipercaya oleh pemilik stand-nya untuk menangani konsumen yang masuk ke stand, perempuan ini dianjurkan u
“Udah ya, Pak. Kalo sekiranya udah gak sanggup buat lanjut cerita, Bapak gak usah maksain lagi. Paling nggak, saya sudah bisa menangkap garis besarnya, kok, walaupun Bapak gak ceritain seluruhnya…” ucap Agnia tak ingin memaksa.Dia cukup peka saat ini. Apalagi setelah melihat Irgi yang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak meluapkan amarahnya di depan Agnia, membuat sang wanita lantas mengulurkan tangannya impulsif guna memberi usapan lembut di pundak dosennya. “Saya turut prihatin ya, Pak. Minimal, sekarang saya jadi tau penyebab Bapak selalu bersikap dingin selama di lingkungan kampus. Karena emang Bapak sengaja jadiin watak dingin itu sebagai tameng dari rasa sakit hati Bapak itu, kan?” lontar Agnia menebak. Tidak peduli jika pun ia salah dengan tebakannya. Yang jelas, kini Agnia sudah sedikit lebih paham dengan kesakitan Irgi di masa lalu bahkan hingga hari ini. Irgi masih bergeming. Namun, perlahan ia pun menaikkan pandangannya. Beradu tatap dengan sang wanita, yang kini seda
“Ru-Rumah Bapak?” beo Agnia tersendat. Menyudahi aksi bersandarnya, Irgi kini sudah kembali duduk tegak seraya mengangguk dan menatap sang wanita serius. “Ya. Menjadi tempat saya pulang ketika letih. Rumah yang benar-benar nyaman, dan tidak seorang pun boleh menempati rumah itu kecuali saya seorang,” tandas Irgi posesif. Untuk sesaat, berhasil telak membuat Agnia tercenung kaget di tengah Irgi yang sigap bangkit dari duduknya dan menggeser meja kayu di hadapannya agak menjauh. Dilanjut dengan ia yang mengambil posisi berlutut, tepat di depan Agnia yang masih duduk di kursi. “Jadilah rumah saya, Agnia. Bukan untuk sementara, melainkan sampai saya meregang nyawa pada suatu hari nanti…” pinta sang pria sangat serius. Menyorotkan pandangan penuh permohonannya pada Agnia seolah ia sedang melamar si wanita secara tidak langsung. Agnia termangu. Kini, pria itu tidak hanya meminta dirinya menjadi miliknya. Tetapi bahkan lebih-lebih dari hanya sekadar memiliki. “Saya tahu ini seperti sed
“Biasanya, doa anak kecil yang masih polos seperti mereka cenderung cepat dikabulkan sama Tuhan. Makanya, saya bantu aminkan saja dulu. Perihal sisanya, biar Tuhan saja yang mengatur,” celetuk Irgi melirik ke sebelahnya. Dilanjut dengan menunjukkan ekspresi jahil yang tentu saja membuat Agnia mendelik seraya berkata, “Apaan sih, Pak! Bapak ngebet banget punya anak kayaknya. Sama istri sendiri emang gak pernah usaha bikin? Kok, ngodenya malah sama saya mulu perasaan. Ajakin istrinya aja sana, Pak, kalo udah gak tahan pengen keturunan.” Entah Agnia yang keterlaluan dalam menyahut, atau memang si prianya saja yang sedang berhati sensitif. Mendengar lontaran kalimat si wanita barusan, Irgi pun mendadak murung di tengah kepala yang menunduk lunglai. Melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh sang pria, sontak membuat Agnia menjadi peka hingga ia langsung didera perasaan menyesal tatkala mendapati Irgi yang tahu-tahu sudah melenggang sendiri tak mengajak si wanita. “Loh, Pak!” Agn







