Share

Bab 6: Mencari Kebenaran

“Bagaimana ini?” keluh Livy tanpa suara.

Debar jantungnya tidak lagi aman, kini bukan hanya Sonia yang memperhatikannya. Tuan Fabregas pun menatap penuh intimidasi, pria paruh baya itu tidak ingin pernikahan putri kesayangan rusak karena Livy. Ditambah Sergio, bukannya membela sang istri malah ikut memojokkan.

“El?” Sonia menjulurkan tangan ke depan suaminya. Namun, pandangan tajam bak menguliti tidak teralih dari Livy. “Mana saputanganmu?”

“Kamu ini apa-apaan Sonia?! Itu hanya saputangan biasa.” Pria itu menatap tajam ke arah sang istri.

Di balik ketenangannya, Presdir Torres Inc ini tengah berpikir keras, berusaha menemukan alasan tepat. El melirik Livy yang tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Wanita cantik itu memandang tepat ke arah El, meminta pertolongan, bahasa tubuhnya memperlihatkan bahwa ia sedang ketakutan.

Sejurus kemudian, Sonia kembali menatap murka ke arah sang adik, “Kenapa kamu diam? Jangan-jangan kamu memaksa suamiku ke kamarmu, jawab!”

“I-itu a-aku –“

“Sonia jaga sikapmu!” El memperingatkan sang istri, lalu teringat sesuatu dan berkata, “Apa kamu lupa di rumah ini Livy yang bertanggung jawab mencuci pakaian? Bisa jadi terbawa ke kamarnya.”

Jawaban El mampu mengalihkan atensi seluruh anggota keluarga, termasuk Livy yang sangat berharap kepada kakak ipar. Setidaknya, ia bisa sedikit menghirup udara bebas karena tidak menjadi sorotoan lagi.

Sungguh malam ini nasibnya sial, ia tidak pernah menyangka Sergio menemukan benda milik kakak iparnya dan dengan lancang memakainya. Livy mengutuk kecerobohannya, kurang teliti hingga meninggalkan jejak.

“Ini bukan pertama kali, pakaian ayah juga pernah tertinggal di kamar kita.” Sambung El lalu menatap ke ayah mertua. “Apa kamu juga menuduh ayah masuk tanpa izin?”

Sonia dan Tuan Fabregas kompak menggelengkan kepala, penjelasan El bisa diterima oleh akal sehat mereka. Begitu pun Sergio yang tampak tidak peduli terhadap Livy.

Namun, ekor mata Livy menangkap keraguan pada diri Sonia. Di bawah meja, Sonia mengepalkan tangannya karena amarahnya yang memuncak terpaksa harus ia redam.

“El maaf karena kecerobohan Livy membuatmu tidak nyaman. Anak ini memang tidak becus melakukan tugasnya.” Tuan Fabregas mengakhiri makan malamnya, yang diikuti oleh Sergio.

Setelah ayah dan suaminya pergi dari ruang makan, Livy buru-buru membersihkan piring kotor. Di dapur, ia mengembuskan napas lega, rasa takutnya sedikit menghilang.

Ketika Livy mencuci piring, tiba-tiba tepukan keras mendarat pada bahu. Ia langsung menoleh, terperanjat karena mendapati Sonia berdiri angkuh.

Kakak angkatnya itu mendorong Livy hingga membentur sudut meja konter. Deru napas serta pandangan sinis Sonia seakan ingin melahapnya.

“Aw … Kak—“

“Diam! Sekarang jujur, kamu mau merebut suamiku, hah? Kamu memang tidak tahu malu!” Sonia terus menindas dan menarik rambut coklat Livy. “Jangan pernah bermimpi menggantikan posisiku!”

Livy menggeleng dan berkata, “Bukan Kak, aku memang gegabah menjatuhkan saputangan kakak ipar, maaf.“

Bagai keberuntungan, Dewi Fortuna memihak Livy. Kakak iparnya datang dari arah ruang makan, berdiri tepat pada ambang pintu, pria itu berdeham hingga membuat Sonia melepaskan cengkeraman dari helaan rambut coklat Livy.

“Sepertinya keluargaku salah memilih menantu. Apa yang akan mereka katakan, bila mengetahui Sonia Fabregas bertingkah seperti preman?” sindir El menyebabkan Sonia ketakutan.

“El … sayang m-maksudku—“

“Cepat bersiap, sekarang juga kita pulang ke Mansion Torres!” El menarik pergelangan tangan Sonia.

Dari dapur, Livy memandangi sepasang suami istri itu. Bahkan El sempat menoleh, mengangguk pelan sembari mengedipkan mata.

'A-apa itu barusan?'

Masih dengan keterkejutannya, Livy berdiam diri di dapur. Ia bisa mendengar suara mesin mobil, mengintip dari celah tirai.

