LOGINSetelah menyelesaikan urusan sarapannya di kafe yang tadi mereka kunjungi, akhirnya Irgi memutuskan untuk mengantarkan Agnia pulang sebelum aktivitas hariannya kembali dimulai.
Selama di perjalanan, keduanya memilih diam. Lebih tepatnya, Irgi seolah membatasi Agnia untuk banyak bicara apalagi jika harus membahas soal permintaan Agnia sebelumnya. Setidaknya, sampai Irgi siap kembali membuka topik pembicaraan tersebut. "Bapak turunin saya di depan aja," celetuk si wanita memecah sunyi. Sejenak, Irgi menaikkan sebelah alisnya di tengah ia yang melirik ke sumber suara. "Kenapa?" Tanyanya datar. Mendecak pelan, Agnia yang balas melirik pun menjawab, "Ya gak kenapa-kenapa, Pak! Saya cuma gak mau aja kalo sampe nenek saya liat saya diantar sama bapak." "Alasannya?" Irgi menoleh singkat. Sedikit membuat Agnia jengkel, tapi tetap saja ia harus memberi jawaban. "Nenek saya galak," ujarnya bohong. Padahal, Agnia hanya tidak mau jika sampai neneknya banyak bertanya mengenai siapa dan kenapa Agnia bisa diantar pulang oleh pria matang ini setelah tadi malam Agnia tak kelihatan menginjakkan kakinya di rumah. "Oh," gumam Irgi pendek. Namun, cukup berhasil memancing Agnia untuk memekik keki. "Cuma oh lagi?" Irgi menggedikan bahu. "Memangnya, kamu berharap saya bilang apa?" Mendengar itu, Agnia pun dirundung kesal setengah mati. Namun, tidak bisa juga menyalahkan pria di sebelahnya. Alhasil, setelah tak ada lagi yang perlu mereka bincangkan, Agnia kembali diam di tengah rasa dongkol yang menyergap. Sementara Irgi, dia tampak fokus menyetir bersamaan dengan ponselnya yang bergetar. Sigap, dia menekan tombol kecil yang ada di earphone bluetooth-nya. "Ya." Sejenak, Agnia menoleh dan sempat memperhatikan raut wajah sang pria yang selalu terlihat tenang dan serius. Sialnya lagi, ekspresi semacam itu rupanya malah membuat Agnia sedikit terpesona. "Ya, saya akan segera ke sana," pungkas Irgi lugas. Setelahnya, ia pun mengakhiri percakapannya dengan si penelepon. Tidak mau terciduk karena sempat memandangi sang dosen, Agnia pun buru-buru mengalihkan perhatiannya ke titik lain. Di samping itu, Irgi yang masih sibuk menyetir pun lalu berkata, "Sesuai permintaan, kamu saya turunkan di depan." Mengangguk, Agnia pun bergumam lirih, "Makasih." Menoleh sekilas, Irgi yang sempat menatap beberapa saat turut mengangguk juga seiring dengan mobilnya yang ia tepikan tepat sasaran. "Sudah sampai," ujar Irgi memberi tahu. Agnia yang sadar dengan lokasi tempat ia minta diturunkan pun lantas membalas, "Iya. Saya turun kalo gitu." Irgi diam. Namun, di sela itu melalui sudut matanya ia memperhatikan pergerakan Agnia dimulai dari dia yang melepas sabuk pengaman di tubuhnya, sampai pada Agnia yang membuka pintu hingga beranjak turun dari mobilnya. Selepas memastikan Agnia benar-benar turun dan menutup kembali pintu mobil, Irgi pun memutuskan untuk gegas melaju bersamaan dengan Agnia yang hendak berterima kasih kembali secara formal. "Makasih ya, Pak. Udah anter saya sampe depan rum... ah," tutur Agnia dongkol. Padahal, ia belum sempat berterima kasih secara resmi kepada dosennya itu. Namun, siapa sangka jika sang dosen malah keburu mengemudikan lagi mobilnya tanpa sedikit pun basa-basi berpamitan. "Buset, deh. Untung aja dia dosen gue. Kalo