Refleks Laras menutup mata dan tangannya meremas kuat tali tas. Tubuhnya pun menegang ketika napas hangat Dirga menerpa pipinya.
“Sekarang buka mata,” kata Dirga datar, “ulatnya sudah saya buang.” Seketika Laras memelotot. “Apa dok?! Ulat? Di mana?” “Bahu kamu, tadi.” Dirga menunjuk kerah baju Laras. Ekspresinya datar, berbeda dengan beberapa saat lalu. Saking paniknya Laras menjerit dan refleks meraih tangan Dirga. Memeluknya. Bahkan ia menyembunyikan wajah di lengan pria itu. “Laras?” tegur Dirga. Suaranya serak dan tubuhnya menegang. Ya, Laras bisa merasakan kala otot lengan pria itu mengencang. Sadar akan sikap impulsifnya, ia langsung melepas tangan Dirga. Gadis itu menggigit bibir dan menghela napas. “Kenapa nggak bilang dari tadi, Dok?” Suara Laras masih gemetar. “Kalau bilang, kamu pasti panik. Jadi saya buang dulu.” Nada bicara Dirga tetap tenang, seakan semua ini hal biasa baginya. Sedangkan bagi Laras, tentu luar biasa. Hidup di desa yang masih dikelilingi kebun membuatnya sulit beradaptasi. Jantungnya tak kunjung tenang. Degup itu terus memburu. Matanya menatap was-was pada daun-daun jagung dan tebu yang menjuntai ke jalan setapak. “Sudah tidak apa-apa. Ayo, jalan. Pulangnya kita langsung ke klinik.” Dirga tidak berjalan lebih dulu, melainkan menunggu Laras sejajar dengannya. Mereka melangkah beriringan. Sejak peristiwa di jembatan bambu tadi, Laras tidak bisa menenangkan debar dadanya. Bahkan saat Dirga menyodorkan senter, tangan gadis itu masih gemetar samar. Setiap gesekan kulit mereka, dan tatapan singkat, terasa memercik api kecil yang membuat Laras makin kikuk. Bahkan sensasi itu terbawa sepanjang jalan pulang, hingga membuatnya salah langkah dan hampir tergelincir. “Hati-hati. Atau kakimu sakit lagi,” bisik Dirga tepat di telinga Laras. Tangannya memegangi gadis itu. Entah sengaja atau tidak, Laras merasakan ibu jari pria itu membelai pergelangan tangannya. Ia berusaha menarik diri, tetapi Dirga menahannya. “Umm ... gimana kalau Dokter jalan di depan aja? Nanti saya ngikutin.” Nada bicara Laras dibuat senetral mungkin. Tubuhnya mulai bereaksi, telapak tangannya berkeringat dingin. “Ide bagus.” Dirga mengangguk. Namun siapa sangka hanya merubah posisi saja. Tangan mereka tetap saling bertaut, sampai mencapai mobil. Ketegangan Laras tak kunjung usai. Bahkan sebelum masuk mobil yang terparkir di kebun, sepi dan tanpa rumah penduduk. Hanya suara jangkrik dan desir angin menemani. Ia memutar tubuhnya, menatap ke arah gelap. Baru beberapa detik kemudian ia mendengar suara kain tersibak di belakang. Nalurinya berbalik, dan matanya langsung membelalak melihat Dirga sudah menarik kaosnya hingga ke kepala. Laras buru-buru memalingkan wajah, tetapi ekor matanya justru curi-curi pandang. Lidahnya terasa kelu, padahal ingin protes. Akhirnya hanya desahan kecil lolos dari bibirnya, “Dokter .…” Dirga terkekeh kecil. “Kenapa? Kamu harus terbiasa.” ‘Apa terbiasa? Lihat badannya?’ gumam Laras dalam hati, wajahnya jadi memanas. “Kenapa harus ganti baju di sini …,” bisiknya sangat pelan. “Nggak ada tempat lain. Kamu harus terbiasa melihat tubuh pria atau wanita. Sebagai dokter kita tidak boleh memilih pasien.” Dirga membuka pintu mobilnya. “Masuk, kita pulang.” Sungguh Laras dibuat bungkam tanpa pelawanan. Ucapan Dirga memang benar, tetapi barusan yang ia lihat jelas bukan badan pasien melainkan pria sehat. Degup jantungnya pun makin menggila. Perjalanan pulang berlangsung senyap. Hanya suara sepatu kets Laras bergesek di karpet mobil. Sementara Dirga fokus mengemudi mobil. Sesampainya di rumah, pria itu berkata “Besok datang lebih pagi. Jangan terlambat.” Laras mengangguk. “Iya, Dok.” Ia turun, masih bisa merasakan tatapan samar dari balik kaca mobil sebelum kendaraan itu melaju pergi. Malam itu, Laras langsung merebahkan dirinya di dipan. Tangannya memegangi dada dan matanya menatap langit-langit. ‘Tutup mata dan diam.’ Bisikan itu terus terngiang, membuatnya sulit tidur. Ia terus berguling kanan dan kiri. Pagi harinya, ia terlambat bangun. Laras setengah berlari menuju klinik. Napasnya tersengal dan keringat bercucuran. Namun begitu masuk, langkahnya langsung membeku. Suasana klinik terasa ganjil. Wajah para staf menegang, bahkan pasien anak yang biasanya mengantre terlihat lengang. Laras masuk ke ruangan Dirga. Tidak ada aroma parfum maskulin, termasuk bayangan tubuh jangkung itu di ruang praktek. Hanya satu sosok yang menunggunya di kursi kerja Dirga. Amanda tersenyum sinis yang membuat tengkuk Laras dingin. “Cari siapa? Dirga nggak ada,” sinis Amanda terdengar tajam. “Sekarang, dia bukan pembimbingmu lagi.” Tubuh Laras mendadak membeku. Napasnya juga tercekat. Otaknya masih mencerna apa maksud ucapan wanita itu.Refleks Laras menutup mata dan tangannya meremas kuat tali tas. Tubuhnya pun menegang ketika napas hangat Dirga menerpa pipinya. “Sekarang buka mata,” kata Dirga datar, “ulatnya sudah saya buang.” Seketika Laras memelotot. “Apa dok?! Ulat? Di mana?” “Bahu kamu, tadi.” Dirga menunjuk kerah baju Laras. Ekspresinya datar, berbeda dengan beberapa saat lalu. Saking paniknya Laras menjerit dan refleks meraih tangan Dirga. Memeluknya. Bahkan ia menyembunyikan wajah di lengan pria itu. “Laras?” tegur Dirga. Suaranya serak dan tubuhnya menegang. Ya, Laras bisa merasakan kala otot lengan pria itu mengencang. Sadar akan sikap impulsifnya, ia langsung melepas tangan Dirga. Gadis itu menggigit bibir dan menghela napas. “Kenapa nggak bilang dari tadi, Dok?” Suara Laras masih gemetar. “Kalau bilang, kamu pasti panik. Jadi saya buang dulu.” Nada bicara Dirga tetap tenang, seakan semua ini hal biasa baginya. Sedangkan bagi Laras, tentu luar biasa. Hidup di desa yang masih dikelilingi kebun me
Bukannya pergi, Laras justru membeku di tempat. Kelopaknya makin melebar kala gagang pintu itu bergerak. Bayangan seseorang memantul pada kusen putih. Sebelum pintu itu benar-benar terbuka, gegas Laras menyeret kakinya. Terlambat. “Kamu di sini?” Suara tegas dan dingin familiar itu menyambar telinga. “Mau ke mana?” Laras menoleh pelan, dan langsung menunduk ketika melihat kancing kemeja Dirga yang tidak terkancing rapi. Sebagian terbuka memperlihatkan dada bidangnya. Gadis itu terperanjat. Benaknya otomatis menerka-nerka, tetapi buru-buru ia menepis pikiran itu. Jangan-jangan hanya salah dengar … atau memang ada sesuatu di balik pintu tadi? “Saya … mau ambil minum, Dok.” Laras menelan liurnya sendiri. Desahan barusan masih membekas dalam benaknya. “Balik ke kamar!” Dirga mengedik dagunya pada pintu ruang tindakan. “Jangan banyak gerak dulu.” “Saya masih kuat.” Dadanya berdegup kencang, Laras memutar badan. Sebelum berhasil melangkah mendadak tubuhnya kembali melayang. “Dok
