Beberapa minggu kemudian ...
“Hei Kap, jadi kau ambil cuti liburan natalmu?”
Walter, sang anak buah berlari menyapa saat melihat Daxon berjalan keluar dari ruang kantor administrasi pangkalan tempat mereka bertugas. Daxon menyikut perut bawahan yang sudah dianggap sebagai temannya itu karena sebenarnya mereka hampir seumuran dan sangat dekat.
“Bagaimana dengan kau? Tidak natal bersama keluarga?” tanya Daxon yang sudah merangkul bahu pria yang kalah tinggi dengannya itu.
Walter hanya mengendikkan bahu, menjawab, “Tahun ini giliranku yang standby. Mungkin aku pulang setelah tahun baru.”
“Poor you. Itu artinya wanitamu harus menunggu lebih lama, bukan?”
“Aku tidak punya kekasih lagi, bila kau ingin tahu.”
“Why?”
“Dia memutuskanku karena tidak bisa selalu bersamanya.”
Daxon menepuk bahu Walter menyabarkan. “Begitulah akhir kisah cinta seorang marinir. Selalu ditinggal. Kuharap akan ada wanita hebat yang menunggumu disana. Lelaki hebat seperti kita pantas mendapatkan sosok wanita-wanita tangguh yang tak mudah menyerah dengan situasi, dan yang lebih penting lagi .…” Daxon menjeda ucapannya, kemudian berbisik di telinga Walter.
“Shit!” Walter menjauhkan telinganya dan mendorong dada Daxon agar berjarak. “Dasar Kapten mesum!”
Tawa Daxon menggelegar di sepanjang lorong, dengan santai ia lalu meneruskan langkah kakinya keluar sembari melambaikan tangan tanpa berbalik melihat Walter yang masih terperangah di tempat.
“Sampai Jumpa, Walter. Merry christmas and happy new year!” seru Daxon.
“Kau juga, Kap. Selamat bersenang-senang dengan wanitamu juga!” seru Walter seraya melambai, dan jawaban Daxon hanyalah acungan dua jempol tinggi-tinggi.
***
Setelah menempuh jarak kurang lebih lima jam dari Honolulu ke New York menggunakan jalur udara, akhirnya tibalah Daxon ke kediaman keluarganya yang berada di kota big apple itu.
Hawa dingin langsung menerpa dirinya begitu tadi sampai dan menginjakkan kaki di bandara. Tidak seperti di Hawaii yang selalu hangat menyapa, kota tempat dirinya lahir itu selalu membuat dirinya tak suka dengan hawa di sana.
Selain terlalu metropolitan, pantai disana tidak sebagus di Hawaii. Orang - orangnya juga tidak ramah. Daxon lebih suka tinggal di tempat dengan iklim tropis. Namun, kini ia ada alasan untuk menyukai New York; seorang wanita bermata biru dengan rambut pirang telah menyita perhatiannya beberapa minggu belakangan ini.
Ya, siapa lagi bila bukan si anak sang laksamana, Alexia Oceana D'Ryan. Nama yang cantik, bukan? Sama seperti orangnya.
Namun, mengenai nama belakang wanita itu … jujur saja Daxon masih agak sedikit ngeri dengan siapa wanita yang dikencaninya saat ini. Daxon tak pernah tahu jika pak tua itu memiliki putri yang begitu cantik. Yang dia tahu selama ini tentang pria itu adalah sahabat sang ayah sesama militer.
Dasar pria tua licik! Tidak baik menyimpan mutiara berharga sendirian. Aku akan merebutnya jika dia tak ingin memberikannya! tekad Daxon dalam hati.
Justru yang mengherankan, dari berjuta wanita di dunia ini ... mengapa harus Lexy yang menyandang nama keluarga mengerikan itu?! Demi Tuhan juga, mengapa si laksamana menyeramkan itu bisa memiliki putri yang sangat cantik dan seksi seperti Lexy-nya? Ya! Lexy-nya! Daxon tidak ingin kalah dengan D'Ryan senior itu. Bila perlu, dia akan merubah nama belakang Lexy dan memasukkan di kartu keluarganya!
