Share

Bab 5 : Ah, Pelan-pelan

Author: NACL
last update Last Updated: 2025-08-18 01:05:08

Laras membeku di ambang pintu. Sungguh tak menduga mendapat tamu ‘penting’ pukul lima pagi ini.

“Pagi-pagi gini mau ke mana, Dok?”

“Siap-siap. Ikut saya,” kata pria itu, suaranya datar.

“Tapi saya—”

“Jangan bikin saya ngomong dua kali. Cepat!” Dirga mengedik dagunya pada Land Cruiser hitam yang terparkir di seberang jalan bertanah kering.

Sebenarnya Laras ingin menolak. Namun, melalui cara pandang Dirga, Laras seolah tidak memiliki pilihan lain. Andai saja ia membantah, bisa-bisa besok hidupnya dibuat tidak tenang.

“Saya … ganti baju dulu, Dok.” Laras menatap lekat pada Dirga yang sudah rapi dengan kemeja navy digulung sebatas siku. Berbanding terbalik dengannya masih menggunakan piyama kucing ungu muda.

Selesai mengganti bajunya, Laras menghampiri Dirga. Pria itu sudah menunggu di dalam mobil.

Tangannya cekatan membuka pintu penumpang di depan. Namun, Laras bergeming. Ia pikir Dirga datang sendirian … menjemputnya. Ternyata ada wanita lain yang duduk di samping pria itu.

Dokter Amanda—sosok wanita itu yang juga bekerja di klinik, duduk dengan percaya diri. Punggungnya menempel tenang ke jok, satu tangan bertumpu anggun di lutut. Tatapan mata yang tajam seakan mengklaim bahwa posisi itu miliknya.

“Kenapa? Mau duduk di sini?” Wanita itu melirik tajam padanya.

Laras menggeleng. Ia tahu diri untuk duduk di kursi belakang. Namun, kabin ini seperti sempit dan pengap. Ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya.

“Kita mau ke mana, ya, Dok?” tanya Laras hati-hati. Lagi pula sangat janggal, pembimbingnya itu datang menjemput. Bahkan klinik saja belum buka.

“Vaksin keliling,” jawab Dirga cepat, melirik Laras melalui kaca spion. “Banyak yang ngeyel, harus cari satu-satu. Kita dibantu Dokter Amanda.”

Amanda menimpali, “Kamu paham nggak? Masa nggak tau tugasmu.” Wanita itu melipat tangan di dada.

“Cukup, Manda,” tegas Dirga, suaranya menggema dalam kabin.

“Iya, paham, Dok.” Laras tetap menyahut pelan. Pikirannya juga mengembara, mengapa Dokter Amanda ikut, padahal bukan spesialis anak? Dokter pembimbingnya ini benar-benar penuh kejutan tak terduga.

Apa mungkin Amanda adalah … istri Dirga? Atau pacarnya? Bahkan hari ini mereka juga menggunakan pakaian warna senada.

Laras menggeleng pelan, mengempas pikiran itu. Lagi pula apa haknya ikut campur urusan mereka?

Jalan menuju lokasi ditempuh cukup terjal. Mereka harus melewati jalan setapak diapit pagar bambu. Mengetuk setiap pintu rumah. Hari mulai beranjak siang, suhu makin panas, dan peluh mengalir di tengkuk Laras.

Belum terbiasa dengan jalan yang ekstrem, Laras terjatuh. Telapak tangannya membentur tanah kering, seketika rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuh, termasuk kakinya. Ia menggigit bibir, sambil menahan sakit dan rasa bersalah karena tas alat-alat medis terjatuh.

Baru saja mulutnya terbuka hendak mengucap kata maaf, tetapi Laras tercenung karena Dirga tiba-tiba saja memeriksa kakinya.

“Kamu terkilir,” kata Dirga. Wajahnya tampannya tampak serius.

“Saya bisa obatin sendiri, Dok. Maaf, tasnya jadi jatuh.” Sesal Laras. Dadanya menjadi sesak karena melakukan kesalahan. Kenapa hal semudah ini saja dia tidak bisa?

“Bener, tuh. Dia juga Dokter harusnya ngerti. Bukan nyusahin kamu, Ga,” gerutu Amanda sambil memutar kipas elektrik kecil di depan wajah.

Dirga tak menanggapi. Jemarinya bergerak mantap, membalut pergelangan kaki Laras.

Wanita itu terpana sejenak. Dirga yang dingin ternyata mampu memperhatikannya seperti ini. Laras berandai-andai sikap Rama-lah yang seperti Dirga.

