Share

Bab 5: Berubah Tegang

“Ah, sial! Sergio benar, badanku bau keringat!”

Meski sedikit tersinggung dengan kalimat Sergio barusan, Livy membenarkan ucapan sang suami usai ia mengendus aroma tubuhnya sendiri.

Tidak sebau yang seperti dituduhkan sang suami, tetapi tetap tidak segar. Makanya, alih-alih mengejar terus suaminya untuk berkata jujur, Livy akhirnya memilih mandi.

Tidak lupa, ia rapikan baju-baju kotor Sergio yang berserakan.

“Padahal sudah ku siapkan keranjang untuk baju kotor!” Livy mendumal sembari memunguti pakaian sang suami. Saat merogoh saku celana, tangannya mendapati sesuatu yang membuat keningnya berkerut, “Apa ini?”

Diambilnya kertas itu, dan dibacanya lamat-lamat. “Resep dokter?” Sesaat, ada rasa khawatir yang menyergap. “Dia sakit?”

Mengesampingkan rasa khawatirnya lebih dulu, Livy bergegas mandi dengan cepat. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi dan menatap dalam pada sang suami yang tengah berbaring. Disembunyikannya resep tadi di genggaman. Ia akan meminta penjelasan pada salah satu temannya nanti.

“Kenapa melihatku begitu?” 

“Tidak apa-apa, hanya sedikit berpikir,” ujar Livy tak melepas pandangan dari tubuh Sergio.

“Kamu masih cemburu?” Sergio bertanya usai berdecak. “Sudahlah, telepon yang tadi tidak perlu dipikirkan! Selama uang bulananmu tidak berkurang, selama status kita masih menikah dan aku tetap pulang ke rumah … kamu tidak perlu curiga.”

Setelahnya, tanpa menunggu sang istri selesai berpakaian, pria itu memeriksa ponsel dan bangkit.

Setelah memastikan suaminya itu benar-benar turun dari lantai dua, Livy membuka kembali resep tadi dan memfotonya untuk dikirimkan pada teman.

Beruntung, temannya tersebut segera membalas dan membuat mata Livy memelotot dengan sempurna.

“Obat penghilang rasa sakit setelah operasi caesar?”

Sejenak Livy berpikir, mengapa suaminya hendak membeli pereda nyeri ini? Dua wanita yang disebut Sergio tadi, tidak ada satu pun yang tengah hamil besar.  Namun, ada satu sepupu suaminya yang memang tengah hamil besar.

‘Apa mungkin Sergio membantu persalinannya?’ Meski masih dipenuhi tanda tanya, sementara ini Livy menenangkan dirinya dari rasa curiga.

Ia bergegas melangkah ke ruang makan. Seperti biasa, Livy memulas senyum palsu.

Sayang, aktingnya hari ini terganggu karena melihat Sonia yang tengah bergelayut manja di tangan El. Meski telah tahu keduanya pun tengah berakting, tetap saja Livy tidak nyaman melihat kemesraan keduanya.

“Sekarang anggota keluarga kita sudah lengkap. Ayo duduk Livy! Ada yang ingin Ayah sampaikan kepada kalian.” Kalimat Tuan Sergio ini mengalihkan perhatian dua anak dan menantunya. “Ayah tidak sabar menggendong cucu. Sebaiknya kalian jangan menunda memiliki keturunan!”

Seketika pandangan mata Livy dan Sergio bersiborok. Sergio yang telah bersiap menyantap makan malamnya kembali meletakkan sendok seraya berkata, “Aku sedang sibuk di kantor, Ayah. Kalau Livy hamil dalam waktu dekat, kasihan dia. Aku tidak bisa menemaninya di saat sulit.”

Livy tersenyum getir mendengar penolakan halus dari Sergio. Bagaimana ia bisa hamil jika suaminya saja tidak pernah lagi menyentuhnya? Sekarang, pria itu malah menjadikannya alasan. Namun, tidak ada yang bisa Livy lakukan selain tersenyum getir seolah mendukung penolakan Sergio.

“Lalu kalian bagaimana?” Kali ini, Tuan Sergio menatap anak dan menantu kesayangannya. El terlihat melepaskan belitan tangan Sonia. “Kurangi aktifitas modelmu agar kamu cepat hamil, Sonia. Sebelum meninggal, Ayah ingin ada cucu darimu.”

