Bukannya pergi, Laras justru membeku di tempat. Kelopaknya makin melebar kala gagang pintu itu bergerak. Bayangan seseorang memantul pada kusen putih. Sebelum pintu itu benar-benar terbuka, gegas Laras menyeret kakinya. Terlambat. “Kamu di sini?” Suara tegas dan dingin familiar itu menyambar telinga. “Mau ke mana?” Laras menoleh pelan, dan langsung menunduk ketika melihat kancing kemeja Dirga yang tidak terkancing rapi. Sebagian terbuka memperlihatkan dada bidangnya. Gadis itu terperanjat. Benaknya otomatis menerka-nerka, tetapi buru-buru ia menepis pikiran itu. Jangan-jangan hanya salah dengar … atau memang ada sesuatu di balik pintu tadi? “Saya … mau ambil minum, Dok.” Laras menelan liurnya sendiri. Desahan barusan masih membekas dalam benaknya. “Balik ke kamar!” Dirga mengedik dagunya pada pintu ruang tindakan. “Jangan banyak gerak dulu.” “Saya masih kuat.” Dadanya berdegup kencang, Laras memutar badan. Sebelum berhasil melangkah mendadak tubuhnya kembali melayang. “Dok
Laras membeku di ambang pintu. Sungguh tak menduga mendapat tamu ‘penting’ pukul lima pagi ini. “Pagi-pagi gini mau ke mana, Dok?” “Siap-siap. Ikut saya,” kata pria itu, suaranya datar. “Tapi saya—” “Jangan bikin saya ngomong dua kali. Cepat!” Dirga mengedik dagunya pada Land Cruiser hitam yang terparkir di seberang jalan bertanah kering. Sebenarnya Laras ingin menolak. Namun, melalui cara pandang Dirga, Laras seolah tidak memiliki pilihan lain. Andai saja ia membantah, bisa-bisa besok hidupnya dibuat tidak tenang. “Saya … ganti baju dulu, Dok.” Laras menatap lekat pada Dirga yang sudah rapi dengan kemeja navy digulung sebatas siku. Berbanding terbalik dengannya masih menggunakan piyama kucing ungu muda. Selesai mengganti bajunya, Laras menghampiri Dirga. Pria itu sudah menunggu di dalam mobil. Tangannya cekatan membuka pintu penumpang di depan. Namun, Laras bergeming. Ia pikir Dirga datang sendirian … menjemputnya. Ternyata ada wanita lain yang duduk di samping pria
“Laras …,” bisik Dirga rendah, “apa kamu ….” Tiba-tiba tangannya membingkai pipi Laras yang dingin. Telapak hangat pria itu membuat Laras tersentak. Menembus kulit dingin, melebur antara waswas dan nyaman. 'Sial, perasaan apa ini?' pikirnya. Ia mendongak. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata karamel yang indah. Kelopaknya tak berkedip beberapa detik. Entah terpaku karena kotak obat yang hampir menimpanya atau efek berada sedekat ini dengan Dirga. Dirga mengulang lagi, “Laras? Saya mau—” Refleks Laras mendorong Dirga sebelum menyelesaikan ucapannya, tetapi jemarinya malah menyentuh dada bidang keras. Namun, pria itu sama sekali tidak bergeser. Tidak mungkin ‘kan pria itu mau melakukan sesuatu padanya? Di ruangan ini?! Laras menggeleng cepat. “Jangan, Dok.” “Kenapa jangan? Kamu harus mau.” Perintah itu lolos dari bibir Dirga yang kini menjadi pusat perhatian Laras. Agak tebal dan sensual. Alih-alih mundur, Dirga justru merapatkan wajah. Rahang berjanggut tipis
Laras menelan ludah saat menyadari bahwa Dirga tak berpaling darinya. Tangannya meremas celana hitam di atas paha, tatkala ia melirik kening memar pria itu. Kini ia mengutuk diri karena serba salah, yakin bahwa pria itu pasti akan menghukumnya. Habislah ia jika Dirga mengumumkan kejadian pagi tadi pada semua orang. “Ya, saya Dokter Dirgantara Bradley.” Dirga tersenyum, dan tangan yang sebelumnya masuk ke dalam saku tiba-tiba menunjuk Laras. “Kamu.” Seketika Laras mendongak dan wajahnya menjadi pucat. Tubuhnya mendadak dingin setelah Dirga menunjuknya, mungkin … Dokter itu akan membongkar semua. “Umm … saya, Dok?” Laras menunjuk dirinya sendiri. Nahas nian nasibnya kini menjadi pusat perhatian para staf klinik dan aparat desa. Kalau hanya menghadapi Dirga sendirian mungkin ia bisa, tetapi ini di hadapan semua orang. Sebelum bicara, Laras menarik napasnya lebih dulu. Namun, saat ia baru saja membuka mulut, pria itu berkata lagi padanya. “Silakan perkenalkan diri.” Nada b
Udara gerah menusuk masuk melalui celah kaca yang sedikit terbuka, membuat jemarinya yang memeluk ransel ungu muda mengipas kecil.Laras menatap pemandangan kebun tebu yang membentang dari balik jendela mobil travel. Air matanya kembali mengalir, tanpa ia sadari. Bayangan wajah Rama muncul lagi. Kata-kata menyakitkan pria itu masih berputar di kepalanya, bahkan nyeri di rahang bekas cengkeraman masih terasa. Saat ini ia hanya ingin menjauh. ‘Kalau bukan karena dia ... aku nggak akan sejauh ini,’ batinnya. Apa iya dirinya selemah itu? Mobil travel melambat, lalu berhenti di pinggir jalan tanah merah dan berpasir. Laras buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan, memastikan dua rekannya tidak menyadari. Ia bercermin melalui kamera ponsel, memastikan concealer masih menutup sisa memar di pipinya yang mulai sedikit samar. “Laras, ayo turun. Mobil jemputan udah datang, tuh,” seru salah satu temannya dari depan. Begitu turun, hawa desa yang gersang langsung menerpa w
“Berengsek kamu, Mas!” Telepon genggam di tangan Laras hampir terjatuh. Tangannya gemetar hebat. Ponsel itu terasa bagai bara di telapak tangannya. Napasnya tersendat-sendat, seakan paru-parunya menolak menerima kenyataan. Sebenarnya ia tidak berniat mengambil ponsel Rama—suaminya. Kebetulan Laras sedang merapikan ranjang, dan benda pipih itu berpendar terus. Penasaran, Laras pun meraihnya. Menganggap penting karena ada orang yang menghubungi sepagi ini. Ternyata berujung petaka. Ia tidak menyangka setelah melihat pop-up pesan singkat di layar benda itu. [Gila, kalau tiga bulan lagi lu bisa nahan diri jadi suaminya si Laras, lamborghini sama duit 5M otomatis jadi hak milik.] [Tapi inget, Bro. Perawanin dulu tuh cewek sebelum dicerai.] Masih banyak pesan lagi yang Laras bahkan tidak sanggup membacanya. Pandangan Laras berkaca-kaca, tubuhnya yang tadi tegap dan baik-baik saja, kini bagai raga tak berjiwa. Lututnya goyah, seolah tidak lagi sanggup menyangga tubuh yang diseret ke