Laras membeku di ambang pintu. Sungguh tak menduga mendapat tamu ‘penting’ pukul lima pagi ini.
“Pagi-pagi gini mau ke mana, Dok?” “Siap-siap. Ikut saya,” kata pria itu, suaranya datar. “Tapi saya—” “Jangan bikin saya ngomong dua kali. Cepat!” Dirga mengedik dagunya pada Land Cruiser hitam yang terparkir di seberang jalan bertanah kering. Sebenarnya Laras ingin menolak. Namun, melalui cara pandang Dirga, Laras seolah tidak memiliki pilihan lain. Andai saja ia membantah, bisa-bisa besok hidupnya dibuat tidak tenang. “Saya … ganti baju dulu, Dok.” Laras menatap lekat pada Dirga yang sudah rapi dengan kemeja navy digulung sebatas siku. Berbanding terbalik dengannya masih menggunakan piyama kucing ungu muda. Selesai mengganti bajunya, Laras menghampiri Dirga. Pria itu sudah menunggu di dalam mobil. Tangannya cekatan membuka pintu penumpang di depan. Namun, Laras bergeming. Ia pikir Dirga datang sendirian … menjemputnya. Ternyata ada wanita lain yang duduk di samping pria itu. Dokter Amanda—sosok wanita itu yang juga bekerja di klinik, duduk dengan percaya diri. Punggungnya menempel tenang ke jok, satu tangan bertumpu anggun di lutut. Tatapan mata yang tajam seakan mengklaim bahwa posisi itu miliknya. “Kenapa? Mau duduk di sini?” Wanita itu melirik tajam padanya. Laras menggeleng. Ia tahu diri untuk duduk di kursi belakang. Namun, kabin ini seperti sempit dan pengap. Ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. “Kita mau ke mana, ya, Dok?” tanya Laras hati-hati. Lagi pula sangat janggal, pembimbingnya itu datang menjemput. Bahkan klinik saja belum buka. “Vaksin keliling,” jawab Dirga cepat, melirik Laras melalui kaca spion. “Banyak yang ngeyel, harus cari satu-satu. Kita dibantu Dokter Amanda.” Amanda menimpali, “Kamu paham nggak? Masa nggak tau tugasmu.” Wanita itu melipat tangan di dada. “Cukup, Manda,” tegas Dirga, suaranya menggema dalam kabin. “Iya, paham, Dok.” Laras tetap menyahut pelan. Pikirannya juga mengembara, mengapa Dokter Amanda ikut, padahal bukan spesialis anak? Dokter pembimbingnya ini benar-benar penuh kejutan tak terduga. Apa mungkin Amanda adalah … istri Dirga? Atau pacarnya? Bahkan hari ini mereka juga menggunakan pakaian warna senada. Laras menggeleng pelan, mengempas pikiran itu. Lagi pula apa haknya ikut campur urusan mereka? Jalan menuju lokasi ditempuh cukup terjal. Mereka harus melewati jalan setapak diapit pagar bambu. Mengetuk setiap pintu rumah. Hari mulai beranjak siang, suhu makin panas, dan peluh mengalir di tengkuk Laras. Belum terbiasa dengan jalan yang ekstrem, Laras terjatuh. Telapak tangannya membentur tanah kering, seketika rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuh, termasuk kakinya. Ia menggigit bibir, sambil menahan sakit dan rasa bersalah karena tas alat-alat medis terjatuh. Baru saja mulutnya terbuka hendak mengucap kata maaf, tetapi Laras tercenung karena Dirga tiba-tiba saja memeriksa kakinya. “Kamu terkilir,” kata Dirga. Wajahnya tampannya tampak serius. “Saya bisa obatin sendiri, Dok. Maaf, tasnya jadi jatuh.” Sesal Laras. Dadanya menjadi sesak karena melakukan kesalahan. Kenapa hal semudah ini saja dia tidak bisa? “Bener, tuh. Dia juga Dokter harusnya ngerti. Bukan nyusahin kamu, Ga,” gerutu Amanda sambil memutar kipas elektrik kecil di depan wajah. Dirga tak menanggapi. Jemarinya bergerak mantap, membalut pergelangan kaki Laras. Wanita itu terpana sejenak. Dirga yang dingin ternyata mampu memperhatikannya seperti ini. Laras berandai-andai sikap Rama-lah yang seperti Dirga. “Selesai.” Kedua