bukan ... udah gue santet juga kali dia sampe muntah paku," gerutu Agnia geram. Kemudian, ia lekas berjalan sedikit mengentak meninggalkan tempat di mana ia diturunkan sesuai permintaan oleh si pemilik mobil tadi. *** "Jadi, semalaman Agnia gak ada pulang?" Seorang wanita tua tampak menggeleng. Dia baru kembali dari dapur sambil membawa nampan berisi cangkir teh hangat buatannya sendiri. "Gak ada loh, Nak Theo. Nenek telponin juga gak nyambung terus. Gak tau nginep di mana anak ini semalam, bikin orang khawatir aja," ungkap wanita tua yang bernama Desi itu mendecak. Mendengar penuturan nenek Agnia, pemuda yang tak lain adalah pacar dari Agnia ini pun termenung sejenak. Menerka-nerka, keberadaan Agnia sejak terakhir kali perempuan itu pergi dari unit apartemen Nuri pasca menciduk perbuatannya di sana. "Tapi, nenek udah coba hubungin teman-temannya belum? Barangkali aja Agnia nginep di rumah salah satu temannya," lontar Theo bantu berpikir. Menghela napas, Desi lalu mendaratkan bokongnya ke atas kursi sembari menyuguhkan teh buatannya ke arah Theo. "Diminum dulu, maaf nenek cuma bisa bikin teh," tukas wanita tua itu tersenyum tipis. "Gak apa-apa, Nek. Gak usah repot-repot juga padahal," sahut Theo sungkan. "Gak repot, kok. Wong cuma teh," dengkus Desi tak masalah. "Oh iya, nenek sebenernya gak punya nomor telepon teman-temannya Nia, Nak Theo. Makanya, sejak semalam pun nenek gak bisa tidur nyenyak gara-gara mikirin anak ini," imbuh Desi mendesah berat. Sementara itu, Theo bergeming dan berpikir bahwa selain Nuri, sepertinya Agnia memang tidak memiliki teman dekat lainnya. Jika dengan Nuri saja Agnia ada konflik besar, lantas ... pada siapa lagi Agnia mengadu? "Nia pulang, Nek!" Seru sebuah suara dari luar. Dalam sekejap, membuat Theo juga Desi beradu pandang dan rasa lega seketika membanjiri dada Desi ketika akhirnya ia bisa mendengar lagi suara cucunya yang semalaman tak pulang. "Agnia...." Desi sigap bangkit. Walau sudah usia lanjut, tapi tentu ia masih terlihat bugar dan gesit dalam bergerak. Theo sendiri tak ikut menyusul. Ia memilih tetap duduk sampai mungkin nanti Agnia masuk dan melihatnya ada di sini. "Nia, kamu dari mana aja sih?" Lontar Desi on point, tepat ketika pintu ia buka dan mendapati cucunya sedang berdiri di teras rumah. Tersenyum kikuk, Agnia yang merasa bersalah karena baru sempat pulang pun lalu beringsut maju memeluk neneknya. "Maafin, Nia ya, Nek. Nenek pasti khawatir banget kan karena semalaman Nia gak ada kabar," cicit Agnia masih memeluk. Sejenak mengusap punggung neneknya lembut, bersamaan dengan munculnya seseorang yang bahkan tidak pernah ia kira akan seberani itu dia menunjukkan lagi wajahnya di depan Agnia setelah apa yang dilakukannya kemarin. "Katanya nenek gelisah banget loh, Sayang. Aku juga sama, gak tenang banget pas tau semalam kamu gak pulang," celetuk orang itu tiba-tiba. Berhasil telak membuat tubuh Agnia menegang, disusul dengan Desi yang memutuskan untuk menyudahi pelukannya. Untuk pertama kalinya, Agnia merasa mual tatkala berhadapan langsung dengan laki-laki bejat seperti sosok yang saat ini berdiri santai di ambang pintu. Seperti tamu tak diundang, Theo tahu-tahu datang memperburuk suasana hatinya. Bahkan dalam ingatannya, Agnia kembali membayangkan saat-saat