Bak aktor kawakan, El kemudian tersenyum menanggapi keinginan Tuan Fabregas. “Doakan yang terbaik, Ayah. Aku dan Sonia selalu berusaha, Ayah tidak perlu khawatir.”

Mendengar kalimat itu, membuat Livy tidak nyaman. Apalagi setelah memergoki keduanya bertengkar karena penolakan Sonia. Livy segera bangkit dari kursi dan beranjak menuju dapur.

“Permisi, aku mau mengambil hidangan penutup.”

El menangkap raut wajah sendu Livy, dengan segera meraih dua gelas kosong di depannya sebagai dalih, “Aku akan isi jusnya lagi.”

Sonia menatap curiga pada sang suami yang pergi tidak lama setelah adiknya pergi. Namun, lagi-lagi wanita itu berdiam, tidak ingin bertindak gegabah di hadapan sang ayah.

Di dapur, El melihat Livy membuka lemari pendingin. Pria itu lantas mendekat dan menahan pergerakan Livy. Posisi keduanya sangat dekat, saling berhadapan, bahkan embusan napas hangat El bisa dirasakan oleh Livy.

“Kenapa kamu memandangiku seperti tadi? Apa kamu bermaksud untuk—"

“Bu-bukan, Kak. Aku sudah melupakannya. Kakak tenang saja. Kita hanya sebatas adik dan kakak ipar.”

El terlihat kebingungan. Ia pun meluruskan kesalahpahaman yang mungkin Livy tangkap dari kalimatnya, “Maksudku, kamu seharusnya bersikap biasa saja. Ingat, rahasiaku dan Sonia yang kemarin tidak boleh sampai kedengaran ayah. Mengerti?”

Livy melongo, tetapi ia mengangguk cepat. Rupanya ia telah salah sangka. Ia kira El akan membahas mengenai malam panas mereka.

Kini, pipinya bersemu merah, merasa malu lantaran terlalu percaya diri. Ia tersentak saat jemari hangat El menyentuh tangannya.

“Kak?” Livy menelan saliva.

“Aku bantu, kamu ambil saja piring untuk pudding.”

“Terima kasih.”

Livy membalik badan tetapi sebelum itu ia sedikit memperhatikan punggung lebar kakak ipar.

Sungguh hatinya berharap pria yang berdiri bersamanya adalah Sergio. Lagi-lagi, Livy bergantung pada kenyataan semu yang hanya melukai hati.

Selesai memotong makanan penutup, El lebih dulu kembali ke ruang makan. Menjaga diri agar Sonia dan ayah mertua tidak mencurigai kedekatan diantara keduanya. Tak lama Livy datang, lantas meletakkan piring besar di tengah meja.

“Sepertinya enak, kamu mau Sonia?” El selalu bersikap hangat, meninggalkan kesan bahwa rumah tangganya baik-baik saja. Tentu Sonia menjawab dengan mengangguk.

“Hanya pudding biasa, rasanya juga tidak istimewa,” balas Sergio yang justru menjatuhkan hasil masakan sang istri.

Setelahnya, Sergio menandaskan segelas air putih, kemudian pria itu menyeka noda pada bibirnya menggunakan sebuah saputangan.

Kegiatan itu seharusnya menjadi kegiatan normal. Hanya saja, saputangan yang digunakan Sergio memancing perhatian Sonia untuk bertanya, “Sergio? Dari mana kamu mendapat saputangan itu?”

“Di kamar, memangnya kenapa?” Pria itu menjawab dengan santai.

“Kamu tahu tidak kalau saputangan itu edisi terbatas dan harganya mahal?”

Sergio langsung memandangi selembar kain di tangan masih dengan raut kebingungannya.

Berbeda dengan El dan Livy, keduanya mematung dan seketika berubah tegang. Terlebih, ketika Sonia kembali melanjutkan kalimatnya, “Aku ingat El memiliki saputangan yang sama persis.” Tatapan Sonia berubah tajam, mengarah kepada Livy. “Tidak mungkin ‘kan kalau El menjatuhkannya di kamar kalian? Untuk apa suamiku ke kamarmu?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Muhammad Rofif
mantap lanjutkan
goodnovel comment avatar
Salmawa Tita
keren n mantap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status