tangan Dirga membantu Laras berdiri. “Bisa jalan?” tanyanya. Laras mengangguk mantap sebagai jawaban. Meskipun giginya terkatup rapat menahan nyeri. “Kita istirahat dulu.” Pria itu menatap lekat pada Laras. “Kaki saya nggak apa-apa, Dok.” Laras menggeleng dan menggerakkan kedua tangannya. “Udahlah, Ga. Jangan berlebihan sama anak baru ini. Kamu denger sendiri ‘kan kakinya baik-baik aja.” Amanda terus memelototi Laras. Gerakan bola matanya teramat menekan. “Kakinya terluka, dia bisa cidera kalau dipaksa jalan.” Dirga hampir berjongkok lagi. Namun, Laras tiba-tiba berdiri dan tersenyum. “Saya serius, Dok. Ini lihat.” Laras menggerakkan kakinya sambil memaksakan seulas senyum. “Kalau kamu butuh bantuan, bilang saya,” kata Dirga sambil kembali menggendong tas obat-obatan. Lalu tangan kanannya mempersilakan Laras berjalan lebih dulu. Hanya saja, diam-diam matanya tetap mengamati gerakan wanita itu. “Kita balik ke klinik,” sambung Dirga, dan tidak ada yang berani membantah perintah ini. Laras sendiri sudah pasrah diamati oleh dua seniornya ini. Apalagi Amanda nampak jelas menunjukkan kerisihannya dekat dengan Laras. Tak ingin ada perdebatan lagi, terpaksa Laras berakting. Jalannya sesekali pincang, dan Amanda langsung berdeham, memberi peringatan. Peluh pun mengucur makin deras. Kakinya bagai tak memiliki pijakan. Tubuh Laras mulai kehilangan kesimbangan. Tiba-tiba saja Dirga berjongkok di depannya. “Naik!” perintahnya sambil menunjuk punggung. “Jangan ngelawan terus.” Tak punya pilihan lain, perlahan Laras naik ke punggung pria itu. Kedua tangannya melingkar erat pada bahu lebar itu. Aroma parfum maskulin yang bercampur keringat memenuhi penciumannya. Detak pada jantungnya berpacu cepat karena malu. Pasti Dirga bisa merasakannya. Dirga menggendongnya tanpa ragu. Tangan kokohnya menopang kedua paha Laras. Setiap langkah terasa mantap, tak terusik, saat kepala Laras sesekali menempel pada kepalanya. Sesampainya di mobil, pria itu mendudukkan Laras secara hati-hati di kursi belakang dan memastikannya duduk dengan nyaman. “Makasih, ya, Dok.” Laras mengatupkan kedua tangannya. “Jangan sungkan,” balasnya pada Laras. Lalu Dirga menoleh, menatap Amanda di belakangnya. “Kamu duduk di belakang. Temani Laras.” Sebelum mengemudikan mobilnya, gegas Dirga memastikan semua barang sudah masuk ke bagasi. Amanda duduk di samping laras., kemudian ia berdesis dengan suara nyaris berbisik, “Jangan sampai kamu jadi perebut laki orang! Anak kemarin sore aja belagu.” Laras sudah tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Apalagi masalah yang tidak jelas. Ia hanya ingin cepat sampai di klinik. Di tengah perjalanan, kaki Amanda tak sungkan menendang kaki Laras yang terluka. “Aw! Dokter ... kenapa...?” Mata Laras berair. Dirga menoleh sesaat, bertanya dengan tegas, “Ada apa?” “Ini Dok—” “Nggak ada apa-apa, Ga. Mending cepetan sampe klinik. Biar Laras bisa diobatin,” potong Amanda, matanya melirik tajam ke samping, menuntut Laras untuk bungkam. Tiba di klinik, Dirga menggendong Laras lagi. Pemandangan ini menjadi sumber bisik-bisik semua orang. Dari arah koridor ruang praktik dokter terdengar suara. "Itu Dokter Dirga sama anak didik barunya, ya? Nempel banget." Laras menunduk dalam, telinganya menangkap desas-desus itu. Ia berbisik, “Nggak enak dilihat orang, Dok.” “Kamu lebih peduli sama omongan orang atau kakimu?” telak Dirga. Pria itu terus melangkah tak acuh, membawa Laras ke ruangan tindakan. “Tapi gara-gara saya, tugas kita terbengkalai,” cicitnya. Setelah