Theo yang menindih tubuh Nuri di atas ranjang. "Nia ... kamu tidur dimana tadi malam? Nak Theo sampe kaget juga loh pas tau kamu gak pulang. Lagipula, kok, bisa-bisanya juga kamu gak kabarin pacarmu ini?" Komentar Desi mendesah pelan. Mau tidak mau, Agnia pun mendadak terhambat untuk sekadar mendamprat Theo di depan neneknya. Mengingat Desi memiliki riwayat penyakit jantung akut yang apabila mendengar sesuatu penuh kejut, maka boleh jadi akan berpengaruh besar pada kesehatan jantungnya itu.EMERGENCY!!Tiba-tiba, alarm tanda bahaya seketika muncul dari dalam benak Agnia tatkala menyadari bahwa sekarang dirinya sedang dikelabui oleh pemuda desa yang sempat menawarkan diri untuk mengantarnya pulang ke alamat tertuju. Padahal, Agnia sudah meyakinkan diri jika ia tidak akan sampai dibawa kemana-mana oleh pemuda desa ini selain ke rumah mendiang neneknya Irgi. Akan tetapi, disinilah Agnia sekarang. Di antara semak belukar yang wanita ini sendiri langsung menyadari bahwa dirinya sedang dalam bahaya. “Heh, Bang … sebenernya lo mau bawa gue kemana, sih? Perasaan tadi pas berangkat dari rumah menuju pasar malam, gue gak ada ngelewat semak-semak kayak gini,” lontar Agnia yang berjalan di depan si pemuda. Mulai melayangkan protes sebelum perjalanan semakin ngaco apalagi jika sampai menjauhi peradaban.“Ini jalan yang bener kok, Neng. Mungkin, Neng geulis lupa lagi kalo tadi sempat juga lewat ke sini,” sahut pemuda itu beralasan. Membuat Agnia sontak berhenti dari gerak langkahny
“Cemburu?” Irgi membeo. Merasa tak percaya dengan asumsi pria paruh baya di hadapannya itu. Mengingat Agnia yang selalu menolak setiap kali Irgi memintanya untuk berada di sampingnya, maka tentu saja Irgi tak akan semudah itu untuk sependapat dengan ayah dari sahabatnya ini. “Kalau bukan cemburu, lantas apa lagi sebutannya? Kalian menikah sudah berapa lama memangnya? Kok, kayaknya kamu masih belum bisa peka sama cara ngambek istrimu,” celetuk Kosim bertanya-tanya.Dalam sekejap, cukup berhasil membuat Irgi didera gugup walau tak terlalu gamblang ia menunjukkan. “Bukan begitu, Pak Kosim. Hanya saja, sebelumnya saya sudah memberitahu Agnia bahwa Hanifah adalah adik dari sahabat saya. Lagipula, kami juga ngobrol seperti pada umumnya orang berbincang santai. Tidak ada gelagat yang mencurigakan yang sampai harus membuat siapapun mengira jika di antara kami ada sesuatu yang dianggap hubungan istimewa,” tutur Irgi menguraikan. Akan tetapi, justru membuat Kosim refleks terkekeh dan menepu
“Punten, Kang,” celetuk sebuah suara menginterupsi. Dalam sekejap, Irgi pun menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang perempuan berjilbab hitam tengah meringis canggung padanya. Mengernyitkan dahinya spontan, Irgi yang semula sedang asyik berbincang dengan Hanifah pun kini sudah mengalihkan perhatiannya penuh terhadap si perempuan berjilbab tersebut. “Ada apa ya?” tanya pria itu menatap bingung.“Sebelumnya saya minta ya, Kang. Tapi, perempuan tadi yang Akang suruh buat pilih-pilih pakaian di stand saya, itu istrinya apa adiknya ya? Ah … pokoknya, siapapun itu, dia tadi mutusin untuk gak jadi beli bajunya. Justru, saya malah disuruh tanya Akangnya saja kata si tetehnya tadi. Makanya saya kesini karena buat mastiin aja kalau-kalau Akangnya mau jadi beli atau enggak,” urai si pelayan stand memberanikan diri untuk meminta kejelasan. Pasalnya, sebagai seorang pelayan yang sudah dipercaya oleh pemilik stand-nya untuk menangani konsumen yang masuk ke stand, perempuan ini dianjurkan u