Astaga! Daxon bahkan mulai gila hanya dengan memikirkan wanita itu. Bayangan akan rencana masa depannya yang dulu masih abu-abu kini sudah terlihat terang, jelas dan transparan!
Sejak kejadian di rumah pohon saat itu, Daxon merasa hubungannya dengan Lexy semakin dekat. Dia sadar, bila dirinya tak pernah segencar ini dengan seorang wanita sebelumnya. Lexy berbeda. Dari awal pertemuannya saja, Daxon merasa dirinya terhubung dengan wanita seksi itu. Walaupun saat itu dirinya tak tahu siapa nama Lexy, tapi hatinya seakan lebih tahu bagaimana memanggil nama si cantik itu.
Cinta? Ya! Cinta pada pandangan pertama lebih tepatnya.
Sial! Seorang Dalmore jatuh cinta! Bahkan Daxon tertawa miris mendapati dirinya yang tengah kasmaran saat itu di kamarnya sembari bertelepon-ria dengan Lexy yang jauh di New York. Katakanlah mereka berhubungan jarak jauh beberapa lamanya. Walaupun status keduanya belum jelas sampai saat ini. Namun, mereka saling jujur mengatakan tertarik satu sama lain. Dan mereka tidak ambil pusing dengan kisah cinta klasik ala orang biasa. Kisah mereka unik dan rasa nyaman di atas segalanya.
Sekarang wanita itu berada di kota yang sama dengannya. Menunggu kedatangannya dan ingin bertemu dengannya.
[Can't wait to see you again, Dalmore.]
Daxon menyimpulkan senyumnya tatkala melihat isi pesan yang baru saja masuk ke ponselnya saat dia memencet bel rumahnya. Sebuah gambar berkirim pun masuk menampilkan sosok cantik yang dia rindukan selama ini sedang memakai kemeja putih kebesaran di atas ranjang.
“You're so hot, Baby girl,” puji Daxon sambil membalas isi pesan dengan senyuman yang tak pernah luntur dari bibirnya. Satu khas dari seorang Daxon; pria itu sering meletakkan lidahnya ke sudut bibir. Hal yang tidak bisa diubahnya sedari kecil. Membuat tampangnya kadang terlihat remeh dan menyebalkan seperti anak-anak.
Tak sadar bila seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik sedang memerhatikan tingkahnya yang absurd, Daxon sibuk terkikik sendiri layaknya pria yang sedang kasmaran.
“Senang dengan isi pesanmu, Letnan Daxon Seth Rainer?”
Daxon mengangguk fokus dengan layar ponselnya.
“Siapa dia?”
“Entahlah. Partner in crime, maybe?”
“Oh, ya? Apa seorang pria atau ….”
“Of, course wanita, mo—”
Wajah Daxon perlahan bergerak menghadap lawan bicaranya. Senyum kaku lalu ia berikan, kemudian mengantongi ponselnya salah tingkah. Sedangkan sang ibu hanya menggelengkan kepalanya dengan kedua tangan bersedekap di dada, dan sang adik— Angeline, gadis cilik berumur sembilan tahun itu terkikik geli dengan boneka kelinci di pelukannya.
“Hi, girls! I'm home,” ucap Daxon gagap. Tak lupa senyuman aneh yang terpasang di wajahnya sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Daxie, kau aneh,” tunjuk Angeline, “buang senyummu itu dan segeralah masuk! Udara di luar sangat dingin. Ayo! Raven sudah membuatkan kita makanan lezat.”
Oh, benar. Raven telah tiba lebih dulu dari Daxon. Bahkan sehari sebelum kedatangannya. Dia selalu kalah start dari sang kakak.
Tubuh Daxon tertarik masuk saat sang adik membawanya dengan terburu-buru ke dapur. Meninggalkan sang ibu yang belum sama sekali dipeluknya setelah sekian lama.
“Mom, help! gadis kecilmu menculikku.”
Sang ibu hanya tersenyum memandangi kedua anaknya yang masih bertingkah kekanakan saat bersama.