“Selesai.” Kedua tangan Dirga membantu Laras berdiri. “Bisa jalan?” tanyanya.

Laras mengangguk mantap sebagai jawaban. Meskipun giginya terkatup rapat menahan nyeri.

“Kita istirahat dulu.” Pria itu menatap lekat pada Laras.

“Kaki saya nggak apa-apa, Dok.” Laras menggeleng dan menggerakkan kedua tangannya. 

“Udahlah, Ga. Jangan berlebihan sama anak baru ini. Kamu denger sendiri ‘kan kakinya baik-baik aja.” Amanda terus memelototi Laras. Gerakan bola matanya teramat menekan.

“Kakinya terluka, dia bisa cidera kalau dipaksa jalan.” Dirga hampir berjongkok lagi. Namun, Laras tiba-tiba berdiri dan tersenyum.

“Saya serius, Dok. Ini lihat.” Laras menggerakkan kakinya sambil memaksakan seulas senyum.

“Kalau kamu butuh bantuan, bilang saya,” kata Dirga sambil kembali menggendong tas obat-obatan. Lalu tangan kanannya mempersilakan Laras berjalan lebih dulu. Hanya saja, diam-diam matanya tetap mengamati gerakan wanita itu.

“Kita balik ke klinik,” sambung Dirga, dan tidak ada yang berani membantah perintah ini.

Laras sendiri sudah pasrah diamati oleh dua seniornya ini. Apalagi Amanda nampak jelas menunjukkan kerisihannya dekat dengan Laras.

Tak ingin ada perdebatan lagi, terpaksa Laras berakting. Jalannya sesekali pincang, dan Amanda langsung berdeham, memberi peringatan.

Peluh pun mengucur makin deras. Kakinya bagai tak memiliki pijakan. Tubuh Laras mulai kehilangan kesimbangan.

Tiba-tiba saja Dirga berjongkok di depannya. “Naik!” perintahnya sambil menunjuk punggung. “Jangan ngelawan terus.”

Tak punya pilihan lain, perlahan Laras naik ke punggung pria itu. Kedua tangannya melingkar erat pada bahu lebar itu. Aroma parfum maskulin yang bercampur keringat memenuhi penciumannya. Detak pada jantungnya berpacu cepat karena malu. Pasti Dirga bisa merasakannya.

Dirga menggendongnya tanpa ragu. Tangan kokohnya menopang kedua paha Laras. Setiap langkah terasa mantap, tak terusik, saat kepala Laras sesekali menempel pada kepalanya.

Sesampainya di mobil, pria itu mendudukkan Laras secara hati-hati di kursi belakang dan memastikannya duduk dengan nyaman.

“Makasih, ya, Dok.” Laras mengatupkan kedua tangannya.

“Jangan sungkan,” balasnya pada Laras. Lalu Dirga menoleh, menatap Amanda di belakangnya. “Kamu duduk di belakang. Temani Laras.”

Sebelum mengemudikan mobilnya, gegas Dirga memastikan semua barang sudah masuk ke bagasi.

Amanda duduk di samping laras., kemudian ia berdesis dengan suara nyaris berbisik, “Jangan sampai kamu jadi perebut laki orang! Anak kemarin sore aja belagu.”

Laras sudah tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Apalagi masalah yang tidak jelas. Ia hanya ingin cepat sampai di klinik.

Di tengah perjalanan, kaki Amanda tak sungkan menendang kaki Laras yang terluka.

“Aw! Dokter ... kenapa...?” Mata Laras berair.

Dirga menoleh sesaat, bertanya dengan tegas, “Ada apa?”

“Ini Dok—”

“Nggak ada apa-apa, Ga. Mending cepetan sampe klinik. Biar Laras bisa diobatin,” potong Amanda, matanya melirik tajam ke samping, menuntut Laras untuk bungkam.

Tiba di klinik, Dirga menggendong Laras lagi. Pemandangan ini menjadi sumber bisik-bisik semua orang. Dari arah koridor ruang praktik dokter terdengar suara.

"Itu Dokter Dirga sama anak didik barunya, ya? Nempel banget."

Laras menunduk dalam, telinganya menangkap desas-desus itu. Ia berbisik, “Nggak enak dilihat orang, Dok.”

“Kamu lebih peduli sama omongan orang atau kakimu?” telak Dirga. Pria itu terus melangkah tak acuh, membawa Laras ke ruangan tindakan.

