Share

Bab 4 : Aku yang Lepas

Penulis: NACL
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-18 00:46:58

“Laras …,” bisik Dirga rendah, “apa kamu ….” Tiba-tiba tangannya membingkai pipi Laras yang dingin.

Telapak hangat pria itu membuat Laras tersentak. Menembus kulit dingin, melebur antara waswas dan nyaman.

'Sial, perasaan apa ini?' pikirnya.

Ia mendongak. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata karamel yang indah. Kelopaknya tak berkedip beberapa detik. Entah terpaku karena kotak obat yang hampir menimpanya atau efek berada sedekat ini dengan Dirga.

Dirga mengulang lagi, “Laras? Saya mau—”

Refleks Laras mendorong Dirga sebelum menyelesaikan ucapannya, tetapi jemarinya malah menyentuh dada bidang keras. Namun, pria itu sama sekali tidak bergeser.

Tidak mungkin ‘kan pria itu mau melakukan sesuatu padanya? Di ruangan ini?!

Laras menggeleng cepat. “Jangan, Dok.”

“Kenapa jangan? Kamu harus mau.” Perintah itu lolos dari bibir Dirga yang kini menjadi pusat perhatian Laras. Agak tebal dan sensual.

Alih-alih mundur, Dirga justru merapatkan wajah. Rahang berjanggut tipisnya menyentuh pelipis Laras. Jemarinya turun perlahan mulai dari kepala, sampai menyusuri tulang belakang. Setiap sentuhan itu membuat bulu kuduk Laras berdiri.

“Saya … mau pulang aja, Dok,” katanya dengan napas memburu.

“Buka kancing baju dan celana.” Tatapan sepasang mata karamel makin tajam seolah tak memberi celah.

Otak Laras berkelana liar. “Apa?!”

Ia menghalangi tangan kekar itu. Namun, Dirga menyingkirkannya dengan mudah. Dua kancing blouse terbuka, menunjukkan belahan dadanya, dan celananya lebih longgar.

Dirga terdiam sejenak.

Berbeda dari Laras yang bersiap melayangkan pukulan. Namun, tiba-tiba saja logam dingin menyentuh tulang dadanya. Laras menunduk dan mendapati stetoskop menempel.

“Tidak ada memar di tubuhmu. Kamu syok.” Kali ini Dirga menjauh sambil melepas stetoskopnya. “Istirahat sebentar, jangan pulang dulu.”

Laras tidak lantas bernapas lega. Otaknya masih mencerna sikap Dirga barusan. Rupanya hanya untuk mengurangi hambatan pernapasan, karena pakaiannya cukup ketat.

Sudut bibir pria itu terangkat tipis. “Kenapa? Kecewa?”

Sambil membuang muka, Laras menyahut, “Lebih baik saya istirahat di rumah.”

“Saya dokter kamu,” tegas pria itu yang tak menerima bantahan.

Bibir Laras yang tipis maju sedikit, dan bergumam, “Tapi ‘kan saya juga dokter.”

“Tapi keras kepala!” sembur Dirga. Tanpa berbasa-basi, ia memegang kedua bahu Laras. “Berbaring.”

Alih-alih berhasil, justru Laras tambah menegang. Bahkan pipinya memerah, meskipun tubuhnya yang lain terasa membeku. Gilanya, ia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Menurut saja pada pria itu. Padahal bisa saja Dirga ….

Di bawah tatapan setajam elang, Laras berusaha menormalkan laju napasnya. Ia memegangi dadanya sendiri.

“Tunggu di sini.”

Dirga keluar sebentar, lalu tak lama kembali membawa gelas berisi cairan kuning kecokelatan. Uapnya berembus manis, membuat rileks.

“Minum. Biar syokmu reda.” Tangan kekar itu menyodorkan gelas.

Laras mengangguk kecil. Ia duduk dan menerimanya. Lagi tangan mereka kembi bersentuhan, lebih lama dan panas.

Laras buru-buru menunduk dan meneguk minumnya. Tubuhnya memang menjadi hangat, bahkan pipinya juga terasa panas.