mendudukkan Laras di ranjang periksa, kedua tangan kokoh itu memagarinya, bertumpu pada tepian besi. Tatapan mereka beradu. Wajah Dirga memenuhi bola mata Laras. “Kamu tanggung jawabku di sini,” ucap pria itu, ada senyum tipis terukir di bibirnya. Dirga kemudian mengobati Laras dengan telaten. “Kalau butuh apa pun, panggil aku di ruang praktik.” “Baik, Dok.” Nada bicara Laras sangat pelan. Ia mengamati Dirga yang keluar dari ruangan. Sebelum pintu benar-benar tertutup rapat, pria itu disambut perawatnya. Laras bisa melihat garis wajah Dirga yang nampak serius membaca detail berkas. Kata-kata pria itu barusan terngiang, bagai tetesan air hangat yang berjatuhan di atas balok es. Ia berkedip, dan terpana. Perhatian Dirga membuatnya seolah dihargai. Merasa haus, Laras melangkah perlahan menuju pantry. Lorong ini sepi. Namun, dari ujung, terdengar suara samar-samar. Ia menahan langkah, mencoba mengenali. “Ah… Dirga, pelan-pelan.” Jemari Laras refleks menggenggam gagang pintu terdekat. Napasnya tercekat dan matanya menatap tegang pada celah pintu yang tidak tertutup sepenuhnya.Berkat bantuan tetangga yang memiliki mobil, Paman Laras dibawa ke klinik. Dirga pun tidak mengangkat sendirian. Sampai di klinik 24 jam terdekat, Rahul segera diperiksa.Sementara Dirga berkoordinasi dengan dokter umum, Laras dan bibinya duduk gelisah di ruang tunggu.“Sejak kapan Mamang punya penyakit jantung, Bi?” Suara Laras mengalun pelan. Sepengetahuannya, Rahul selalu sehat. Bahkan tak pernah minum obat.Ratih menghela napas. “Nggak lama setelah kamu nikah sama Den Rama. Maaf, Bibi nggak cerita, takut ganggu rumah tangga kamu sama suami.”Laras makin prihatin mendengarnya. Sekarang pamannya baru tahu kalau Rama dipenjara dan melakukan KDRT, apa jadinya jika ia membongkar tentang perceraian dan tujuannya pulang kampung untuk meminta restu? Parahnya, ia akan menikahi mantan ayah mertuanya sendiri. Mungkin … dunia Rahul bisa luluh lantak.Laras menunduk, tatapannya jatuh pada perut. Teringat janinnya, sepertinya ia akan menutup rapat-rapat peristiwa kelam itu dari keluarga besar.
Laras menahan napas seketika. Jantungnya serasa merosot ke lambung. Ia bingung menjawab pertanyaan itu. Bukan tak pernah terpikir sebelumnya, ia sudah menyiapkan jawaban. Hanya saja, pada praktiknya, terasa sangat sulit.“Umm … itu … ituu—”“Ya ampun, Ras! Ih, kamu pulang nggak bilang-bilang. Padahal Bibi bisa masak enak buat kamu sama Den Rama. Mana atuh suami sultan kamu itu?” celetuk bibinya dari arah dapur, dengan wajah berkeringat dan daster penuh cipratan minyak.Laras tersenyum kecil sambil memelintir ujung cardigan krem-nya. Ia juga melirik sang paman yang masih menunggu jawaban.“Eh, itu siapa laki-laki ganteng? Sopir Den Rama, ya?” gumam bibinya, membuat Laras membelalak dan menoleh. Wajah Dirga tampak kecut dan kusut. Sudah pasti pria itu mendengar celotehan sang bibi.“Siapa dia, Ras? Kenapa juga kamu nggak pulang sama Den Rama?” tegur sang paman, lagi Dirga yang baru saja selesai menurunkan barang-barang dari mobil bergegas mendekat. Ia langsung mengulurkan tangan.“Sela
