LOGINBukannya pergi, Laras justru membeku di tempat. Kelopaknya makin melebar kala gagang pintu itu bergerak. Bayangan seseorang memantul pada kusen putih.
Sebelum pintu itu benar-benar terbuka, gegas Laras menyeret kakinya. Terlambat. “Kamu di sini?” Suara tegas dan dingin familiar itu menyambar telinga. “Mau ke mana?” Laras menoleh pelan, dan langsung menunduk ketika melihat kancing kemeja Dirga yang tidak terkancing rapi. Sebagian terbuka memperlihatkan dada bidangnya. Gadis itu terperanjat. Benaknya otomatis menerka-nerka, tetapi buru-buru ia menepis pikiran itu. Jangan-jangan hanya salah dengar … atau memang ada sesuatu di balik pintu tadi? “Saya … mau ambil minum, Dok.” Laras menelan liurnya sendiri. Desahan barusan masih membekas dalam benaknya. “Balik ke kamar!” Dirga mengedik dagunya pada pintu ruang tindakan. “Jangan banyak gerak dulu.” “Saya masih kuat.” Dadanya berdegup kencang, Laras memutar badan. Sebelum berhasil melangkah mendadak tubuhnya kembali melayang. “Dokter!” pekiknya. Dirga menggendongnya lagi. Saat tubuhnya terangkat, Laras bisa melihat Amanda menatapnya tajam dari pintu yang terbuka lebar. Dokter itu bahkan menunjuk matanya, lalu menunjuk mata Laras. Tak lama Laras mendengar. “Ga, biar aku yang bantu Laras. Kamu praktek aja. Pasien kamu udah banyak.” Dirga melirik jam tangannya sesaat. Lalu mengalihkan pandangan pada Laras. Laras menggeleng pelan. “Benar, kasian pasien.” Ia memaksakan senyum. Jaraknya saat ini benar-benar dekat dengan Dirga. “Oke. Saya antar kamu dulu.” Dirga kembali melangkah. Diikuti Amanda yang berwajah masam, dan hanya Laras yang bisa melihatnya. Setelah membaringkan Laras. Dirga bergegas keluar. Langkahnya terlihat sangat lebar. Sekarang di ruangan ini hanya tersisa Laras dan Amanda. Keduanya saling beradu pandang. Amanda melirik sekilas, ujung bibirnya berkedut miring. “Kamu haus, ya? Padahal dari tadi Dirga udah sibuk ngurusin kamu.” Laras terdiam, jemarinya meremas ujung selimut. Nada Amanda mendadak meninggi. “Kamu pikir gampang banget cari perhatian dia? Jangan coba-coba, Laras.” Meskipun tenggorokannya terasa perih, ia menyahut, “Saya cuma haus, itu aja.” Yang lebih menyakitkan justru pertanyaannya dalam hati. ‘Kenapa Dokter Dirga diam saja? Kenapa membiarkan Dokter Amanda terus menekan aku?’ Ia menunduk, memejamkan mata sebentar, menahan gejolak di dadanya. Ingin berdiri dan berlari, tetapi kakinya masih nyeri. “Dirga itu udah punya anak. Usianya sama kaya kamu. Dan kamu lebih cocok jadi anaknya bukan pasangannya!” Amanda tersenyum sinis. Satu lagi fakta tentang Dirga yang baru ia tahu. Sesuai dugaan, Dokter tampan itu memang sudah berkeluarga. Entah kenapa dadanya menjadi sesak. “Iya, Dokter Amanda tenang aja, saya nggak mungkin ngerebut Dokter Dirga,” pungkas Laras. “Bagus, deh. Kamu memang harus sadar diri.” Amanda tersenyum sinis, lalu duduk di kursi besi yang tersedia. Mengeluarkan ponsel dan asyik sendirian. Laras menahan rasa kering di tenggorokannya yang makin menjadi. Baru setelah Dinda datang membawa sebotol air dan nasi bungkus, ia bisa bernapas lega. Menjelang sore, dengan tubuh lelah dan pikiran kalut, ia memberanikan diri meminta izin pada Dirga untuk pulang lebih awal. Sebelum meninggalkan area klinik, Laras merasa sepasang mata memperhatikannya. Saat menoleh ia hanya melihat Dirga yang berbincang bersama para perawat, tepat di depan pintu. * Hari demi hari bergulir, tetapi ucapan Amanda malam itu masih saja mengusik. ‘Dirga itu udah punya anak. Dan kamu lebih cocok jadi anaknya bukan pasangannya!’ Kalimat itu berputar di kepalanya. Ia juga heran kenapa memikirkan hal itu. Tanpa terasa, sudah satu minggu Laras tinggal di desa ini. Kakinya berangsur membaik. Ia mulai kembali bertugas menemani Dirga sampai malam di klinik. Termasuk berkeliling kampung memeriksa anak-anak yang sakit. “Kamu bisa istirahat di rumah warga.” Dirga menoleh pada Laras yang baru saja meneguk air mineral. “Saya mau ikut, Dok. Nggak enak juga diem aja di rumah warga.” Laras mengerucutkan bibirnya. Lalu ia berdiri, mendekati Dirga yang selangkah di depannya. Laras tertegun saat Dirga tersenyum kecil ke arahnya. Bahkan pria itu juga mengulurkan tangannya. “Pegang tangan saya. Kamu nggak bakal jatuh.” Laras bergeming. Tidak mungkin ia berpegangan tangan dengan pembimbingnya. Meskipun tidak ada Amanda di sini, tetap saja tatapan tajam wanita itu menghantui. “Lihat jalan di depan kamu. Yakin bisa lewat?” sambung dokter itu. Laras menghela napas panjang tatkala melihat jembatan bambu kecil itu sudah lapuk, sebagian bilahnya miring, dan celah-celahnya menganga. Di bawahnya ada sungai dengan aliran kecil dan berbatu besar-besar. Dirga tetap mengulurkan tangan. Dengan terpaksa, Laras meraih genggaman itu. Tentu saja karena takut jatuh bukan atas keinginannya sendiri. Dirga memeganginya dengan erat. Namun, setelah melewati jembatan, tangan mereka masih saling menempel hingga Dirga menarik Laras lebih dekat. Kepalanya mendekat, dan tangan satunya terulur ke tengkuk gadis itu. “Dokter ….” Laras menahan napas tatkala aroma mint memenuhi indera penciumannya. Dunianya terasa hening dan senyap kala Dirga berbisik tepat di depan wajahnya. “Tutup mata dan diam.”Selamat Datang di Buku Baruku Teman Teman ^^ Semoga suka dengan kisahnya Laras dan Dirga Makasih Banyaaaaaaak ^^
“Laras? Ini kamu? Ini nomormu? Kenapa membahas tentang Nita? Ponselmu sudah berfungsi lagi?” Pertanyaan itu terlontar ringan dari mulut Raymond. Pria itu benar-benar tidak peduli pada kondisi yang dialami oleh simpanan dan darah dagingnya.Menghela napas sejenak, Laras kemudian berkata dengan suara lantang, “Bapak tenang saja. Tidak perlu memikirkan ponsel saya berfungsi atau tidak. Lagi pula tujuan utama saya menghubungi Anda, untuk meminta pertanggungjawaban atas Nita.” Ia sama sekali tidak takut pada rival suaminya itu. Raymond mendengkus. “Kamu tidak perlu ikut campur masalah saya dan Nita. Sekarang, saya hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu setelah dimarahi istri saya?” Suara pria itu benar-benar lembut. Jauh berbeda saat ia berbicara dengan Dirga.Laras mendecak kecil, “Kalau Pak Raymond benar-benar pria sejati. Seharusnya bertanggung jawab atas apa yang Anda perbuat!” geramnya, ia langsung memutus sambungan telepon secara sepihak. Tidak hanya itu saja, bahkan Laras memblokir
Mobil Porsche hitam Dirga tiba di Rumah Sakit JB. Semua memberi jalan, tidak ada yang menghalangi. Mereka tahu, itu kendaraan direktur utama.Dibantu perawat yang berjaga, tubuh wanita itu dikeluarkan dari mobil. Sigap Laras dan petugas Puskesmas ikut mendorong brankar, memasuki IGD. Sementara Petugas Puskesmas yang tadi ikut cemas.Wajah Laras seketika pucat, tangannya gemetar melihat banyaknya darah. Bahkan kemeja ungu mudanya ternkda cairan amis itu.“Mau ke ruangan saya? Kamu bisa mandi, dan pakai kemeja bersih saya di sana,” tawar Dirga, melihat istrinya kotor. “Iya, Mas nanti aja. Saya mau tahu keadaan perempuan itu dulu,” jawab Laras, matanya melirik pada tirai bergoyang. Di sana, tim gawat darurat sedang melakukan penanganan.“Baik, gimana nyamannya saja,” sambung Dirga, tak ingin memaksa.Dirga berdiri tegak di samping sang istri. Matanya sangat tajam, memberikan instruksi cepat kepada perawat IGD tanpa menunjukkan sedikit pun kegugupan. “Hubungi Dokter Devi, minta dia tang
