Napas Laras makin pelan dan berat. Kepalan tangannya di atas lantai mengencang seiring rasa nyeri yang tambah mengikat kuat seluruh tubuhnya. Pandangan gadis itu nyaris kabur oleh genangan air mata. Suaranya tertahan di tenggorokan, ia berkata, “S–suster … to–tolong ….”Dokter Anna yang baru saja datang setelah mendengar adanya keributan, langsung menatap ke dalam kamar. Wanita itu terpekik, “Kode biru di ruang rawat tiga!”Seketika Dirga yang berada cukup jauh dari ruangan pun membelalak. Darahnya berhenti mengalir seketika. Satu-satunya yang terpikir hanyalah Laras.Kedua tangannya menghentak dan menepis sekuriti, Dirga tak lagi mementingkan rasa ngilu di sebelah tangan. Padahal masih tahap pemulihan, dan ini bahaya baginya karena berisiko cidera parah. Bahkan langkahnya cepat mendahului para perawat yang sudah lebih dulu menuju ruang rawat Laras. Ia melewati mereka semua, meski itu menyalahi prosedur karena klinik ini bukanlah miliknya.“Laras!” geram Dirga melihat gadisnya berada
Beberapa menit lalu, sama seperti pasien lainnya terdiri dari ibu hamil, melahirkan, dan anak-anak — Laras juga dipindahkan. Dimitemani seorang perawat wanita yang mendorong kursi rodanya.Sebenarnya ini memang tindakan aman bagi orang lain, tetapi tidak untuk gadis itu.Laras tidak tahu ada sepasang mata yang mengawasi dari jarak tak terlalu jauh. Tadinya Rama akan menunggu di mobil. Namun, ia tak sengaja melihat dari pintu utama UGD yang mana semua pasien dipindahkan. Saat itu ia berpikir, pasti istrinya juga. Dengan seringai jahat, ia mengurungkan niat semula.Klinik pribadi ini tidak terlalu besar, sehingga perawat yang sibuk sampai tak memperhatikan Rama terus mengikuti Laras masuk kamar.“Makasih, ya, Sus. Tolong sampaikan ke Dokter Dirga, saya ada di sini,” pintanya. Kalau saja tadi ia tak meninggalkan ponsel di klinik desa, mungkin bisa menghubungi sang kekasih. Sekarang hanya bisa menyampaikan pesan saja.Setidaknya Dirga sudah ada di sini, bersamanya. Meskipun saat ini seda
“Jadi itu yang mau kamu lakukan? Silakan, hancurkan saja papimu sendiri,” geram Dirga. Mata karamel itu menatap tajam dan menantang putra pembangkang di hadapannya. Bahkan ia ingin tahu, sampai sejauh mana Rama berani melawan. Sisi angkuhnya sebagai pria pun muncul, secara materi dan kekuasaan, jelas anaknya itu jauh di bawahnya. Lalu cara apa yang akan ditempuh?“Tapi jangan pikir aku bakal diam aja, Pi. Aku nggak mau hancur sendirian. Laras dan Papi harus ikut jatuh bersamaku,” desis Rama. Dagunya terangkat, berusaha menunjukkan dominasinya.Rahang Dirga mengedut, otot perutnya menegang, dan darahnya seolah meletup-letup di dalam tubuh. Cengkeraman tangan di kaos kuning Rama makin kuat.“Papi nggak akan biarkan Laras jatuh mengikuti kamu,” sentaknya. Ia tidak akan rela Laras yang selama ini mewarnai hari-harinya dirusak oleh sang anak.Rama terkekeh sinis. Ucapan papinya terasa menggelikan. Pria yang pernah gagal menjaga rumah tangganya itu kini berlagak bijak membela wanita yang le
“Jadi benar, anak dalam kandungan Laras itu anak Papi?!” Udara di bangsal seketika membeku, bahkan bunyi monitor seakan teredam oleh suara Rama yang menggema di sepanjang unit gawat darurat. Pria itu tahu keberadaan Laras, ia menduga kondisi sang istri lemas tak berdaya sudah pasti dibawa ke pusat kesehatan terdekat. Ia menerobos penjaga depan tanpa pikir panjangMata hitam Rama berkilat dan menatap nyalang pada sang ayah. Kaki berbalut sepatu kets makin mengikis jarak. Para perawat yang berjaga pun kompak memperhatikan keributan itu. Beberapa mencoba menenangkan, tetapi tak satu pun berani mendekat melihat aura dua pria itu yang sama-sama menggelegar.Dirga berdiri tepat di depan ranjang Laras. Ia tidak ingin sang pujaan hati melihat wajah Rama yang tampak seperti orang kesetanan.“Mau apa kamu ke sini?!” sentak Dirga, tak kalah tajam. Namun ia tetap menjaga intonasi agar tidak mengganggu pasien lain. Perbedaan tinggi badan membuat Rama sedikit mendongak. “Jawab aja, Pi. Anak hara
Tangan pria itu mengepal kuat di samping tubuhnya yang berdiri tegak. Bola matanya tak beralih sedikit pun dari tubuh Laras. Rahangnya mengeras dan bergetar karena rasa marah yang siap meletus kapan saja.Kaki berlapis boots hitam perlahan makin dekat, hingga indra penciumannya menghirup bau yang menusuk bercampur amis. Tangan besar dengan urat-urat yang mencuat hendak terulur meraih gadis itu. Namun sebelum itu terjadi, suara seorang pria mengalihkan perhatiannya.“Dokter Dirga!” panggil Pak Dading yang tergesa menghampiri Dokter Tampan itu.Dirga tidak menyahut. Tampak ia sedang menahan diri agar tidak meledak di depan orang yang bukan seharusnya. Bahkan mulutnya saja tak sanggup sekadar mengucapkan kata terima kasih kepada Pak Dading. Sesak teramat membelenggu di balik kaos polo navy.Bagaimana tidak? Ia yang dalam perjalanan pulang ke Desa Wanasari, mendadak mendapat telepon dari orang kepercayaan. Paling menyakitkan lagi, ia yang sudah berjanji melindungi gadis itu, hari ini just
Roda SUV makin mendekat, cahaya lampu depannya menyorot tubuh Laras di pinggir jalan. Kendaraan itu berhenti mendadak hingga penumpang di dalamnya ikut terkejut. Tak lama, seorang pria keluar dan menghampiri, memeriksa keadaan Laras yang sudah sepenuhnya pingsan.Dilihat dari penampilan jas putih yang masih melekat, tetapi sudah penuh noda dan wajah perempuan yang terasa tak asin. Pria itu mengenali sosok yang tergeletak bukan hanya dari jasnya, melainkan juga dari nama di ID card yang masih tergantung di dada“Dokter Laras?!”Orang itu segera memberi isyarat ke sopir lewat kaca mobil untuk membantu mengangkat tubuh Laras.“Cepat! Bawa dia ke klinik sekarang!”Akan tetapi, saat tubuh Laras diangkat, sopir mendadak membelalak dan menunjuk. “Aduh, Pak … ada darahnya itu!”“Kalau begitu, kita bawa ke rumah sakit terdekat aja!”Mobil itu pun berputar arah. Tidak jadi kembali ke desa, melainkan menuju pusat kesehatan terdekat dari perbatasan desa. Pria itu menahan napas sejenak. Tangannya