“Ma–makasih, ya, Dok,” kata gadis itu dengan gugup.

“Hm.” Tanggapan Dirga hanya sebatas itu. Ia lalu menyelesaikan pekerjaannya.

Diam-diam Laras memandangi tubuh Dirga yang bergerak bebas sambil bertelanjang dada. Pikirannya berkelana, meskipun usia pria itu di atas 40 tahun, tetapi fisiknya lebih cocok dikatakan 30 tahun, bahkan lebih muda. Mungkin itu salah satu alasan Dokter Dirgantara terkenal di sosial media.

Keningnya mengerut kala terlintas apakah Dirga sudah menikah. Di mana istrinya? Apa ada di sini juga?

'Laras, tidak boleh!' geramnya tanpa suara.

Setengah jam sudah berlalu, Laras nampak betah memandangi pria itu.

“Laras.” Suara Dirga terdengar tiba-tiba. “Beresin barangmu. Pulang.” Dengan gerakan cepat ia berdiri, mengenakan kemejanya tanpa dikancing.

“Dokter juga mau pulang?” Sigap, Laras merapikan pakaian dan isi tasnya.

“Iya, mau bareng?” tanya Dirga yang mungkin sekadar basa-basi.

Tak disangka Laras menjawab, “Jadi Dokter mau anterin saya?”

Sadar telah salah bicara, mulutnya terkatup rapat. Bibirnya tersenyum kikuk, sungkan.

“Boleh.” Ucapan Dirga tidak sesuai dengan sikapnya. Pria itu pergi lebih dulu.

Laras melongo dibuatnya. Mau marah pun tidak bisa, ia tidak seberani itu. Sekarang ia tahu, pembimbingnya hanya sekadar basa-basi saja.

Akan tetapi, betapa terkejutnya Laras mendapati Land Cruiser hitam terparkir gagah di depan pintu klinik. Kacanya terbuka perlahan, wajah tampan berjanggut tipis itu makin menawan di bawah sinar bulan yang memantul pada kaca mobil.

“Ayo naik.” Suara tegas itu memaksa siapa pun yang mendengarnya.

Laras sempat menengok kiri dan kanan, tidak ada siapa pun. Sudah pasti Dirga memerintahnya. Pelan-pelan ia menaiki mobil itu. Ia tak menyangka Dirga menunggunya.

Sebelum melajukan mobilnya, Dirga memasang sabuk pengaman untuk Laras.

“Eh, Dok … saya bisa sendiri.”

“Jalan di sini berbatu. Sekarang pegangan,” kata Dirga, tidak menggubris ucapan Laras sebelumnya.

Dirga lantas mengantar Laras sampai ke rumah.

Sebelum turun, Laras berkata lirih, “Makasih atas tumpangannya, Dok.”

Ia membuka pintu, dan …

Tangan Dirga menyentuh bahunya. “Tunggu.”

Laras menoleh lagi, alisnya mengerut. “Umm ... kenapa, Dok?”

“Lepas sabuk sendiri atau saya yang lepas?” Nadanya terdengar main-main, tetapi mampu membuat jantung Laras melompat-lompat.

Laras baru sadar ia memang belum melepas sabuk pengaman itu. Terburu-buru ia segera melepasnya, lalu turun dari mobil.

Begitu masuk ke dalam rumah, dua temannya langsung menyambut.

“Gila, baru hari pertama udah berhasil deket sama dokpem. Ciee, ceritain dong, ngapain aja di klinik sampe malem gini,” goda temannya itu sambil menyengir.

Laras memanyunkan bibirnya. Ia akan menjaga rahasia malam ini. Rasanya sangat memalukan!

“Kerja doang, Dinda. Jangan mikir macem-macem!” Ia memeluk tasnya sambil berlari ke kamar.

“Dih, pelit, ah,” teriak temannya itu. “Tapi lumayan, loh. Umur kalian juga nggak beda jauh.”

Senyum geli tersungging di bibir, Laras tak menanggapi lebih dalam. Lagi pula pria seperti Dirga pasti sudah memiliki istri, pikirnya.