Melihat kecemasan di wajah Laras, Dirga memeluk erat tubuh mungil wanitanya yang agak kurus setelah keguguran. Ia mengecup berkali-kali pucuk kepala rambut hitam. Namun, tak ada kata yang disampaikan, hanya sentuhan menenangkan.“Dokter jangan siang-siang pulangnya, nanti di jalan keburu banyak orang.” Laras memainkan jemarinya di atas dada bidang pria itu.“Hm. Yang, saya masih kangen. Tapi kamu benar.” Dirga mengurai pelukan dan mencium bibir kekasihnya. “Makasih sarapannya, calon istri.” Sebelah matanya mengedip nakal.Laras hanya terkekeh kaku melihat tingkah mantan ayah mertua yang selalu bisa menghibur.“Belum juga resmi dilamar, udah bilang calon istri aja,” celetuk Laras sambil mencubit perut keras pria itu.“Maunya apa? Istri? Boleh,” goda Dirga makin menjadi-jadi.Tak ingin menahan pria itu lebih lama di rumahnya, Laras mendorong pelan Dirga keluar dari pintu belakang.Sebelum Dirga meninggalkan rumah, pria itu membaca pesan di ponsel. Wajahnya agak tegang dan napasnya menja
“Gila, kamu Rama!” geram Leo, sambil melangkah mundur dan melindungi kepalanya. Baru saja nampan itu nyaris menyentuh kepalanya, pintu terbuka lebar. Dua orang petugas kepolisian gegas meringkus Rama. Leo pun segera keluar dan menatap putra dari kliennya dengan perasaan setengah iba, setengah mengutuk. “Argh … ini semua salah om, dasar penipu kalian semua. Gue nggak bakalan tinggal diam,” teriak Rama yang sudah kesurupan oleh amarahnya sendiri. Kedua tangannya pun diborgol dan dipaksa untuk duduk dengan tenang. Dari luar jeruji besi, Leo berkata, “jalani saja hukuman ini Rama. Anggap ini sebagai pelajaran berharga dalam hidup.” “Jangan sok tahu lu Om. Lu nggak ngerti rasanya jadi gue kayak gimana!” Bentak pria itu. Meskipun tubuhnya sudah tak berdaya, Rama masih berusaha bangkit untuk mengejar Leo dan menuntaskan amarahnya. Sementara Leo memilih keluar dari gedung kepolisian. Pria itu mau hubungi Dirga, tetapi karena jaringan yang buruk akhirnya ia hanya mengirimkan p
Laras membekap mulutnya sendiri. Cairan bening nan asin luruh di pipinya. Ia seolah tak percaya bahwa semua ini adalah kenyataan.“Mimpi, ya?” gumamnya, karena untuk dibayangkan saja … itu terlalu indah. Laras tidak sanggup.Jika dulu menikahi seorang Rama—sang idola kampus adalah mimpi indah, sekarang justru bercerai darinya adalah anugerah terindah.“Bukan mimpi, Yang,” bisik Dirga, sensual, tepat di telinga sang kekasih.Dengan cepat pria itu memutar badan Laras, mencium bibirnya di bawah jemuran pakaian yang berkibar tersapu angin. Untuk membuktikan semua kenyataan, Dirga menggigit dan melumat bibir atas dan bawah bergantian.Laras melenguh sambil mengalungkan lengannya di leher pria itu. Menikmati setiap gerakan lidah panas yang membakar gairahnya.Tangan duda nakal tak lagi memegangi pinggul Laras, melainkan menyelinap masuk ke dalam piyama kucing ungu muda.“Hng … Dokter,” lenguh Laras, tubuhnya sudah merespon untuk dibawa melintasi kenikmatan dunia.“Kita masuk, Yang,” ajak Di
Leo tidak lantas turun dari mobilnya, melainkan tetap bertahan. Orang itu tampak mencurigakan, meskipun menggunakan pakaian training kuning menyala. Leo kembali menghubungi kliennya, tetapi gagal. Sinyal di sini sangat buruk. Kaca mobil di samping kemudi diketuk. Leo melirik tajam dan menyembunyikan bukti-bukti ke jok belakang. Ia pun menggeleng. “Buka, Pak!” Suara itu terdengar lantang. Leo pun menancap gas untuk mundur, tetapi bannya kehilangan daya cengkeram sehingga hanya berputar terus karena jalan tanah yang licin. “Apa mereka ini orang suruhan Rama?” gumam Leo yang tahu betapa liciknya anak itu. Leo berusaha tetap tenang, hingga ponselnya berpendar. Ada satu pesan masuk yang sedari tadi ia tunggu. [Ada orang yang jemput di perbatasan desa. Namanya Pak Dading. Ini fotonya.] Setelah mencocokkan wajah pria di sampingnya dengan gambar di ponsel, barulah Leo berani membuka kaca dan menyapa, “Pak Dading, ya?” “Oh, iya, betul, Pak Leo. Saya diminta Dokter Dirga jemput ke sini.