Mag-log in“Selamat pagi, Om.” Fiore meletakkan omelette yang baru saja ia buat untuk Ethan.
Rumah Ethan yang besar itu tidak memiliki asisten rumah tangga yang menetap. Hanya tenaga pembersih yang kadang dipanggil saat dibutuhkan. Tidak banyak stok makanan yang ada, jadi Fiore hanya membuat menu seadanya. “Om mau minum kopi atau susu?” Fiore dengan sigap menawarkan. Meski Ethan hanya menggumam pelan dengan wajah tak tertarik, pria itu tetap duduk di meja makan. “Enak enggak?” Fiore bertanya saat Ethan mengunyah suapan pertama. Ethan tidak menjawab, hanya berdehem singkat. “Kamu sudah sembuh?” Tak mau menjawab, Fiore mengalihkan pandang. Ia berpura-pura tidak mendengar, dan malah sok sibuk menyendok makanan. “Kalau sudah sembuh, nanti malam aku antar kamu pulang setelah kerja.” Fiore berhenti bergerak seketika. Ia menarik napas dalam dan mulai mengunyah dengan tidak bersemangat. Makanan yang sudah payah ia buat langsung terasa hambar. “Bukankah kamu harus kuliah? Kamu enggak bolos kuliah selama ini, kan?” sindir Ethan dengan sudut mata yang menusuk. Fiore angkat bahu. “Enggak, kok.” Ia bukan bolos, hanya tidak masuk saja. Selama ini Fiore juga bisa masuk sesuka hatinya. Sebagai salah satu mahasiswa paling jenius, ia mendapatkan banyak keistimewaan. Dulu. Entah sekarang akan bagaimana. Setelah kemampuan bermain biolanya hilang, apakah ia masih akan diperlakukan sama. “Tunggu aku nanti malam,” ucap Ethan seraya berpamitan. Fiore hanya mengangguk gamang. Ia merapikan sisa sarapan mereka sebelum kembali ke kamar. “Kenapa dia seperti es batu?” Sudah dua minggu Fiore tinggal di rumah Ethan, tapi Ethan sama sekali tidak meliriknya. Kecuali di hari pertama saat Fiore datang dalam keadaan sakit. Atau ketika dokter datang untuk mengecek keadaannya secara berkala. “Apa aku harus berpura-pura sakit?” Fiore melepaskan sesaat arm sling yang ia gunakan. “Bahuku ini tak terlihat di matanya, kah?” geram Fiore keras. Fiore membuatkan sarapan untuk membuat Ethan tersentuh, tapi ia malah diusir. Harusnya ia berbaring saja seharian. “Pokoknya, aku enggak mau kembali ke rumah Wijaya!” ujar Fiore lantang. Untuk apa kembali? Semua orang mengabaikannya di sana. “Tante Natasha juga enggak pernah pulang. Mungkin dia sengaja mau memberikan aku kesempatan.” Fiore terkekeh kecil. Ia membuat rencana licik dalam otaknya. Malam itu, Fiore bersiap. Ia membersihkan dirinya dengan susah payah, lalu memakai gaun tidur yang ada dalam lemari sang tante. Fiore harus mengambil resiko. Ia bisa membuat banyak alasan nanti. Jam delapan malam, dan Fiore masih menunggu. Ia hampir kehilangan harapan setelah jam menunjukkan tengah malam. Namun, secara tak terduga, Ethan kembali. Fiore mengintip dari balik pintu sebelum berlari menghampiri Ethan yang tersungkur di lantai. “Om!” Fiore membantu Ethan duduk. Ia bisa mencium bau alkohol yang menguar kuat dari Ethan. Pria itu mulai menggumam tak jelas tepat di telinganya. “Kalau memang kalian enggak berniat untuk kerja sama, enggak perlu mengundangku sejak awal!” keluh Ethan. Fiore langsung tahu jika Ethan mengalami masalah dengan pekerjaan. Ia tak banyak bertanya dan langsung mengulurkan tangan untuk membantu. “Ayo kita pindah ke kamar, Om. Om bisa sakit kalau tidur di lantai.” Fiore bersusah payah memapah Ethan. Bahunya yang sebelum ini sudah terasa baikan, sekarang jadi nyeri luar biasa. Berat badan Ethan tidak main-main. Beberapa kali, mereka hampir terjatuh bersama sebelum benar-benar sampai di atas kasur. “Melelahkan!” Fiore mengeluh sembari merebahkan tubuhnya di samping Ethan. Peluh mengalir di dahinya, dan pakaian Fiore sekarang sudah berantakan tak berbentuk. Gagal sudah semua rencananya. “Coba