*

Pagi harinya, pintu rumah diketuk beberapa kali. Laras baru saja selesai mencuci mukanya. Ia membuka pintu, seketika napasnya tercekat dan matanya melebar melihat sosok di depan pintu.

'Kenapa dia ke sini?'

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Koirul
dokter kah ...........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 125: Minta Restu 2

    Laras menahan napas seketika. Jantungnya serasa merosot ke lambung. Ia bingung menjawab pertanyaan itu. Bukan tak pernah terpikir sebelumnya, ia sudah menyiapkan jawaban. Hanya saja, pada praktiknya, terasa sangat sulit.“Umm … itu … ituu—”“Ya ampun, Ras! Ih, kamu pulang nggak bilang-bilang. Padahal Bibi bisa masak enak buat kamu sama Den Rama. Mana atuh suami sultan kamu itu?” celetuk bibinya dari arah dapur, dengan wajah berkeringat dan daster penuh cipratan minyak.Laras tersenyum kecil sambil memelintir ujung cardigan krem-nya. Ia juga melirik sang paman yang masih menunggu jawaban.“Eh, itu siapa laki-laki ganteng? Sopir Den Rama, ya?” gumam bibinya, membuat Laras membelalak dan menoleh. Wajah Dirga tampak kecut dan kusut. Sudah pasti pria itu mendengar celotehan sang bibi.“Siapa dia, Ras? Kenapa juga kamu nggak pulang sama Den Rama?” tegur sang paman, lagi Dirga yang baru saja selesai menurunkan barang-barang dari mobil bergegas mendekat. Ia langsung mengulurkan tangan.“Sela

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 124: Minta Restu 1

    Melihat kecemasan di wajah Laras, Dirga memeluk erat tubuh mungil wanitanya yang agak kurus setelah keguguran. Ia mengecup berkali-kali pucuk kepala rambut hitam. Namun, tak ada kata yang disampaikan, hanya sentuhan menenangkan.“Dokter jangan siang-siang pulangnya, nanti di jalan keburu banyak orang.” Laras memainkan jemarinya di atas dada bidang pria itu.“Hm. Yang, saya masih kangen. Tapi kamu benar.” Dirga mengurai pelukan dan mencium bibir kekasihnya. “Makasih sarapannya, calon istri.” Sebelah matanya mengedip nakal.Laras hanya terkekeh kaku melihat tingkah mantan ayah mertua yang selalu bisa menghibur.“Belum juga resmi dilamar, udah bilang calon istri aja,” celetuk Laras sambil mencubit perut keras pria itu.“Maunya apa? Istri? Boleh,” goda Dirga makin menjadi-jadi.Tak ingin menahan pria itu lebih lama di rumahnya, Laras mendorong pelan Dirga keluar dari pintu belakang.Sebelum Dirga meninggalkan rumah, pria itu membaca pesan di ponsel. Wajahnya agak tegang dan napasnya menja

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 123: Cemburu Pada Anak 

    ​ ​“Gila, kamu Rama!” geram Leo, sambil melangkah mundur dan melindungi kepalanya. ​Baru saja nampan itu nyaris menyentuh kepalanya, pintu terbuka lebar. Dua orang petugas kepolisian gegas meringkus Rama. Leo pun segera keluar dan menatap putra dari kliennya dengan perasaan setengah iba, setengah mengutuk. ​“Argh … ini semua salah om, dasar penipu kalian semua. Gue nggak bakalan tinggal diam,” teriak Rama yang sudah kesurupan oleh amarahnya sendiri. ​Kedua tangannya pun diborgol dan dipaksa untuk duduk dengan tenang. ​Dari luar jeruji besi, Leo berkata, “jalani saja hukuman ini Rama. Anggap ini sebagai pelajaran berharga dalam hidup.” ​“Jangan sok tahu lu Om. Lu nggak ngerti rasanya jadi gue kayak gimana!” Bentak pria itu. ​Meskipun tubuhnya sudah tak berdaya, Rama masih berusaha bangkit untuk mengejar Leo dan menuntaskan amarahnya. ​Sementara Leo memilih keluar dari gedung kepolisian. Pria itu mau hubungi Dirga, tetapi karena jaringan yang buruk akhirnya ia hanya mengirimkan p

