Ayu tak menyangka kalau bapaknya ternyata menyimpan dendam pada ayah kandungnya. Mungkin karena begitu banyak kesusahan yang sudah ia alami gara-gara lelaki itu. Namun, sampai saat ini, ia masih belum tertarik tentang keberadaan ayah kandungnya itu. Entah masih hidup atau sudah mati, entah sedang bahagia dengan keluarga barunya, atau menderita akibat dosanya di masa lalu.
Sayangnya takdir masih belum mau berdamai dengannya. Pagi itu, Ayu berteriak kencang saat membuka pintu kamar ibu dan bapaknya. Kedua orang itu sedang dalam keadaan terlentang dengan busa di mulutnya. Saat Ayu panik dan mengguncang-guncang tubuh keduanya, ternyata sudah kaku dan dingin. Ia berteriak memanggil nama Lasirah dan Karta.Orang-orang mulai berdatangan, prosesi penguburan jenazah segera dilakukan. Ayu termenung tak tahu harus bagaimana. Baru tadi malam ia bercakap-cakap dengan bapaknya, tiba-tiba pagi ini ia harus kehilangan dua orang terdekatnya.Kasak kusuk mulai terdeAyu tak menyangka kalau bapaknya ternyata menyimpan dendam pada ayah kandungnya. Mungkin karena begitu banyak kesusahan yang sudah ia alami gara-gara lelaki itu. Namun, sampai saat ini, ia masih belum tertarik tentang keberadaan ayah kandungnya itu. Entah masih hidup atau sudah mati, entah sedang bahagia dengan keluarga barunya, atau menderita akibat dosanya di masa lalu. Sayangnya takdir masih belum mau berdamai dengannya. Pagi itu, Ayu berteriak kencang saat membuka pintu kamar ibu dan bapaknya. Kedua orang itu sedang dalam keadaan terlentang dengan busa di mulutnya. Saat Ayu panik dan mengguncang-guncang tubuh keduanya, ternyata sudah kaku dan dingin. Ia berteriak memanggil nama Lasirah dan Karta. Orang-orang mulai berdatangan, prosesi penguburan jenazah segera dilakukan. Ayu termenung tak tahu harus bagaimana. Baru tadi malam ia bercakap-cakap dengan bapaknya, tiba-tiba pagi ini ia harus kehilangan dua orang terdekatnya. Kasak kusuk mulai terde
Persis seperti dugaannya, malam itu Ayu tak disambut baik oleh keluarga Firman, tak seperti biasanya. Padahal, biasanya ibu Firman selalu bersikap baik padanya. Ia pernah bilang kalau ia beruntung mempunyai calon menantu yang baik dan cantik, tapi sepertinya semua itu hancur gara-gara masa lalu Ayu yang buruk. Tak hanya ibunya Firman, ayahnya Firman bahkan tak mau menemuinya. Ia hanya tersenyum tipis kemudian masuk ke dalam rumah. Tak ada salaman, atau basa-basi seperti yang biasa dilakukan. Bahkan Firman langsung berubah 180 derajat. Lelaki yang perhatian, yang menunjukkan kasih sayangnya di manapun, tiba-tiba langsung menjadi orang asing yang bahkan tak peduli keadaanya. Ia duduk di samping ibunya, membentuk kubu yang melawan Ayu. Merasa sendirian, Ayu tak berani banyak bicara. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Kepalanya menunduk, tangannya meremas jari-jemarinya. "Maaf ya, Yu. Bukannya kami pilih-pilih menantu,