“Tapi gara-gara saya, tugas kita terbengkalai,” cicitnya.

Setelah mendudukkan Laras di ranjang periksa, kedua tangan kokoh itu memagarinya, bertumpu pada tepian besi.

Tatapan mereka beradu. Wajah Dirga memenuhi bola mata Laras.

“Kamu tanggung jawabku di sini,” ucap pria itu, ada senyum tipis terukir di bibirnya. Dirga kemudian mengobati Laras dengan telaten. “Kalau butuh apa pun, panggil aku di ruang praktik.”

“Baik, Dok.” Nada bicara Laras sangat pelan.

Ia mengamati Dirga yang keluar dari ruangan. Sebelum pintu benar-benar tertutup rapat, pria itu disambut perawatnya.

Laras bisa melihat garis wajah Dirga yang nampak serius membaca detail berkas. Kata-kata pria itu barusan terngiang, bagai tetesan air hangat yang berjatuhan di atas balok es. Ia berkedip, dan terpana. Perhatian Dirga membuatnya seolah dihargai.

Merasa haus, Laras melangkah perlahan menuju pantry. Lorong ini sepi. Namun, dari ujung, terdengar suara samar-samar. Ia menahan langkah, mencoba mengenali.

“Ah… Dirga, pelan-pelan.”

Jemari Laras refleks menggenggam gagang pintu terdekat. Napasnya tercekat dan matanya menatap tegang pada celah pintu yang tidak tertutup sepenuhnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 6: Minta Dipegang?

    Bukannya pergi, Laras justru membeku di tempat. Kelopaknya makin melebar kala gagang pintu itu bergerak. Bayangan seseorang memantul pada kusen putih. Sebelum pintu itu benar-benar terbuka, gegas Laras menyeret kakinya. Terlambat. “Kamu di sini?” Suara tegas dan dingin familiar itu menyambar telinga. “Mau ke mana?” Laras menoleh pelan, dan langsung menunduk ketika melihat kancing kemeja Dirga yang tidak terkancing rapi. Sebagian terbuka memperlihatkan dada bidangnya. Gadis itu terperanjat. Benaknya otomatis menerka-nerka, tetapi buru-buru ia menepis pikiran itu. Jangan-jangan hanya salah dengar … atau memang ada sesuatu di balik pintu tadi? “Saya … mau ambil minum, Dok.” Laras menelan liurnya sendiri. Desahan barusan masih membekas dalam benaknya. “Balik ke kamar!” Dirga mengedik dagunya pada pintu ruang tindakan. “Jangan banyak gerak dulu.” “Saya masih kuat.” Dadanya berdegup kencang, Laras memutar badan. Sebelum berhasil melangkah mendadak tubuhnya kembali melayang. “Dok

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 5 : Ah, Pelan-pelan

    Laras membeku di ambang pintu. Sungguh tak menduga mendapat tamu ‘penting’ pukul lima pagi ini. “Pagi-pagi gini mau ke mana, Dok?” “Siap-siap. Ikut saya,” kata pria itu, suaranya datar. “Tapi saya—” “Jangan bikin saya ngomong dua kali. Cepat!” Dirga mengedik dagunya pada Land Cruiser hitam yang terparkir di seberang jalan bertanah kering. Sebenarnya Laras ingin menolak. Namun, melalui cara pandang Dirga, Laras seolah tidak memiliki pilihan lain. Andai saja ia membantah, bisa-bisa besok hidupnya dibuat tidak tenang. “Saya … ganti baju dulu, Dok.” Laras menatap lekat pada Dirga yang sudah rapi dengan kemeja navy digulung sebatas siku. Berbanding terbalik dengannya masih menggunakan piyama kucing ungu muda. Selesai mengganti bajunya, Laras menghampiri Dirga. Pria itu sudah menunggu di dalam mobil. Tangannya cekatan membuka pintu penumpang di depan. Namun, Laras bergeming. Ia pikir Dirga datang sendirian … menjemputnya. Ternyata ada wanita lain yang duduk di samping pria