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 122: Ditipu

    Laras membekap mulutnya sendiri. Cairan bening nan asin luruh di pipinya. Ia seolah tak percaya bahwa semua ini adalah kenyataan.“Mimpi, ya?” gumamnya, karena untuk dibayangkan saja … itu terlalu indah. Laras tidak sanggup.Jika dulu menikahi seorang Rama—sang idola kampus adalah mimpi indah, sekarang justru bercerai darinya adalah anugerah terindah.“Bukan mimpi, Yang,” bisik Dirga, sensual, tepat di telinga sang kekasih.Dengan cepat pria itu memutar badan Laras, mencium bibirnya di bawah jemuran pakaian yang berkibar tersapu angin. Untuk membuktikan semua kenyataan, Dirga menggigit dan melumat bibir atas dan bawah bergantian.Laras melenguh sambil mengalungkan lengannya di leher pria itu. Menikmati setiap gerakan lidah panas yang membakar gairahnya.Tangan duda nakal tak lagi memegangi pinggul Laras, melainkan menyelinap masuk ke dalam piyama kucing ungu muda.“Hng … Dokter,” lenguh Laras, tubuhnya sudah merespon untuk dibawa melintasi kenikmatan dunia.“Kita masuk, Yang,” ajak Di

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 121: Duda Nakal dan Janda Muda

    Leo tidak lantas turun dari mobilnya, melainkan tetap bertahan. Orang itu tampak mencurigakan, meskipun menggunakan pakaian training kuning menyala. Leo kembali menghubungi kliennya, tetapi gagal. Sinyal di sini sangat buruk. Kaca mobil di samping kemudi diketuk. Leo melirik tajam dan menyembunyikan bukti-bukti ke jok belakang. Ia pun menggeleng. “Buka, Pak!” Suara itu terdengar lantang. Leo pun menancap gas untuk mundur, tetapi bannya kehilangan daya cengkeram sehingga hanya berputar terus karena jalan tanah yang licin. “Apa mereka ini orang suruhan Rama?” gumam Leo yang tahu betapa liciknya anak itu. Leo berusaha tetap tenang, hingga ponselnya berpendar. Ada satu pesan masuk yang sedari tadi ia tunggu. [Ada orang yang jemput di perbatasan desa. Namanya Pak Dading. Ini fotonya.] Setelah mencocokkan wajah pria di sampingnya dengan gambar di ponsel, barulah Leo berani membuka kaca dan menyapa, “Pak Dading, ya?” “Oh, iya, betul, Pak Leo. Saya diminta Dokter Dirga jemput ke sini.

  • Skandal Terlarang Bersama Mertuaku   Bab 120: Setuju Cerai?

    “Kenapa lagi?” Pengacara itu melihat genggaman tangan Rama yang sangat kuat, dan ia bisa merasakann nyeri.Alih-alih menjawab apa keinginannya, Rama justru terdiam. Pandangannya kosong, meskipun ada wajah Leo di matanya. Pria itu tampak sedang berpikir keras.Tidak ada respons apa pun. Akhirnya Leo menambahkan, “Sudah, ya, Rama. Om mau ketemu polisi dulu. Dan Om nggak tahu kapan bisa datang lagi ke sini, karena harus cari bukti yang kuat buat bebasin kamu.”Pengacara itu menarik pergelangan tangannya dengan kuat, membalik badannya, dan melangkah menuju pintu keluar ruang interogasi. Namun, langkah Leo seolah tertahan mendengar ucapan Rama berikutnya.“Dan kalau aku setuju, apa Om berani jamin bisa bebasin aku malam ini juga?” Nada bicara Rama terdengar serius dan berat. Mata hitamnya menatap penuh harap sekaligus tajam kepada Leo.Pengacara tidak serta-merta duduk kembali. Pria dengan rambut nyaris putih itu justru menarik handle pintu perlahan. Ini membuat Rama memperhatikannya diam-

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status