Amarah Karta membuat Lasirah mencicit ketakutan. Ia keluar dari kamar dan duduk dengan memeluk kakinya sendiri di pojok rumah. Perkataan Karta menyeretnya jauh ke hari di mana Tio bisa begitu menyakitinya tanpa menyentuhnya. Ia berteriak kencang, sekencang mungkin agar sakit dalam dadanya cepat pergi. Suaranya bersahut-sahutan dengan suara tangis bayinya yang belum berhenti sejak tadi. Namun, malam itu ternyata menjadi titik balik di mana dirinya mulai kembali pada Lasirah yang mulai sadar. Teriakan Karta benar-benar ia serapi dengan hati-hati. Meski berat, ia mulai mau memegang bayinya sendiri. ..."Saat itulah Ibumu mulai bisa menerima keadaan kami. Dia mulai menyayangimu meski bayang-bayang orang itu masih menghantuinya di mimpi. Bapak tahu soal itu karena Ibumu sering merintih kesakitan saat tidur, kadang masih merapalkan namanya." Pak Karta mengakhiri ceritanya yang getir. Matanya mengembun, giginya mengatup, sekuat tenaga ia tah
Bayi kecil itu diberikan pada Lasirah setelah Bu bidan yang lain membersihkan plasenta dan sisa-sisa darah.Akan tetapi wanita itu menolaknya. Ia tak ingin melihat anaknya sendiri. "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu! Aku nggak mau lihat," teriak Lasirah lantang. Orang-orang di ruangan itu saling berpandangan. Ada apa ini? Bu Minah, ibunya Lasirah segera membujuknya. "Ayo, Rah. Anaknya digendong dulu. Dipangku, terus coba ditempel di dadamu, biar belajar nyusu anaknya." "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu dari sini. Cepat, Bu!" bentak Lasirah. Dua bidan itu tak memaksa karena Lasirah semakin histeris. Melihat anaknya sendiri seperti melihat kotoran. Pak Karta memandang iba pada istrinya. Ia menghampiri bidan yang tadi membawa anaknya. "Gimana ini ya Bu? istri saya nggak mau nyusuin," tanya Pak karta pada Bu Fenti sambil melihat wajah tak berdosa, bayi mungil di gendongannya.
"Bapak itu bukan Bapak kandung aku?" tanya Ayu takut-takut. Ia khawatir jawabannya akan terasa getir. Pak Karta dan Bu Fatun lagi-lagi saling berpandangan. "Sudah ceritakan saja semuanya, Bu. Anakmu juga berhak tahu yang sebenarnya," ucap Pak Karta. Ayu menelan air liurnya. Ada apa sebenernya? Kata "anakmu" terasa sangat menyakitkan. Meskipun Ayu juga pernah berpikiran kalau Pak Karta memang bukan bapaknya, tapi mendengar pengakuan keduanya ternyata memang menyakitkan. Selama ini Pak Karta memang tak terlalu dekat dengan Ayu, seperti ada satu dua hal yang menghalangi lelaki itu mempunyai hubungan dekat dengan Ayu. Lantas, mengalir sebuah cerita pilu tentang masa lalu ibunya. Karta, yang sudah lama menyukai Lasirah diam-diam, entah harus senang atau sedih, harus menikahi Lasirah, yang sudah dihamili Tio. Saat itu Karta marah, darahnya menggelegak. Ia hendak mencari kemana Tio kabur lantas membuat lelaki itu menyesali p
"Maksud kamu apa, Yo? Ika selingkuh sama Bapak?" tanya Yono tercengang. "Iya, Mas. Rumah tangga kami sudah hancur!" jawab Karyo kecewa. "Jadi Pak Tio juga godain Ika?" tanya Jannah dengan wajah tak percaya. "Emang kamu juga digodain?"Dulu Yono memberitahunya kalau istrinya juga digoda oleh Bapak, tapi ia belum percaya karena belum mendapatkan cerita yang utuh. "Eh, mm ...," Jannah memandang suaminya, ia ragu-ragu mau menjawab. "Iya, Yo. Jannah pernah digoda juga sama Bapak. Aku sudah muak banget sama kelakuan Bapak yang doyan banget sama perempuan! Aku pikir, masalah masa lalu yang kamu alami saat ini, pasti ada hubungannya sama Bapak. Orang itu pasti bermasalah dulunya dan masalahnya jatuh ke kita. Jadi ibaratnya kita tuh kena karma," papar Mas Yono sambil menyeruput kopi yang sudah hampir dingin. "Jadi menurut Mas Yono, masalahku ini karena kelakuan Bapak? Yang dimaksud oleh Kyai Hasyim itu masa lalu Bapak?" tanya Karyo m
