Siang itu, Nayara mengemudi sendirian, baru keluar dari gedung Aldebaran Corp. Musik jazz pelan mengalun di kabin mobil, tapi pikirannya kosong. Tangannya di setir, tatapannya menerawang ke jalanan padat.BRRRR… BRRRR…Ponselnya bergetar di cup holder.Nama di layar: AyahDarah Nayara langsung dingin.Sejak insiden tamparan waktu itu, pria itu tak pernah sekali pun meneleponnya.Dengan tangan agak gemetar, Nayara angkat panggilan itu lewat headset mobil.“Halo… Yah?”“Sekarang ke kantor.”Suara berat dan dingin, tanpa basa-basi.“Aku di jalan pulang.”“Putar balik. Ke Adinata Grup. Sekarang.”“Ada apa, Yah?”“Jangan buat aku ulang dua kali, Nayara.”TUUT…Panggilan terputus.Nayara menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang.“Kenapa tiba-tiba, sih…” desisnya pelan.Tanpa pikir panjang, dia membelokkan mobil di putaran balik terdekat, lalu tancap gas ke arah gedung Adinata Grup. Tangannya masih sedikit gemetar di setir, tapi wajahnya mulai datar.“Oke, Nayara. Hadapi aja.”Mata N
Langit sore tampak mendung, seolah ikut menyesakkan dada Selena yang sedari tadi mengemudikan mobil sport-nya tanpa arah yang jelas. Deru mesin meraung keras di sepanjang jalanan kota, sementara kedua tangannya mencengkeram setir erat-erat.Wajahnya kusut, rambut acak-acakan, sisa make-up yang sudah luntur sejak pagi masih menempel di wajahnya. Tatapannya kosong, lalu berubah beringas setiap kali bayangan Mayunda terlintas di pikirannya.“Berani-beraninya kamu ngilang gitu aja, May…!! Aku cari sampai ke lubang semut kalau perlu!” desis Selena di balik kemudi.Jalanan mulai padat. Selena nyaris menyerempet sebuah motor, tapi bukannya minta maaf, dia malah memaki.“Sial! Minggir kamu semua!”Ponselnya yang tergeletak di dashboard tiba-tiba menyala. Sebuah pesan masuk tanpa nama pengirim. Hanya satu kalimat, tapi sukses membuat darah Selena berdesir."Berhenti cari Mayunda kalau kamu masih sayang nyawamu."Selena membelalak. Kedua matanya menatap layar ponsel itu lekat-lekat, jemarinya g
Pagi itu, ruang kantor Aldebaran Corp tampak tenang, tapi udara seolah membawa ketegangan yang belum tuntas sejak semalam. Langkah Nayara terdengar mantap saat memasuki ruangan itu. Wajahnya cemberut, masih kesal karena sapaan menyebalkan dari Rei via pesan singkat sebelum berangkat.Saat matanya bertemu dengan sosok pria itu, Rei sudah duduk santai di balik meja kerjanya, menyilangkan kaki, dengan senyum tipis yang seolah sengaja memancing.“Ah, tuan putri kecil yang sedang memberontak ini akhirnya datang juga.”Nayara mendengus, berhenti di depan meja Rei. Tatapannya tajam, menusuk.“Jangan panggil aku kayak gitu. Aku bukan anak kecil.”Rei mengangkat alis santai. “Kalau bukan anak kecil, kenapa tiap saat memberontak?”“Aku datang bukan buat debat,” Nayara menarik kursi di depannya tanpa dipersilakan. “Aku mau bicarain soal Selena.”Sekejap, suasana berubah serius. Senyum tipis Rei lenyap. Tangannya mengambil selembar berkas, tapi matanya tetap fokus ke wajah Nayara.“Aku sedikit ba
“Nay…” panggil Rei lirih tanpa disadari olehnya.Belum sempat kalimat itu selesai, Nayara membalikkan badan. Tatapannya langsung tajam saat melihat Rei berdiri di sana.“Apa yang kamu lakukan?” suara Nayara dingin.“Aku cuma mau—”Tanpa memberi kesempatan REi menyelesaikan ucapannya, Nayara mendorong pintu hingga hampir menutup wajah Rei.“Jangan pernah intip-intip ke kamar aku,” ucapnya tajam.Klik. Lampu kamar langsung mati dari dalam.Rei terdiam, wajahnya mengeras. Ia mengepalkan tangan, lalu mendekat ke pintu yang kini terkunci rapat.“Sialan. Sok suci,” desis Rei pelan. Ia memutar tubuh, melangkah cepat menyusuri lorong, meninggalkan kamar Nayara.Di dalam kamar, Nayara berdiri di balik pintu, matanya masih menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup.“Kok aku nggak tau sih dia ngintip-ngintip nggak jelas gitu. Dasar bajingan gila.” Nayar masih ngomel-ngomel hingga akhirnya dia mengingat sesuatu.****Kamar Nayara gelap. Hanya cahaya redup dari layar ponsel yang menerangi wajah
Senja mulai turun saat lampu-lampu kota menyala satu per satu, menerangi jalanan Jakarta yang tak pernah benar-benar sepi. Di kamar yang temaram, Nayara menatap layar laptopnya. Rei muncul di layar video call, wajahnya santai, tapi tatapan matanya tajam.“Masih di kantor?” Nayara terkejut karena ternyata sekutunya itu masih duduk dengan gagah di balik meja kerja kantornya yang megah.“Iya. Ada wanita kurang ajar yang seenaknya membuatku mengerjakan pekerjaan hacker,” ujar Rei sambil terkekeh. Tentu saja ucapannya itu ditujukan untuk menyindir Nayara.“Sudahlah. Jadi, bagaimana perkembangan Selina? Kamu yang sudah berhasil menyadap penthouse pasti juga tahu keadaan Selina, bukan?” Nayara bertanya tak sabar.“Entahlah, aku hanya mengambil alih interkom, bukan memasang kamera tersembunyi. Jadi, aku tidak tahu apa yang terjadi di sana,” jawab Rei santai.“Ish! Kamu itu!” Nayara ingin marah, tapi bagaimana lagi? Ucapan Rei memang benar. Mereka belum tahu keadaan Selina.“Selina pasti sudah
Pagi itu udara di rumah Mahendra terasa dingin dan berat. Meja makan dipenuhi hidangan lengkap, tapi hanya ada satu orang di sana — Nayara.Wanita itu duduk tenang, mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang yang tak kalah cantiknya. Rambut hitamnya digelung rapi, wajahnya tanpa cela. Tangannya memegang cangkir kopi, sementara mata coklatnya menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca.Raka turun dengan langkah malas. Kemeja hitamnya sedikit kusut, dasi hanya digantung di leher. Pandangannya tertuju pada sosok Nayara yang terlihat asing sekaligus memikat di waktu bersamaan.Biasanya, setelah bertengkar, Nayara akan murung, menunggu perhatian darinya. Tapi pagi ini? Tidak ada wajah sedih. Tidak ada tatapan marah. Hanya ketenangan menusuk yang membuat Raka terusik.“Pagi,” ucap Raka pelan.Nayara hanya menoleh sekilas, mengangguk tipis tanpa suara. Tangannya menuang kopi untuk dirinya sendiri, lalu kembali melihat layar ponselnya.Raka duduk di seberang. Matanya mengamati diam-d