lagi besok saja. Setidaknya, malam ini aku masih bisa tinggal di sini.” Fiore hendak beranjak, tapi Ethan malah menarik tangannya. Pria itu meracau dengan kalimat yang tidak jelas. “Astaga, aku lupa.” Sebuah senyum miring tercetak di wajah Fiore. “Harusnya aku memang tetap di sini.” Fiore balas menggenggam tangan Ethan. Ia menyelipkan jari-jarinya dalam jemari Ethan. Ethan menoleh. Ia menatap sayu ke arah Fiore. “Baju ini bagus buatmu.” Ethan mengulurkan tangan, meraba tali gaun tidur Fiore yang berwarna merah menyala. Fiore memang sengaja mengambil gaun tidur yang paling mencolok. Ia tidak mungkin berpenampilan biasa di saat ia ingin menggoda seorang pria. “Yang ada di dalamnya lebih bagus.” Fiore berbisik tepat di telinga Ethan. Dengan sengaja, Fiore menarik tubuhnya mendekat pada Ethan. Ia menghabiskan jarak di antara mereka. “Oom mau liat enggak?” Fiore bertanya dengan suara manja. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak terdengar genit meski sudah sangat tidak sabar. Ethan tersentak sesaat. Kepalanya meneleng sekilas, memandang wajah Fiore. “Oom?” Ethan bertanya dengan suara serak. “Iya,” sahut Fiore sambil mengangguk. “Ini aku, Fiore, Om.” Tangan Fiore membelai pipi Ethan lembut. “Aku bukan Tante Natasha.” Ethan menggeram rendah. Dalam sekejap, mereka tak lagi berbaring bersisian. Fiore harus menahan pekikan saat Ethan tiba-tiba saja menindihnya.“Om!” Fiore tak tahu ini sudah ronde yang keberapa, tapi ia sudah sangat lelah. Ranjang yang mereka tempati berantakan seperti tersapu badai. Namun, tak ada tanda-tanda jika Ethan akan berhenti. “Kenapa? Kamu mau menolak?” Fiore meringis saat Ethan menggigit bahunya. “Aku mau istirahat!” Ethan mendelik tidak senang. Ia menatap tajam Fiore, mencari tahu apa Fiore hanya sedang menggoda atau serius dengan ucapannya. “Aku harus!” Fiore berdalih. Ia perlu istirahat meski semenit. Setelah Ethan melepaskan dirinya, Fiore memakai gaun tidur cepat. Ia bersusah payah berjalan ke dapur. Segelas air akhirnya bisa membasahi tenggorokan Fiore. Saat ia hendak duduk untuk beristirahat sebentar, Ethan menangkapnya. “Ide yang bagus,” ucap Ethan seraya menaikkan tubuh Fiore ke atas meja. Fiore memekik kaget. Ia sempat mencoba untuk menolak, tapi Ethan sama sekali tidak mendengar. Entah apa yang merasuki pria itu. “Bisa lakukan di tempat lain?” Fiore tak ingin berbaring di atas meja. Punggungn
“Maaf, tidak ada pegawai bernama Kania di sini.” Ini sudah club kesekian yang Fiore datangi. Ia tidak ingat karena sedikit mabuk. Setiap kali masuk ke dalam klub, Fiore akan membeli minuman. Dan itu cukup untuk membuat jalannya tidak lurus. “Ck!” Fiore berdecak keras melihat klub terakhir di depannya. “Kalau di sini enggak ada juga, aku enggak tau lagi!” Sudah tiga hari Fiore berkeliling dan mencari. Ia jadi lelah. Uangnya sudah habis untuk memesan minuman di meja bar. “Harusnya uang itu cukup untuk sebulan!” Fiore meracau geram. Namun, ucapan Ethan terus mengganggunya. Fiore merasa benar-benar diremehkan. Ia akan memastikan dirinya menepati janji, meski Ethan tak berharap apapun padanya. “Aku cari temanku. Apa ada pegawai bernama Kania di sini?”Bartender di depan Fiore menyajikan minuman, lalu menggeleng. Sudah Fiore duga. Hasilnya akan sama.Kesal, Fiore menenggak isi gelas dalam satu tegukan. Kepalanya jadi melayang sekarang. “Minuman ini enak juga,” ujar Fiore seraya menat