Sepanjang perjalanan pulang, Dirga terdiam. Pandangannya tajam ke depan, fokus pada jalan. Ia tidak melirik Laras sedetik pun. Ini membuat wanita itu berkeringat dingin, tangannya meremas jas putih di atas paha.“Mas?” panggil Laras, pelan dan lemah lembut.“Diam dulu! Kita bicarakan ini di apartemen. Saya lagi fokus nyetir! Bahaya!” tegas pria tampan yang kini wajahnya menjadi garang. Hati Laras seketika mencelos mendengar nada itu. Ya, ia tahu suaminya benar-benar marah. Kesedihan pun menusuk, Dirga yang biasa lembut kini seperti orang asing menakutkan. Tak ingin menambah masalah lagi, Laras patuh, menggigit bibir, dan memilih diam. Ketenangan seorang Dirgantara saat marah justru jauh lebih menyeramkan daripada bentakan kerasnya waktu itu. Laras hanya bisa pasrah.Porsche hitam memasuki area parkir apartemen. Dirga turun lebih dulu, membanting pintu mobilnya dengan keras. Sontak Laras terperanjat, dan memegangi dadanya. Kala ia sudah siap dicampakkan dan hendak membuka pintunya
Laras buru-buru menekan ikon panggilan saat nama ‘suamiku Dirgantara’ muncul di layar ponselnya. Nahas sebelum sambungan telepon sempat terhubung, wanita tambun yang mendorong kursi roda itu—istri Raymond melihat gerak tangan Laras. Dalam sekali gerakan cepat dan penuh amarah, wanita itu menepis kuat pergelangan tangan Laras. Ponsel dalam genggaman Laras terlepas dan jatuh membentur lantai marmer rumah sakit. Parahnya lagi, layar ponsel itu langsung retak. Laras terpekik, “Ya, ampun. Ibu!” “Jadi kamu istrinya Dokter Dirga? Dasar pengganggu! Beraninya kamu! Pasti mau merekam kami, iya ‘kan? Biar nama … kamu viral,” desis wanita itu, matanya menyorot tajam. Sedangkan Raymond di kursi roda hanya bisa menunduk pasrah. Tenaganya belum pulih 100%. “Rekam?” ulang Laras, suaranya tegas. “Ibu salah sangka. Saya hanya menelepon suami saya. Kenapa Ibu panik sekali sampai merusak Hp saya, begitu?” lanjutnya lagi. Ia berusaha tetap tenang, meskipun tangannya gemetar menahan amarah karena
Satu bulan telah berlalu. Hari-hari Laras kini jauh lebih sibuk dibandingkan sebelumnya. Pagi-pagi ia harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit ke Puskesmas, yang terletak cukup jauh dari apartemen mereka. Kesibukan ini cukup menjadi pengalih yang efektif. Ia bahkan sampai tidak ingat melakukan tes kehamilan, baru menyadari hal itu setelah datang bulan. Namun, kesedihannya berangsur hilang, berganti dengan fokus pada tanggung jawab baru di dunia medis. Siang ini, saat giliran istirahat, Laras menerima bungkusan makanan dari ojek online. Tanpa memutus panggilan video masuk dari Dirga. Wajah lelah pria itu langsung berubah hangat kala melihat ekspresi ceria sang istri. “Suka, Sayang? Saya pesan makanan kesukaan kamu. Jangan sampai telat, ya. Ingat pesan saya, kamu harus sehat,” tutur Dirga lembut. Meskipun bukan kali pertama, Laras tetap berbunga-bunga. Menghargai usaha suaminya membuat rumah tangga mereka tetap hangat, sekaligus menghiburnya karena selalu merasa kerdil tatkal
Wanita itu termenung sesaat, kelopak matanya menyempit seakan tengah mempertimbangkan usulan Dirga. Jemarinya yang berhiaskan cincin berlian mengepal, membuat cincin itu saling bergesekan.Dirga masih memperhatikannya. “Tes DNA?” gumam wanita itu. Pikirannya seakan berisik, tetapi Dirga tak mampu menebak apa isi kepala wanita itu.Dirga menegaskan lagi, “Ya, saya akan lakukan tes DNA terhadap Raymond dan istri saya.”“Kalau hasilnya positif, bagaimana?” tanya wanita itu dengan suara yang terdengar ragu. Tahu maksud istri Raymond, Dirga geleng-geleng. Padahal sebelumnya ia sudah bilang jika terbukti Laras adalah putri kandung Raymond dan Lastri, ia tak akan menuntut materi sepeser pun. Untuk apa? Toh, dirinya masih sangat mampu memberikan apa pun yang sang istri inginkan.“Itu artinya Laras anak kandung Raymond. Dan istri saya berhak tahu asal usul keluarganya, Bu!” terang Dirga lagi. Ia sudah bertekad tidak akan menutupinya jika kelak terbukti Laras adalah darah daging musuhn