Sekarang semuanya sudah lengkap. Kedua putra kebanggaan keluarga Rainer sudah pulang. Berkumpul bersama untuk merayakan natal tahun ini. Walaupun tanpa sang ayah yang telah tiada, tetapi Emily yakin bila sang mendiang suami -Lincoln Seth Rainer- selalu bersama mereka.
Sebelum Emily menutup pintunya, seorang tukang pos datang memanggilnya untuk memberikan sebuah paket.
“Tolong tanda tangani disini, Ma'am,” tunjuk tukang pos pada selembar kertas. Dan kemudian paket besar itu diterima Emily dengan susah payah.
“Thank you.”
Sesaat Emily memandang heran pada paket besar itu, lalu menemukan sebuah nama tak asing di atasnya. Senyumnya tersungging mengingat sosok sahabat mendiang suami. Orang itu tak pernah lupa tiap tahunnya memberi hadiah untuk mereka. Namun sayang tak pernah berkunjung lagi pasca kematian Lincoln.
From Dereck Halbert D'Ryan.
Merry Christmas and Happy New Year.
**
Hari ini adalah hari penting bagi Daxon. Dia sudah siap dengan penampilannya yang bersih dan rapi. Cukup lama ternyata memilih antara kaos dengan kemeja di lemarinya yang hanya itu - itu saja. Akhirnya dia memutuskan untuk memakai kaos putih berlapis blazer hitam pemberian ibunya yang tak pernah dia pakai. Ditambah dengan jeans hitam dan sepatu berwarna putih juga agar terkesan kasual. Tema hari ini adalah black and white. Daxon suka itu.Bila biasanya dia sangat cuek dengan caranya berpakaian. Namun, kali ini tidak. Dia harus terlihat pantas bila bersanding dengan si seksi Lexy saat berjalan nanti. Wajah tampan saja tidak cukup. Dari kepala hingga kaki harus terlihat sempurna, dan jangan lupakan satu hal lagi. Parfum!Ya, benda yang satu itu hampir tak pernah dia pakai
Kendaraan klasik beroda empat milik Daxon masih berjalan setelah hampir dua jam perjalanan mereka habiskan dengan senda gurau saling menceritakan sisi buruk masing-masing, lalu mengejek lawannya. Sebuah gurauan seru jika dalam perjalanan untuk mengusir rasa kantuk saat berkendara.Mereka terlalu merasa nyaman hingga tak lagi merasa malu walau untuk mengatakan dirinya tidur begitu berisik dan mendengkur saat tidur. Daxon mengakui Raven sering menceritakan dan mengejeknya demikian. Begitu juga dengan Lexy yang selalu bernyanyi di dalam kamar mandi, walau ibunya sering protes akan suara sumbangnya.Sudah diceritakan sebelumnya bahwa hubungan keduanya berjalan karena mereka selalu mengutamakan rasa nyaman di atas segalanya. Mereka merasa menjadi diri sendiri adalah rasa nyaman yang tak bisa digantikan dengan materi."