Sudah hari kelima dan Fiore tidak mendapatkan hasil apapun. Ia sudah bertanya ke setiap pabrik, menggunakan banyak uang untuk menyuap petugas keamanan agar bisa masuk. Namun, tetap saja Kania tidak ditemukan. Temannya itu bagai ditelan bumi. Fiore jadi menyesal karena tidak langsung mengamankan sendiri videonya. Keadaan waktu itu memang tidak memungkinkan. “Aku butuh rencana cadangan.” Fiore merasa jika ia tidak akan berhasil. Menghadapi kenyataan, Fiore memilih untuk mencoba mencari pekerjaan lagi. Kali ini, pekerjaan yang benar. Dengan laptop yang baru saja ia beli, Fiore berkutat di kamarnya semalaman. Ia mencari lowongan pekerjaan sampai tak sadar tertidur entah sejak kapan. “Loh?” Fiore mendapati tubuhnya tertutup selimut. Padahal ia yakin sejuta persen jika dirinya tak menggunakan selimut semalam. “Apa aku terlalu capek sampai lupa?”Berkeliling seharian mencari Kania memang menguras tenaga Fiore. Dan ia melakukannya lima hari berturut-turut.“Ah, ya. Ini sudah hari keenam
Fiore menarik napas dalam sebelum mengulas senyum lebar di bibir. Ia melompat memeluk Ethan. “Aku juga sayang, Om!” serunya tanpa ragu. Ethan berdecih. Ia menepis tangan Fiore yang melingkar di pinggangnya sembarangan. Fiore bahkan mendapatkan tatapan tajam.“Jika kamu tidak punya video itu, pergilah dari sini.”Fiore memasang wajah cemberut. Ia kira Ethan akan sedikit berbasa-basi setelah semua yang mereka lakukan bersama. Namun, pria itu tetap kaku seperti biasanya. “Berikan aku waktu, Om!” Fiore terpaksa memohon. Ia tak ingin meninggalkan tempat Ethan. Fiore sudah nyaman di sini. “Seminggu! Aku bakal temuin temenku secepatnya!” Fiore mengucapkan janji. Ia bahkan menjelaskan keadaan yang ia hadapi meski Ethan tidak bertanya. Fiore mengeluhkan kesulitannya saat mencari Kania. “Lima hari.” Ethan memberikan keputusan final. “Kalau kamu enggak bisa bawa bukti itu padaku dalam lima hari, kamu keluar dari rumah ini tanpa perlu aku usir.”Bibir Fiore mencebik. Ethan masih saja tega
“Om, aku pergi keluar dulu ya.” Fiore meminta izin pada Ethan. Setelah tinggal bersama, Fiore mulai terbiasa. Ia mulai menganggap dirinya sebagai bagian dari hidup Ethan, sampai repot-repot meminta izin. “Aku usahakan pulang sebelum pagi,” ujar Fiore sambil melambaikan kartu debit di tangannya. Ethan sudah memberikan bayaran Fiore, dan Fiore memang berniat menggunakannya. Ia ingin membeli beberapa hal. “Kamu mau ke mana?”Ethan mengulurkan tangan, mencegah Fiore beranjak. “Apa kamu mau menemui om-om lain?” Nada rendah suara Ethan penuh kecemburuan.Fiore mengulum senyum seketika. Ia menahan diri untuk tidak tertawa senang. “Apa yang kemarin kurang, Om?” Fiore menunjukkan bahunya yang masih terasa nyeri. Ethan memang menyerang Fiore tanpa henti. Mereka melakukannya di mana saja, di setiap sudut rumah ini. “Nanti setelah aku pulang, kita bisa melakukannya lagi,” ujar Fiore seraya mengedip menggoda. Rayuan Fiore dijawab oleh Ethan dengan sebuah decak sinis. Pria itu membuang muk
“Aku punya buktinya.” Fiore tersenyum lebar. Ia merasa ada di atas awan karena telah memegang apa yang Ethan inginkan. Namun, bukannya tertarik, Ethan malah mengabaikan Fiore. Pria itu seperti tidak menganggap serius apa yang Fiore katakan. “Aku benar-benar memiliki bukti itu, Om!” Fiore kesal karena Ethan tak percaya padanya. “Akan aku bawa pada Om sekarang!” seru Fiore keras. Ia merasa tidak dipercaya, jadi ia akan membuktikannya. Namun, baru mengambil satu langkah, Fiore malah terduduk di lantai. Suara jatuhnya begitu keras, sampai Ethan yang sebelumnya cuek jadi menoleh. Pria itu langsung menghampiri Fiore yang malah tertegun bingung. “Kamu kenapa?” Ethan mengulurkan tangan, berniat membantu. Saat itu, Fiore langsung merespon. Namun, saat tangannya yang terulur, Fiore merasakan jarinya yang gemetar. “Si kecil yang sombong,” ledek Ethan. Dalam satu tarikan, tubuh Fiore ada dalam dekapan Ethan. Pria itu menggendongnya seperti biasa. “Jangan banyak berlagak. Sadari batasan