Kala itu pagi sangat berkabut. Musim kemarau membawa hawa dingin yang sangat menusuk. Lasirah enggan untuk bangkit dari kasurnya. Ia memilih bergelung kembali di bawah selimut. Namun suara kasak kusuk orang yang sedang mengobrol terdengar sedikit menggangunya. Itu suara Ibu dan Bapak Lasirah, dan seseorang yang belum diketahui siapa. "Eh, ada tamu pagi-pagi. Siapa, yah? Jangan-jangan berita lelayu," gumam Lasirah seraya beranjak dari kasurnya. Di desa waktu itu berita lelayu tentang orang yang meninggal biasanya memang disebarkan pagi hari. Tiba-tiba ia berdebar-debar. Ia menempelkan telinganya di daun pintu kamarnya. Tak terdengar! Lalu ia mengendap-endap pergi ke dekat dapur dan mengintip. Ia membekap mulutnya karena ia melihat ibunya sedang menangis. Di samping Ibunya, bapaknya mengelus punggung Ibu tapi wajahnya tak bisa ditebak, entah marah, entah pilu. Sedangkan seseorang di sampingnya adalah Paman Karim yang juga tertunduk. "Paman Karim?" La
Pak Tio akhirnya bangkit dari duduknya karena beberapa pekerja mulai mendatanginya dan bertanya tentang keadaanya. "Pak Tio kenapa?" tanya Jajang seraya memegang pundak bosnya itu. Ia kebingungan karena tadi Pak Tio sedikit menjauh darinya untuk menerima telpon tapi setelah bercakap-cakap, lelaki itu tiba-tiba jatuh terduduk. Wajahnya berubah menjadi pucat dan pandangan matanya kosong. Ia berpikir, mungkin bosnya mendapatkan kabar yang kurang baik di telpon tadi. "Sudah-sudah kalian teruskan pekerjaan. Saya cuma sedikit pusing tadi," kata Pak Tio melambaikan tangannya, mengusir para bawahannya. Namun Jajang tak mengikuti perintah bosnya, ia tetap berdiri di sana. Ia masih khawatir dengan keadaan bosnya karena ia melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. "Mari saya antar ke warung, Pak. Bisa minum teh hangat dulu," ajak Jajang. "Nggak, Jang. Ayo temenin saya ke bedeng saja. Tolong kamu pesankan teh hangat dan kamu bawa ke bedeng. Haru
Pak Kyai Hasyim terdiam cukup lama. Ketiga orang itu menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Nur bahkan sempat berpikir kalau mungkin Pak Kyai Hasyim tertidur. Tapi saat ia melihat ke arah muridnya, lelaki itu hanya mengangguk dan tersenyum seperti sebelumnya. Ibu dan kakaknya juga terlihat sabar menunggu, jadi ia kembali fokus pada Pak Kyai Hasyim yang masih terpejam. "Semua yang terjadi di dunia ini ada sebab akibatnya," kata Pak Kyai Hasyim mulai membuka matanya. "Semua baik, semua buruk, semua sehat, semau sakit, pasti ada sebabnya. Masalah Mas Karyo ini masalah dari masa lalu yang belum selesai," ungkap Kyai Hasyim menatap ketiga orang di depannya. Mereka bertiga berpandangan satu sama lain mempertanyakan maksud dari perkataan Pak Kyai. Namun Karyo mulai tersulut emosinya karena setiap kali berobat, para Kyai selalu mengatakan tentang masalah masa lalu. "Pak Kyai, mohon maaf, tapi saya dan istri tidak punya masa lalu yang gelap. Saya justru bertemu istri saya waktu k