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 4 : Aku yang Lepas

    “Laras …,” bisik Dirga rendah, “apa kamu ….” Tiba-tiba tangannya membingkai pipi Laras yang dingin. Telapak hangat pria itu membuat Laras tersentak. Menembus kulit dingin, melebur antara waswas dan nyaman. 'Sial, perasaan apa ini?' pikirnya. Ia mendongak. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata karamel yang indah. Kelopaknya tak berkedip beberapa detik. Entah terpaku karena kotak obat yang hampir menimpanya atau efek berada sedekat ini dengan Dirga. Dirga mengulang lagi, “Laras? Saya mau—” Refleks Laras mendorong Dirga sebelum menyelesaikan ucapannya, tetapi jemarinya malah menyentuh dada bidang keras. Namun, pria itu sama sekali tidak bergeser. Tidak mungkin ‘kan pria itu mau melakukan sesuatu padanya? Di ruangan ini?! Laras menggeleng cepat. “Jangan, Dok.” “Kenapa jangan? Kamu harus mau.” Perintah itu lolos dari bibir Dirga yang kini menjadi pusat perhatian Laras. Agak tebal dan sensual. Alih-alih mundur, Dirga justru merapatkan wajah. Rahang berjanggut tipis

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 3 : Buka Bajumu, Sekarang!

    Laras menelan ludah saat menyadari bahwa Dirga tak berpaling darinya. Tangannya meremas celana hitam di atas paha, tatkala ia melirik kening memar pria itu. Kini ia mengutuk diri karena serba salah, yakin bahwa pria itu pasti akan menghukumnya. Habislah ia jika Dirga mengumumkan kejadian pagi tadi pada semua orang. “Ya, saya Dokter Dirgantara Bradley.” Dirga tersenyum, dan tangan yang sebelumnya masuk ke dalam saku tiba-tiba menunjuk Laras. “Kamu.” Seketika Laras mendongak dan wajahnya menjadi pucat. Tubuhnya mendadak dingin setelah Dirga menunjuknya, mungkin … Dokter itu akan membongkar semua. “Umm … saya, Dok?” Laras menunjuk dirinya sendiri. Nahas nian nasibnya kini menjadi pusat perhatian para staf klinik dan aparat desa. Kalau hanya menghadapi Dirga sendirian mungkin ia bisa, tetapi ini di hadapan semua orang. Sebelum bicara, Laras menarik napasnya lebih dulu. Namun, saat ia baru saja membuka mulut, pria itu berkata lagi padanya. “Silakan perkenalkan diri.” Nada b

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 2 : Cowok Mesum!

    Udara gerah menusuk masuk melalui celah kaca yang sedikit terbuka, membuat jemarinya yang memeluk ransel ungu muda mengipas kecil.Laras menatap pemandangan kebun tebu yang membentang dari balik jendela mobil travel. Air matanya kembali mengalir, tanpa ia sadari. Bayangan wajah Rama muncul lagi. Kata-kata menyakitkan pria itu masih berputar di kepalanya, bahkan nyeri di rahang bekas cengkeraman masih terasa. Saat ini ia hanya ingin menjauh. ‘Kalau bukan karena dia ... aku nggak akan sejauh ini,’ batinnya. Apa iya dirinya selemah itu? Mobil travel melambat, lalu berhenti di pinggir jalan tanah merah dan berpasir. Laras buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan, memastikan dua rekannya tidak menyadari. Ia bercermin melalui kamera ponsel, memastikan concealer masih menutup sisa memar di pipinya yang mulai sedikit samar. “Laras, ayo turun. Mobil jemputan udah datang, tuh,” seru salah satu temannya dari depan. Begitu turun, hawa desa yang gersang langsung menerpa w

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 1 : Berengsek Kamu!

    “Berengsek kamu, Mas!” Telepon genggam di tangan Laras hampir terjatuh. Tangannya gemetar hebat. Ponsel itu terasa bagai bara di telapak tangannya. Napasnya tersendat-sendat, seakan paru-parunya menolak menerima kenyataan. Sebenarnya ia tidak berniat mengambil ponsel Rama—suaminya. Kebetulan Laras sedang merapikan ranjang, dan benda pipih itu berpendar terus. Penasaran, Laras pun meraihnya. Menganggap penting karena ada orang yang menghubungi sepagi ini. Ternyata berujung petaka. Ia tidak menyangka setelah melihat pop-up pesan singkat di layar benda itu. [Gila, kalau tiga bulan lagi lu bisa nahan diri jadi suaminya si Laras, lamborghini sama duit 5M otomatis jadi hak milik.] [Tapi inget, Bro. Perawanin dulu tuh cewek sebelum dicerai.] Masih banyak pesan lagi yang Laras bahkan tidak sanggup membacanya. Pandangan Laras berkaca-kaca, tubuhnya yang tadi tegap dan baik-baik saja, kini bagai raga tak berjiwa. Lututnya goyah, seolah tidak lagi sanggup menyangga tubuh yang diseret ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status