Usai mobil tersebut tidak lagi terlihat olehnya, Livy segera masuk ke kamar dan mengganti pakaian. Sepintas ia melirik Sergio yang sibuk dengan laptop. Tak ingin mengganggu, ia memilih tidur, memunggungi suaminya, tetapi ia terganggu dari getaran benda pipih miliknya. Ia pun meraih dan membuka pesan singkat tersebut segera.

[Apa badanmu ada yang sakit?]

Lagi, isi pesan El menyebabkan dadanya terasa sesak. Livy meneteskan air mata karena perhatian datang bukan dari suaminya.

“Tidak Kak, aku baik-baik saja,” balas Livy segera meletakkan ponsel dan kembali tidur.

**

Pagi ini Livy membuka toko roti lebih awal, biasanya akhir pekan pengunjung lebih ramai mencari sarapan. Dibantu seorang pegawai, Livy sibuk melayani setiap pembeli. Sebelum lembayung senja menghiasi langit, semua roti buatannya habis tak bersisa. Ia pun segera menutup tokonya dan berjalan menuju halte bus.

Namun, bukan rumah yang dituju olehnya, melainkan rumah sakit. Livy mengunjungi tempat itu sesuai dengan alamat pada resep obat. Hatinya harap-harap cemas, tidak sabar menemukan kebenaran.

Livy bertanya pada bagian informasi, berniat ingin menjenguk sepupu suaminya. Sayang, tidak ada nama pasien yang disebutkan olehnya. Terpaksa Livy pulang dengan tangan kosong.

Di dalam bus, ia mencoba menghubungi ibu mertua untuk memastikan sesuatu. Telepon tersambung dan terjawab, tanpa banyak kata Livy menanyakan sepupu Sergio pada mertuanya.

[Sepupu Sergio belum melahirkan. Dia pindah, ikut suaminya ke Kota Burgos.]

Jawaban yang didengar dari ibu mertua menambah kecurigaannya. Sebelah tangan memegang erat dan menatap lekat-lekat resep obat itu, lantas Livy sedikit bercengkerama bersama ibu mertua sebelum mengakhiri sambungan telepon.

Ketika menginjakkan kaki di rumah, Livy kembali memasang senyum palsu. Ia langsung berkutat di dapur, menyiapkan makan malam dan keperluan ayah angkatnya.

Di meja makan, Livy tengah mengamati raut wajah suaminya yang tampak biasa saja. Bahkan, pria itu begitu santai, seolah tidak merasa kehilangan sesuatu yang penting. Padahal Livy sudah menunggu suaminya bertanya resep itu, yang ia sembunyikan di dalam saku celana dan ia bawa ke mana-mana.

“Kenapa?” protes Sergio tidak nyaman dipandangi terus menerus.

“Tidak, aku … apa makanannya enak?”

“Biasa saja, rasanya monoton.”

Bola mata coklat Livy dipenuhi kristal bening. Namun, karena enggan membiarkan dirinya dikuasai perasaan sakit hati karena komentar pedas yang setiap saat ia terima, Livy lebih memilih untuk tidak mengacuhkannya.

Kali ini, karena menunggu sang suami bertanya soal resep itu agaknya sulit, maka Livy memutuskan untuk mengonfrontasi langsung. Ia ingin tahu, apakah suaminya itu akan berkata jujur, atau lagi-lagi berbohong untuk menutupi kebohongannya yang lain?

Namun, belum juga ia membuka mulut, mendadak Livy tersentak, karena Sergio meletakkan sendok dengan kasar. Dentingnya menyakiti telinga, sehingga Tuan Fabregas menatap kepada sepasang suami istri ini.

“Aku sudah kenyang. Permisi Ayah.”

Sergio melenggang pergi. Sedangkan Livy menatap nanar punggung sang suami sebelum kemudian menghabiskan makanan, dan diam membisu.

Setelah memastikan ayah angkatnya makan dan minum obat, ia ke kamar mengistirahatkan tubuh. Di balik selimut, Livy meletakkan telapak tangan di atas saku, memastikan resep itu masih ada di sana.

Hingga pagi hari, tangan Livy tetap berada pada posisi yang sama. Ia membuka kelopak mata, menghirup udara segar, lalu meregangkan otot.

“Heh, Livy di mana celana hitamku?” Sergio tampak kebingungan mencari sesuatu.

“Celana hitam? Aku selalu meletakkannya di lemari, cari saja!” ujar Livy mengetahui maksud sang suami.

“Tidak ada … maksudku, ada sesuatu penting tertinggal di dalamnya. Jangan-jangan kamu membuangnya?”

Livy mengusap saku celana piyama, manik coklatnya terus memperhatikan kegusaran sang suami. Pria itu sedang mengacak-acak lemari pakaian, sesekali berdecak sebal.

“Memang apa yang tertinggal?” tanya Livy dengan wajah polos.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nila Elok
Sergio menyebalkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status