Setelah kepergian Pak Hendrik, Raka menatap undangan mewah nan elegan yang tergeletak di meja tamu.Raut wajahnya jelas memperlihatkan keraguan, seolah dirinya terjebak dalam pilihan yang sulit.Ucapan Pak Hendrik terus terngiang-ngiang di kepalanya—ia menunggu jawaban dari Raka.Pandangan Raka bergeser. Dari undangan itu, matanya kini menatap kontrak yang terbuka di depannya.“Sial!” Raka menggebrak meja. Namun detik berikutnya ia sadar, amarahnya tidak akan mengubah keadaan.“Jadi… ini alasan pria itu mau membantuku mengukuhkan posisi sebagai CEO.”Rahangnya mengeras, gigi gemeretuk menahan geram.Entah bagaimana, ayahnya—pemilik perusahaan sebelumnya yang kini telah tiada—pernah membuat perjanjian dengan Aldebaran. Isinya: setelah jatuh tempo, Aldebaran berhak atas 20% saham Mahendra Grup. Dan klausul itu tidak bisa ditebus dengan uang, melainkan mutlak berupa saham.Pikirannya kusut. Selain memikirkan masa depan perusahaan, kini ia juga harus menentukan dengan siapa ia akan datang
Langkah Raka mantap memasuki lobi utama Mahendra Group. Dari kejauhan, ia sudah melihat sekretaris sekaligus tangan kanannya berdiri di dekat resepsionis, seolah tengah menunggu kedatangannya.“Apa sudah datang dari tadi?” tanya Raka sambil membenahi dasinya yang sedikit miring. Ia tidak ingin terlihat kucel—satu hal kecil saja bisa menurunkan kewibawaannya sebagai pemimpin.“Sudah, Pak. Sekitar dua puluh menit yang lalu,” jawab sekretarisnya, pria muda berusia sekitar dua puluh lima tahun, dengan tenang mendampingi Raka.“Baiklah.” Raka menarik napas singkat, menata diri. Dengan langkah tenang namun penuh wibawa, ia berjalan menuju ruang kerjanya. Sang sekretaris segera membukakan pintu.Begitu pintu terbuka, sosok pria yang sejak tadi menunggu bangkit dari duduknya di sofa tamu. Raka sempat terkejut. Ia mengira yang akan datang langsung adalah Reinhardt Aldebaran—yang belakangan namanya sering disebut-sebut di berbagai lingkaran bisnis. Namun ternyata bukan.Yang berdiri di hadapann
Aroma krim pasta masih menguar lembut memenuhi ruang makan penthouse. Selina duduk di kursi tinggi dengan rambut panjang yang jatuh menutupi sebagian wajahnya. Sendok garpu di tangannya bergerak pelan, mencicipi pasta yang baru saja disajikan Raka.“Enak?” tanya Raka, duduk di seberangnya sambil menatap penuh perhatian. Ada senyum tipis yang muncul di wajahnya, seakan puas melihat Selina mau menyentuh masakannya.Selina menatapnya sekilas, lalu menunduk lagi. “Lumayan,” jawabnya singkat. Meski suaranya terdengar datar, tatapannya sempat memandangi piring itu sedikit lebih lama. Seolah enggan mengakui kalau ia benar-benar suka.Raka baru saja hendak meneguk air mineral ketika ponselnya berdering. Nada getar yang kaku dan berulang memecah suasana makan siang mereka. Raka melirik layar—sekretarisnya. Ia menahan napas sejenak, lalu menggeser kursinya sedikit menjauh untuk mengangkat telepon.“Ya?” suaranya berat, penuh kewaspadaan.Selina yang masih memegang garpu otomatis berhenti. Tatap
Raka yang sudah berada di penthouse milik Selina menyodorkan segelas air putih dingin kepada wanita itu, yang kini duduk di sofa ruang tamu.“Minumlah. Supaya tenang. Jangan minum alkohol dulu,” ucap Raka lembut, nada suaranya penuh perhatian.“Iya.” Selina menangguk, menerima gelas itu lalu meminumnya perlahan.Sementara itu, pandangan Raka berkeliling, menyapu setiap sudut penthouse yang dulunya adalah pemberiannya. Apartemen mewah itu kini semakin penuh dengan barang-barang berharga, meski sebagian justru terasa tak serasi dengan interior aslinya—terkesan glamor, tapi norak.“Sudah tenang?” Raka akhirnya menoleh, tersenyum tipis pada selingkuhannya setelah puas mengamati ruangan.“Iya.” Selina ikut tersenyum, memasang wajah rapuh yang seakan-akan membutuhkan perlindungan darinya.“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Bisa kamu ceritakan?” Raka mencoba mengorek informasi.Sebenarnya tadi ia sempat terbawa emosi, bahkan sempat berpikiran buruk pada istrinya sendiri karena tangisan Seli
Raka menyipitkan mata. Ada sosok di parkiran. Wajahnya… terasa familiar.Tapi begitu tatapan mereka hampir bertemu, sosok itu justru lari. Cepat. Menghilang.Raka refleks hendak mengejar, ia keluar dari mobil. Namun, baru beberapa langkah, apa yang ada di dalam sakunya bergetar membuat langkah kaki Raka berhenti seketika.Drrttt… Drrttt…Ponselnya bergetar. Nama Selina terpampang di layar.Raka menarik napas, mengangkat. Suaranya dingin.“Kenapa?”Suara tangis langsung terdengar dari seberang.Isakan, tersengal.Alis Raka berkerut. “Hei, kamu kenapa? Ada apa?” Nada suaranya berubah, khawatir.“Ti-tidak… tidak apa-apa…” Selina berusaha menyangkal. Tapi tangisnya pecah semakin keras.Hati Raka terhentak.“Selina! Kamu di mana sekarang?” suaranya tegas, nyaris panik.Di sela tangis, Selina terbata.“A-aku… di kafe dekat gedung Adinata…”Langkah Raka berkerut dahinya.Kenapa Selina ada di sini?Tak ada waktu berpikir. Logika lelaki itu runtuh gara-gara tangisan selingkuhannya.“Tunggu di
Raka menatap lembaran kontrak di atas meja dengan kening sedikit berkerut. “Memangnya perlu sampai ada kontrak perjanjian seperti ini, Nay? Kita kan suami istri.” Suaranya terdengar berat, sedikit menyiratkan rasa tidak terima. Nayara menegakkan duduknya, menatap Raka lurus tanpa ragu. “Harus ada, Raka. Karena kita menikah pun atas dasar kerja sama. Pernikahan bisnis.” Jawaban itu membuat dada Raka terasa sesak. Ada getir yang sulit ia sembunyikan. Ia tahu pernikahan mereka memang tak berlandaskan cinta, tapi mendengar Nayara menyatakannya blak-blakan seperti itu tetap saja menyinggung hatinya. “Aku baca dulu kontraknya.” Suara Raka datar. “Silakan.” Nayara memberi isyarat tenang, seolah ia memang sudah siap dengan segala keberatan yang mungkin keluar dari mulut suaminya itu. Raka menarik napas panjang, lalu menelusuri isi kontrak baris demi baris. Tidak ada poin yang merugikan—semua terlihat seimbang. Tidak ada bunga pinjaman, bahkan cukup menguntungkan baginya. Namun, s