“Udah ya, Pak. Kalo sekiranya udah gak sanggup buat lanjut cerita, Bapak gak usah maksain lagi. Paling nggak, saya sudah bisa menangkap garis besarnya, kok, walaupun Bapak gak ceritain seluruhnya…” ucap Agnia tak ingin memaksa.Dia cukup peka saat ini. Apalagi setelah melihat Irgi yang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak meluapkan amarahnya di depan Agnia, membuat sang wanita lantas mengulurkan tangannya impulsif guna memberi usapan lembut di pundak dosennya. “Saya turut prihatin ya, Pak. Minimal, sekarang saya jadi tau penyebab Bapak selalu bersikap dingin selama di lingkungan kampus. Karena emang Bapak sengaja jadiin watak dingin itu sebagai tameng dari rasa sakit hati Bapak itu, kan?” lontar Agnia menebak. Tidak peduli jika pun ia salah dengan tebakannya. Yang jelas, kini Agnia sudah sedikit lebih paham dengan kesakitan Irgi di masa lalu bahkan hingga hari ini. Irgi masih bergeming. Namun, perlahan ia pun menaikkan pandangannya. Beradu tatap dengan sang wanita, yang kini seda
“Ru-Rumah Bapak?” beo Agnia tersendat. Menyudahi aksi bersandarnya, Irgi kini sudah kembali duduk tegak seraya mengangguk dan menatap sang wanita serius. “Ya. Menjadi tempat saya pulang ketika letih. Rumah yang benar-benar nyaman, dan tidak seorang pun boleh menempati rumah itu kecuali saya seorang,” tandas Irgi posesif. Untuk sesaat, berhasil telak membuat Agnia tercenung kaget di tengah Irgi yang sigap bangkit dari duduknya dan menggeser meja kayu di hadapannya agak menjauh. Dilanjut dengan ia yang mengambil posisi berlutut, tepat di depan Agnia yang masih duduk di kursi. “Jadilah rumah saya, Agnia. Bukan untuk sementara, melainkan sampai saya meregang nyawa pada suatu hari nanti…” pinta sang pria sangat serius. Menyorotkan pandangan penuh permohonannya pada Agnia seolah ia sedang melamar si wanita secara tidak langsung. Agnia termangu. Kini, pria itu tidak hanya meminta dirinya menjadi miliknya. Tetapi bahkan lebih-lebih dari hanya sekadar memiliki. “Saya tahu ini seperti sed
“Biasanya, doa anak kecil yang masih polos seperti mereka cenderung cepat dikabulkan sama Tuhan. Makanya, saya bantu aminkan saja dulu. Perihal sisanya, biar Tuhan saja yang mengatur,” celetuk Irgi melirik ke sebelahnya. Dilanjut dengan menunjukkan ekspresi jahil yang tentu saja membuat Agnia mendelik seraya berkata, “Apaan sih, Pak! Bapak ngebet banget punya anak kayaknya. Sama istri sendiri emang gak pernah usaha bikin? Kok, ngodenya malah sama saya mulu perasaan. Ajakin istrinya aja sana, Pak, kalo udah gak tahan pengen keturunan.” Entah Agnia yang keterlaluan dalam menyahut, atau memang si prianya saja yang sedang berhati sensitif. Mendengar lontaran kalimat si wanita barusan, Irgi pun mendadak murung di tengah kepala yang menunduk lunglai. Melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh sang pria, sontak membuat Agnia menjadi peka hingga ia langsung didera perasaan menyesal tatkala mendapati Irgi yang tahu-tahu sudah melenggang sendiri tak mengajak si wanita. “Loh, Pak!” Agn