Daxon dan Lexy membuka pintu kamar penginapan mereka yang didominasi dengan kayu sebagai tema losmen di tempat yang cocok untuk menikmati musim dingin."Well, setelah dengan baik hatinya kau memberikan satu ruangan kosong untuk new family tadi. This is our room ... come in, Nana. Jangan mengeluh mendengar dengkuranku nanti," ujar Daxon bersandar di pintu dan mempersilahkan Lexy untuk masuk."Ya … mengingat masa kecilku tinggal di perancis bersama ibu dan bibiku. Aku rasa tak ada bocah kecil yang tak menyukai perm
Perjalanan pulang yang tak sehangat perjalanan pergi saat ini tengah terjadi. Pagi yang lebih baik dari semalam setelah badai salju, beruntung pagi tadi tim penyisiran salju di jalan, selesai dilakukan. Mereka kembali ke kota. Sepanjang jalan yang memberikan pemandangan putih itu membuat Lexy sanggup terdiam menatap pohon-pohon pinus yang berubah menjadi putih tertutupi salju. Lexy menyukainya dan Daxon menyukai tatapan kagum Lexy akan alam.Namun, Daxon menangkap sorot dari mata Lexy yang sesekali dilihatnya saat menoleh sekilas. Membuat pria itu memahami ada yang sangat dipikirkan oleh Lexy."Aku tahu kau takut, Nana. But, hei … aku yang harusnya takut." Daxon meraih tangan dingin Lexy dan mengecupnya, "kau layak diperjuangkan, Nana. Kau pantas mendapatkan itu. Dan aku tahu ayahmu tak akan semudah itu mengizinkanku mengencani putrinya. Mengingat sebera
Sepulangnya dari rumah Lexy, dengan cepat Daxon memasuki rumah dan buru-buru menuju kamarnya. Dia sedang menghindari kakaknya, Raven. Pintu pun sengaja ia kunci dari dalam. Antisipasi agar saudaranya itu tak asal sembarang masuk dan berakhir dengan dia diinterogasi.Daxon sama sekali belum siap. Ia takut salah ucap atau apapun yang berpotensi rahasianya dan Lexy terbongkar. Jujur saja, Daxon tidak pandai berbohong. Raven pun terlalu pintar untuk menilik itu semua. Kakaknya itu seperti pakar mikro ekspresi yang bisa membaca apapun hanya dengan melihat wajah.Keahlian yang sangat mengerikan menurut Daxon. Dia pikir dulu kakaknya cenayang saat masih bersekolah. Pemikiran bodoh macam apa itu?"Daxie! Kau mengunci pintumu?"Terdengar suara Raven yang mencoba membu
Part 08 • Indecision "Aku rasa, Nona D'Ryan cukup menarik. Bagaimana menurutmu, Daxie? Apa aku harus menerima tawaran paman Dereck?" Pertanyaan Raven terus berputar-putar semenjak hari dimana Daxon mengantar Lexy pulang dan malah mendengar perkataan Dereck yang menginginkan Raven bersama putrinya, yakni Nana-nya. Kini Daxon terpaksa memutar balik mobilnya. Setelah berusaha mengejar Lexy yang turun dari mobil dan menghentikan taksi, lalu melaju kembali ke rumah. Walau ia sangat menyesal telah membuat wanita itu kecewa. Namun, ia tetap ingin memastikan Lexy kembali dengan selamat. Setelah tiba di rumah dengan hati dan perasaan yang gundah, ia langsung menuju kamarnya. Jika saat bersama Lexy tadi, Daxon memikirkan ucapan
Tak ada yang lebih membuat hati Daxon panas saat ini selain melihat mobil SUV putih yang kini berada di depannya. Sambil berkendara, Daxon berulang kali merutuk dan mengumpat pada dirinya sendiri yang sangat bodoh. Bisa-bisanya ia mengabaikan seorang wanita seperti Lexy. Lantas kini si cantik dambaannya itu bersama sang kakak yang dengan niat baiknya ingin mengantarkan wanitanya pulang."Great! What a gentle, Rav. Kau tahu bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik. Bukan seperti aku yang menjemput dan mengantarkannya saja tidak berani hingga ke depan gerbang. Satu lagi poin untukmu, brother."Daxon menatap miris ke arah kendaraan di depannya yang sudah melambat dan akhirnya berhenti d
Kediaman Rainer terdengar ricuh dengan kesibukan Angeline naik ke atas bahu Daxon dan mencoba memasangkan bagian terakhir yang terpenting dari pohon natal, yakni sebuah bintang yang diletakan di puncak tertinggi dari pohon pinus yang telah dihias lebih dulu.Tema kali ini berwarna putih dan perak, hiasan serba putih dan bola-bola bening yang didalamnya terdapat salju berwarna perak itu, terlihat menggantung dengan indah beriringan dengan lampu kecil berwarna senada.Termasuk sebuah bintang yang terbuat dari lapisan kaca tipis bening dengan kelap kelip di dalamnya, kini dengan susah payah Angeline hendak memasangnya. Namun, tangan mungilnya memanglah belum cukup untuk menggapai puncak pohon. Membuatnya sedikit kesulitan untuk menggapainya."Lebih tinggi lagi, Daxie!" seru Angeline.