Laras membeku di ambang pintu. Sungguh tak menduga mendapat tamu ‘penting’ pukul lima pagi ini. “Pagi-pagi gini mau ke mana, Dok?” “Siap-siap. Ikut saya,” kata pria itu, suaranya datar. “Tapi saya—” “Jangan bikin saya ngomong dua kali. Cepat!” Dirga mengedik dagunya pada Land Cruiser hitam yang terparkir di seberang jalan bertanah kering. Sebenarnya Laras ingin menolak. Namun, melalui cara pandang Dirga, Laras seolah tidak memiliki pilihan lain. Andai saja ia membantah, bisa-bisa besok hidupnya dibuat tidak tenang. “Saya … ganti baju dulu, Dok.” Laras menatap lekat pada Dirga yang sudah rapi dengan kemeja navy digulung sebatas siku. Berbanding terbalik dengannya masih menggunakan piyama kucing ungu muda. Selesai mengganti bajunya, Laras menghampiri Dirga. Pria itu sudah menunggu di dalam mobil. Tangannya cekatan membuka pintu penumpang di depan. Namun, Laras bergeming. Ia pikir Dirga datang sendirian … menjemputnya. Ternyata ada wanita lain yang duduk di samping pria
“Laras …,” bisik Dirga rendah, “apa kamu ….” Tiba-tiba tangannya membingkai pipi Laras yang dingin. Telapak hangat pria itu membuat Laras tersentak. Menembus kulit dingin, melebur antara waswas dan nyaman. 'Sial, perasaan apa ini?' pikirnya. Ia mendongak. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata karamel yang indah. Kelopaknya tak berkedip beberapa detik. Entah terpaku karena kotak obat yang hampir menimpanya atau efek berada sedekat ini dengan Dirga. Dirga mengulang lagi, “Laras? Saya mau—” Refleks Laras mendorong Dirga sebelum menyelesaikan ucapannya, tetapi jemarinya malah menyentuh dada bidang keras. Namun, pria itu sama sekali tidak bergeser. Tidak mungkin ‘kan pria itu mau melakukan sesuatu padanya? Di ruangan ini?! Laras menggeleng cepat. “Jangan, Dok.” “Kenapa jangan? Kamu harus mau.” Perintah itu lolos dari bibir Dirga yang kini menjadi pusat perhatian Laras. Agak tebal dan sensual. Alih-alih mundur, Dirga justru merapatkan wajah. Rahang berjanggut tipis
Laras menelan ludah saat menyadari bahwa Dirga tak berpaling darinya. Tangannya meremas celana hitam di atas paha, tatkala ia melirik kening memar pria itu. Kini ia mengutuk diri karena serba salah, yakin bahwa pria itu pasti akan menghukumnya. Habislah ia jika Dirga mengumumkan kejadian pagi tadi pada semua orang. “Ya, saya Dokter Dirgantara Bradley.” Dirga tersenyum, dan tangan yang sebelumnya masuk ke dalam saku tiba-tiba menunjuk Laras. “Kamu.” Seketika Laras mendongak dan wajahnya menjadi pucat. Tubuhnya mendadak dingin setelah Dirga menunjuknya, mungkin … Dokter itu akan membongkar semua. “Umm … saya, Dok?” Laras menunjuk dirinya sendiri. Nahas nian nasibnya kini menjadi pusat perhatian para staf klinik dan aparat desa. Kalau hanya menghadapi Dirga sendirian mungkin ia bisa, tetapi ini di hadapan semua orang. Sebelum bicara, Laras menarik napasnya lebih dulu. Namun, saat ia baru saja membuka mulut, pria itu berkata lagi padanya. “Silakan perkenalkan diri.” Nada b
Udara gerah menusuk masuk melalui celah kaca yang sedikit terbuka, membuat jemarinya yang memeluk ransel ungu muda mengipas kecil.Laras menatap pemandangan kebun tebu yang membentang dari balik jendela mobil travel. Air matanya kembali mengalir, tanpa ia sadari. Bayangan wajah Rama muncul lagi. Kata-kata menyakitkan pria itu masih berputar di kepalanya, bahkan nyeri di rahang bekas cengkeraman masih terasa. Saat ini ia hanya ingin menjauh. ‘Kalau bukan karena dia ... aku nggak akan sejauh ini,’ batinnya. Apa iya dirinya selemah itu? Mobil travel melambat, lalu berhenti di pinggir jalan tanah merah dan berpasir. Laras buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan, memastikan dua rekannya tidak menyadari. Ia bercermin melalui kamera ponsel, memastikan concealer masih menutup sisa memar di pipinya yang mulai sedikit samar. “Laras, ayo turun. Mobil jemputan udah datang, tuh,” seru salah satu temannya dari depan. Begitu turun, hawa desa yang gersang langsung menerpa w